Begini Makna Mukallaf dan Taklifi yang Benar Menurut Para Ulama

Begini Makna Mukallaf dan Taklifi yang Benar Menurut Para Ulama

PeciHitam.org Syarat utama diberlakukannya hukum Islam kepada Muslim secara penuh ketika sudah menginjak usia dewasa atau akil baligh. Ketika masih dalam kondisi belum dewasa maka belum dikenai had atau peraturan hukum secara penuh.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Maka tidak ada dosa bagi anak kecil yang meninggalkan syariat, karena kesempurnaan akal belum tercapai. Akan tetapi dalam adab tarbiyah kepada anak, hendaknya orang tua terus melatih beribadah dengan benar. Tujuannya ketika memasuki usia akil balik, sudah siap dan memiliki bekal beribadah dengan baik dan benar.

Menjalankan syariat hanya diwajibkan kepada mereka sudah memasuki usia akil baligh atau sering disebut dengan mukallaf. Dan hukum yang dibebankan kepada mukallaf dinamakan hukum Taklifi. Hubungan antara mukallaf dan taklifi adalah hubungan implikasi, yang mana ketika sudah mukallaf maka pasti terkena hukum taklifi.

Daftar Pembahasan:

Beda Baligh dan Mukallaf

Kitab-kitab fikih dalam Islam bisa dipastikan akan menyinggung istilah mukallaf dan taklifi. Secara bahasa Mukallaf dan Taklifi berasal dari kata (كلّف) yang bermakna menugaskan, menginstruksikan atau menyuruh. Kata mukallaf adalah bentuk pasif dari (كلّف) yang sederhananya diartikan sebagai ‘orang yang diperintah, diinstruksikan dan ditugaskan.

Sedangkan kata Taklifi adalah bentuk ‘kata benda’ atau masdar yang sederhananya dimaknai sebagai ‘Penugasan, penginstruksian dan penyuruhan’.

Dalam makna operasional, mukallaf dan taklifi bisa dimaknai sebagai Muslim yang sudah dikenai kewajiban menjalankan syariat dan meninggalkan larangan Allah SWT secara sempurna.

Orang yang sudah mukallah dan taklifi bisa dipastikan berasal dari umur akil baligh. Dalam kerangka penentuan akil baligh, Islam sangat memperhatikan kriteria-kriteria biologis dan spiritual. Karena penentuan baligh dalam Islam berbeda antara satu individu dengan lainnya.

Kriteria dalam menentuan akil baligh dalam Islam yang paling mudah adalah menggunakan ukuran umur. Maka beda antara Istilah mukallaf dan taklifi dibandingkan dengan Baligh adalah berdasarkan kriterianya. Orang yang sudah mukallaf dan terkena hukum taklifi dipastikan sudah akil baligh.

Baca Juga:  Mengapa Al-Qur’an Turun secara Berangsur-angsur? Inilah Hikmahnya

Sedangkan orang yang sudah akil baligh, tidak selamanya bisa terkena hukum taklifi, karena  bisa dihalangi dengan udzur dan alasan tertentu (Mahjub). Perbedaan keduanya harus dipahami secara baik oleh masyarakat.

Ketentuan Umur Baligh dalam Islam

Kewajiban menjalan syariat bagi Muslim harus memperhatikan hukum mukallaf dan taklifi serta ukuran akil baligh. Penentuan hukum baligh dalam Islam diatur berbeda antar individu, namun merujuk pada kriteria umum yang sama.

Penjelasan ukuran akil baligh dalam Islam diutarakan oleh Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitab Safinatun Najah,

تمام خمس عشرة سنة في الذكر والأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين والحيض في الأنثى لتسع سنين

Artinya; “Ketiga tanda baligh tersebut adalah sempurnanya umur lima belas tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, keluarnya sperma setelah berumur sembilan tahun bagi anak laki-laki dan perempuan, dan menstruasi atau haid setelah berumur sembilan tahun bagi anak perempuan”.

Kriteria Syaikh Salim Al-Hadhrami juga sesuai dengan pemikiran Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Kasyifatus Saja’ dengan menjelaskan kriteria Baligh sebagai berikut;

  1. Bagi laki-laki, tanda Baligh adalah keluarnya sperma karena mimpi basah atau sering disebut Umumnya seorang anak lelaki baru akan mengalami Ihtilam setelah berumur 9 Tahun. Ukuran umur yang digunakan dalam menentukan Hukum Fikih dan Syariat adalah tahun Hijriyah atau Qamariyah, bukan tahun Masehi.
  2. Bagi Perempuan, ketika sudah ada tanda keluar darah dari ‘Jalan Depan’ dan sudah memasuki umur 9 tahun kurang sedikit, maka ia Baligh. Jika anak perempuan mengeluarkan darah sebelum umur 9 tahun taqriban maka darah tersebut dihukumi darah rusak/ penyakit,

Ukuran umur 9 tahun taqriban adalah ukuran umur hukum fikih bagi perempuan yang haid. Ketika anak perempuan mengeluarkan darah pada umur 9 kurang 16 hari, maka darah tersebut sudah dikatakan sebagai darah Haid sebagai tanda Baligh. Jika kurang daripada itu, maka dihukumi Istihadlah.

  1. Bagi laki-laki dan perempuan jika sudah memasuki umur 15 Tahun, maka dengan sendirinya sudah masuk umur akil baligh. Walaupun pada umur 15 tahun tersebut tidak ada tanda-tanda baligh sebagaimana disebutkan di atas.
Baca Juga:  Membeli Baju Baru Untuk Lebaran dalam Islam, Adakah Tuntunannya dari Nabi?

Semua ukuran umur yang digunakan dalam menentukan Hukum Fikih dan Syariat adalah tahun Hijriyah atau Qamariyah, bukan tahun Masehi. Oleh karenanya menandai umur anak menggunakan kalender Hijriyah penting dilakukan guna menentukan kewajiban-kewajiban dalam hukum syariat.

Penjelasan tentang hukum baligh dalam kitab fikih Syafiiyah sangat rinci dengan berbagai permasalahannya. Kiranya untuk mengkaji hukum mukallaf dan taklifi harus membaca kitab yang mudah seperti kitab Ghayah Fathu Qarib, Kasyfatus Saja’, Safinatun Najah dan kitab yang dipelajari Pesantren Nusantara.

Dosa Anak Kecil, Siapa yang Menangggung?

Kewajiban orang tua kepada anak salah satunya mendidik dengan baik sesuai dengan kadar takaran psikologi anak. Bekal ilmu syariat harus ditanamkan kepada anak sebagai bekal ketika sudah menginjak usia mukallaf dan taklifi.

Karena ketika sudah memasuki usia Baligh, seorang anak mempunyai kewajiban menjalankan syariat dengan penuh dan sempurna. Jangan sampai ketika sudah memasuki hukum mukallaf dan taklifi, anak belum bisa beribadah dengan benar. Na’udzubillah.

Ketika anak belum memasuki usia baligh bagaimana posisi dosa atau maksiat yang dilakukan oleh anak? Apakah ditanggung oleh orang tuanya?

Bahwa dalam Islam, tidak ada dosa yang dibebankan kepada orang lain bahkan kepada orang tuanya. Sederhananya, tidak ada pengalihan dosa dalam Islam. Ketika orang melakukan dosa, maka ia sendiri yang menanggung dosanya, bukan orang lain.

لاَ يَجْنِى جَانٍ إِلاَّ عَلَى نَفْسِهِ لاَ يَجْنى وَالِدٌ عَلَى وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُودٌ عَلَى وَالِدِهِ

Artinya; “Tidaklah seseorang berbuat dosa kecuali menjadi tanggung jawabnya sendiri, tidaklah orangtua berbuat dosa menjadi tanggung-jawab anaknya dan tidak pula anak berbuat dosa menjadi tanggung jawab orang tuanya. HR. Tirmidzi)

Sistem hukum Islam mengatur bahwa orang Islam yang terkena kewajiban taklifi maka mempunyai tanggung jawab syariat penuh. Menjalankan mendapat Pahala, jika meninggalkan maka akan mendapat dosa. Dan tidak ada ajaran untuk mengalihkan dosa dari satu orang keorang lain.

Baca Juga:  Takdir Mubram dan Muallaq, Penjelasan serta Contohnya dalam Kehidupan

Sama halnya ketika anak yang belum masuk usia mukallaf dan taklifi atau belum baligh, maka tidak ada kewajiban syariat dibebankan. Ketika kewajiban syariat belum dibebankan kepada anak, pastinya tidak ada dosa ketika anak belum baligh meninggalkan shalat atau puasa.

Namun perlu dicatat, kewajiban orang tua kepada anaknya adalah mendidik dengan baik. Ketika anak tidak mendapatkan pendidikan yang baik dan layak, maka orang tua berdosa. Asal dosa tersebut adalah dari kelalaian dalam menjalankan hak anak mendapatkan pendidikan yang baik dan layak.

Jadi orang tua bukan menanggung dosa anak, akan tetapi akan mendapatkan dosa jika melalaikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan tentang syariat agama Islam.

قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (١٦٤

Artinya; “Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (Qs. Al-An’am: 164).

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan