Mungkinkah Sedang Terjadi Peralihan Sistem Demokrasi di Masa New Normal?

Peralihan Sistem Demokrasi di Era New Normal

Pecihitam.org – ‘New Normal’ membuat heboh pemberitaan awak media yang kian memanas membentuk karakter publik yang cenderung lebih ke arah yang agresif.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah di masa ini sangat kental dengan sarat politik hingga melupakan hakikat demokrasi. Terlebih dengan berbagai teori yang seakan mewakilkan Pemerintah dalam menangani bencana global dengan diadakannya ‘New Normal’.

Kehancuran sebuah negara adalah saat terjadi suatu perubahan sistem tanpa mementingkan kepentingan seluruh rakyatnya. Jika suatu sistem dirubah hanya demi kepentingan elite politik maka hanya akan menimbulkan kediktatoran baik dalam bentuk nyata dan terlihat maupun dalam bentuk perubahan sistem pemikiran yang dilakukan secara berkala.

Seperti yang telah dijelaskan dalam Redakasi Sorge yang berjudul “Bagaimana Demokrasi Runtuh Tanpa Suara” yang mendiskusikan mengenai buku “How Democracies Die” karya dari Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Levitsky dalam bukunya sebenarnya ingin menjelaskan mengenai peralihan demokrasi yang terjadi di Amerika.

Levitsky dan Ziblatt menjelaskan dalam bukunya terdapat dua pola peralihan masa demokrasi menuju rezim otorotarian. Pola pertama adalah melalui jalur kekerasan seperti mobilisasi kekuatan fisik, penggunaan senjata dan sebagainya. Pola kedua adalah penghancuran demokrasi melalui cara-cara yang demokratis seperti melalui Pemilu, referendum, dan sejenisnya.

Kehancuran demokrasi ini dilakukan oleh “elected autocrats” yakni para otokrat yang terpilih. Hal ini sejalan dengan perubahan sistem yang dilakukan pemerintahan dalam sebuah Negara, di Indonesia saja sudah muncul berbagai ketakutan akan rezim demokrasi di era saat ini. Ketakutan akan bayang-bayang UU dan RUU KUHP yang makin memojokkan beberapa pihak dan justru menguntungkan pihak lainnya.

Baca Juga:  Peran Santri dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia

Begitu juga ketakutan pers yang secara khusus menerbitkan berita sesuai dengan pihak yang diuntungkan dan cenderung menghindari konflik dengan para otokrat (yang memiliki kekuasaan). Bahkan di era saat ini hukum juga mudah dimanipulasi dengan berbagai cara, sehingga keadilan bukan lagi diutamakan tapi kemenangan ada di pihak otokrat.

Dalam artikel tersebut menjelaskan secara detail bahwa upaya yang akan dilakukan oleh para otokrat (elected autocrats) adalah dengan memanipulasi hukum masih dalam takaran legal, bahkan hal itu disetujui oleh parlemen dan diterima oleh pengadilan guna sebagai peningkatan kualitas demokrasi demi menciptakan peradilan yang efisien.

Namun di saat yang bersamaan rezim yang sebenarnya tengah berdiskusi menyusun ulang panduan atau tata cara bernegara yang baru guna melemahkan lawan-lawannya. Para otokrat sebenarnya telah melanggar semua aturan yang tak tertulis sembari mereka mengontrol dan memastikan supaya kompetisi politik tetap berjalan normal seperti sebelumnya.

Keberadaan otokrat membuat demokrasi kian sirna, bahkan melalui jalur politik para otokrat mampu melegitimasi hukum dan kekuasaan yang ada. Adanya demokrasi sebenarnya memberikan kebebasan dalam menyampaikan gagasan secara fair dan menuntut kita untuk memandang musuh bukan sebagai lawan dan tidak seharusnya dimusnahkan.

Baca Juga:  Masjid Akan Dibuka Kembali Saat Masa New Normal

Dalam demokrasi justru pihak oposisi memiliki hak yang sama seperti penguasa untuk membantah atau menyampaikan gagasan yang berbeda, menyampaikan alternatif, dan diperbolehkan berusaha secara aktif mengganti penguasa. Namun hal seperti itu sudah tidak terlihat di Indonesia, contohnya saja dengan dibubarkannya berbagai partai politik atau ormas yang berusaha untuk menentang Pemerintahan.

Bukan hanya itu saja, bahkan banyak orang terlibat masalah hukum hanya karena menyampaikan aspirasi atau gagasan yang berbeda dengan pemerintah atau yang menentang kebijakan-kebijakan dari pemerintah.

Bentuk otoritarian rezim membuat ketidakpercayaan publik lagi terhadap partai politik, bahkan memandang negatif Negara yang ditinggalinya dikarenakan para pemimpin yang dipandang belum layak mengatur tatanan sebuah Negara.

Rezim yang telah memenangkan dua kali Pemilu secara berturut-turut akan lebih leluasa dalam memonopoli melegitimasi kekuasaan dalam politik dan menghabisi puing-puing bangunan demokrasi yang telah terbentuk sejak lama.

Di Indonesia Pancasila yan menjadi pedoman utama dalam bernegara menjadi terasa semakin asing meskipun para pemimpin bangsa menggaungkannya di setiap momen namun bukti keberadaannya masih selalu dipertanyakan.

Baca Juga:  KH Afifuddin Harisah: Rasulullah Membenci Chaos, Pelakunya dan Segala Bentuk Provokasi

Kemudian apa sajakah solusi yang tepat dalam situasi dan kondisi seperti saat ini. Apa dengan kembali pada masa lalu menggantungkan demokrasi pada elite militer di mana Indonesia memiliki trauma psikis sendiri terhadap era rezim Soeharto yang menguasai Indonesia melalui jalur militer.

Pada saat itu kemerdekaan Indonesia telah diraih pada rezim Soekarno, namun keberadaan rezim Soeharto berikutnya justru menimbulkan kediktatoran sehingga rakyat merasa terintimidasi secara sepihak.

Mungkinkah solusi yang tepat dengan bergantung pada aliansi atau partai politik Islam, yang mana banyak resiko yang harus diambil juga sebab tidak semua aliansi mau berdamai dengan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia.

Peringatan yang paling keras bagi seluruh rakyat Indoesia adalah kehilangan demokrasi tanpa kita sadari karena tidak meninggalkan bekas sama sekali dan membuat perubahan watak maupun karakter bangsa seutuhnya tanpa tersisa sedikitpun.

Indriani Pratami
Latest posts by Indriani Pratami (see all)