3 Kasus Penting yang Pernah Nabi SAW Musyawarahkan dengan Sahabat

3 Kasus Penting yang Pernah Nabi SAW Musyawarahkan dengan Sahabat

PeciHitam.org Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’), persetujuan (ijma’), dan ijtihad.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Seperti banyak konsep dalam tradisi politik Barat, istilah istilah ini tidak selalu dikaitkan dengan pranata demokrasi dan mempunyai banyak konteks dalam wacana Muslim dewasa ini.

Namun, terlepas dari konteks dan pemakaian lainnya, istilah-istilah ini sangat penting dalam perdebatan menyangkut demokratisasi di kalangan masyarakat Muslim. Perlunya musyawarah ini merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia.

Pentingnya Musyawarah

Masalah musyawarah ini dengan jelas disebutkan dalam Alquran Surat asy-Syuura’:38, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apa pun untuk menyelesaikan urusan yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian, tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya.

Oleh karena itu, perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Dalam bidang politik, umat Islam mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani masalah negara.

Dalam pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas.

Untuk membahas lebih lanjut tentang prinsip musyawarah ini, ada baiknya kita ketahui bagaimana musyawarah yang dilakukan oleh Nabi saw. Bagaimana musyawarah yang dilakukan oleh Nabi saw.? Pertanyaan ini penting dikemukakan, mengingat peristiwa musyawarah yang dilakukan oleh Nabi saw. ternyata menimbulkan beberapa interpretasi yang berbeda.

Di satu pihak, Nabi saw. bermusyawarah itu diartikan sebagai indikasi bahwa Nabi saw. selain mengemban misi kenabioan, juga membangun negara. Di lain pihak, musyawarah yang dilakukan oleh Nabi saw. dimaknai sebagai karakter demokratis dalam Islam.

Baca Juga:  Awal Sejarah Munculnya Kaum Sufi, Kapan dan Bagaimana?

3 Kasus Musyawarah Pada Masa Nabi

Selama kehidupan Nabi saw., banyak terjadi musyawarah, mengingat beliau adalah seorang yang bersikap terbuka dan menerima pendapat orang lain. Di antara beberapa peristiwa permusyawaratan yang dilakukan oleh Nabi saw. tersebut adalah :

  1. Ketika Nabi hendak menentukan posisi Perang Badar

Dalam Perang badar, Nabi saw. menentukan posisi kaum Muslimin untuk berada dekat dengan sumber air. Akan tetapi, salah seorang sahabat Anshar, yaitu Hubab ibn Mundhir, datang menemui Nabi saw dan bertanya apakah keputusannya itu berasal dari perintah Allah, yang konsekuensinya adalah tentara dari kaum Muslimin tidak boleh meninggalkan tempat, ataukah keputusan Nabi SAW itu semata-mata merupakan strategi perangnya? Jika ini memang strategi Nabi SAW, kata Hubaib:

Ini bukanlah tempat yang ideal untuk itu. Sebaiknya bergerak lebih jauh ke depan sumber air tadi. Kita punya banyak tempat yang bisa diisi dengan air, kemudian sumber airnya ditutup dengan tanah. Apabila kita terpaksa mundur, kita masih bisa minum darinya, sementara musuh tidak“.

Ternyata Nabi saw. memutuskan untuk menerima usul Hubab seraya memindahkan posisi tentara kaum Muslimin ke tempat tersebut.

  1. Masalah tawanan Perang Badar

Perang Badar dimenangkan oleh kaum Muslimin; Ketika mereka kembali ke Madinah kaum Muslimin membawa 70 tawanan perang. Di antara mereka terdapat keluarga Nabi SAW, seperti Abbas pamannya, Aqil ibn Abi Thalib, saudara Ali ibn Abi Thalib atau keponakan Nabi saw bermusyawarah dengan para sahabatnya.

Baca Juga:  Ghanimah Hunain, Harta Rampasan yang Menimbulkan Beragam Polemik dan Fitnah

Abu Bakar ash-Shiddiq mengusulkan agar tawanan yang tergolong dalam clan Nabi saw. dan keluarganya, ia menyarankan agar membebaskan mereka dengan memungut tebusan sehingga dapat bermanfaat bagi umat Islam.

Tetapi, Umar ibn al-Khattab mengusulkan dengan nada keras agar membunuh mereka sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan pada saat kaum Muslimin berada di Makkah. Meskipun umat Islam dalam keadaan butuh, menurutnya tidak perlu mengambil tebusan dari tawanan perang.

Dari dua pendapat tersebut Nabi saw. mengikuti pendapat yang pertama, yakni membayar tebusan. Sedangkan bagi yang tak mampu membayarnya diharuskan memberi pengajaran baca-tulis kepada kaum Muslimin selama beberapa waktu tertentu.

Peristiwa ini membuktikan bahwa Nabi saw memiliki sifat terbuka terhadap pendapat orang lain yang berbeda, dan beliau mendahulukan cara damai dari pada kekerasan.

  1. Peristiwa Perdamaian Hudaibiyah

Pada Tahun ke-7 H, bulan DzulQadah, Nabi saw. beserta 1400 pengikutnya berangkat ke Makkah untuk melaksanakan umrah.

Akan tetapi maksud ini dihalang-halangi oleh kaum Qurays Makkah, meskipun berkali-kali Nabi saw menjamin bahwa kedatangannya beserta para sahabat adalah semata-mata untuk tujuan umrah, dan langsung akan kembali setelah selesai melaksanakan ibadah tersebut.

Dalam perjalanan ke Makkah, beliau dan para sahabatnya sedang berpakaian ihram tanpa membawa senjata, kecuali pisau yang memang sudah biasa dibawa orang pada waktu itu.

Melihat sikap penduduk Makkah, Nabi saw. berhenti dan mendirikan kemah di dataran Hudaibiyah, sebelah selatan Makkah, dan memulai perundingan dengan pemuka Qurays melalui utusan masing-masing.

Baca Juga:  Abu Ayyub Al-Anshari; Menjadikan Rumahnya Sebagai Tempat Singgah Nabi Ketika Hijrah

Setelah beberapa hari perjanjian tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, penduduk Makkah melarang Nabi saw. dan kaum Muslimi memasuki Makkah.

Padahal, hal ini bisa menimbulkan kesan tidak baik bagi mereka, sebab sejauh ini pada musim haji setiap tahun, Makkah, khususnya Kakbah, terbuka bagi semua orang yang akan beribadah haji.

Akhirnya, persetujuan telah dicapai, yaitu dengan penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah yang antara lain menyatakan bahwa nabi saw beserta para pengikutnya tidak boleh memasuki Makkah pada tahun itu, tetapi mereka memperbolehkan kaum Muslimin untuk mengunjungi Makkah pada tahun depan.

Saat itu, kaum Muslimin hanya boleh tinggal di Makkah selama 3 hari, dan dengan syarat tidak membawa senjata selain pisau. Peristiwa ini menun jukkan betapa Nabi saw. melakukan musyawarah dan berupaya menghindarkan terjadinya perang atau pertumpahan darah antara kedua belah pihak.

Padahal dari sisi jumlah, saat itu sudah cukup banyak pengikutnya, dan bilamana mereka memutuskan untuk perang, niscaya berpeluang untuk menang. Akan tetapi, hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw., sekali lagi, didahulukan jalan musyawarah.

Ash-Shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan