Pecihitam.org – Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LL.M., M.A. (Hons), Ph.D. atau yang akrab dipanggil Gus Nadir, adalah Rais Syuriah PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Australia dan New Zealand. Beliau juga orang Indonesia yang menjadi dosen tetap di fakultas hukum di universitas di Australia.
Pria kelahiran 8 Desember 1973 tersebut, sejak pertengahan tahun 2015 mengajar di Monash University Faculty of Law hingga meraih posisi sebagai Associate Professor, setelah sebelumnya selama 8 tahun ia mengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Wollongong (2007-2015).
Daftar Pembahasan:
Sanad Keilmuan
Nadirsyah Hosen adalah putra bungsu dari almarhum Prof. K.H. Ibrahim Hosen, seorang ulama besar ahli fiqih pendiri dan rektor pertama Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) dan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ).
Selain itu KH. Ibrahim Hosen juga pernah menjabat ketua MUI/Ketua Komisi Fatwa (1980—2000). Sedangkan sang kakek, KH Hosen, merupakan seorang ulama dan saudagar berdarah Bugis serta pendiri Mu’awanatul Khair Arabische School di Tanjung Karang, Lampung, awal abad ke-20.
Dari ayahnya K.H. Ibrahim Hosen inilah Gus Nadir belajar mengenai ilmu tafsir, fiqih, dan ushul al-fiqh. Dari jalur sang ayah pula ia memiliki sanad keilmuan melalui Pesantren Buntet Cirebon. Selain itu Gus Nadir juga pernah belajar Ushul al-fiqh kepada K.H. Makki Rafi’i Cirebon.
Kemudian Gus Nadir juga belajar bahasa Arab dan ilmu hadis kepada Prof. Dr. K.H. Ali Musthofa Yaqub. “Waktu belum mendirikan Pesantren Darus Sunnah, saya termasuk di antara santri beliau yang pertama.” Kata Gus Nadir.
KH. Makki dan KH Ali Musthofa adalah alumni dari Pesantren Tebuireng. Dari sini maka sanad Gus Nadirsyah Hosen baik dari jalur Buntet maupun Tebuireng tersambung hingga ke Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dst.
Kisah dengan Sang Ayah yang Anti Barat
Alkisah, Gus Nadir pernah menemani sang ayah, KH. Ibrahim Hosen mengisi sebuah ceramah di hadapan para mahasiswi nstitut Ilmu Al-Quran IIQ. Saat ceramah tersebut, KH. Ibrahim berpesan kepada para mahasiswi disana agar tak sekolah ke Barat.
Memang sang Ayah, kata Gus Nadir, punya kecenderungan anti Barat. Hal ini karena stereotip Barat terhadap Islam: sarat kekerasan, merendahkan kaum perempuan, ketinggalan zaman, dan stigma negatif lainnya.
Seusai ceramah, Gus Nadir lalu menanyakan pernyataan sang ayah mengapa berpesan demikian. Ternyata jawaban sang ayah bisa menenangkannya, yang memang telah menyimpan keinginan untuk studi ke luar negeri.
“Itu kan untuk mahasiswi. Kalau kamu boleh. Abah percaya kamu enggak akan goyah. Taklukan Barat. Belajar dan ajarkan Islam di sana. Tembus jantung peradaban itu,” Jawab sang Ayah.
Sang ayah pula yang menyarankan si bungsu-nya itu agar tak sekadar menjadi ahli fiqih atau hanya fokus pada satu bidang keilmuan saja. Kelak, Nadir harus mengembangkan penguasaan keilmuannya juga atas hukum umum, pungas Ibrahim.
Relasi Ibrahim-Nadir juga bukan sekadar bapak-anak namun juga kiai dan santri. Tradisi nyantri merupakan salah satu tipikal pendidikan khas a la NU. Dari proses mengabdi dan berbakti serta belajar dari seorang kiai.
Belajar ke Barat
Dikutip dari Lokadata.id, setelah lulus dari Fakultas Syariah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nadirsyah Hosen mulai mengejar mimpi “menaklukkan Barat” dengan menceburkan diri ke dunia kesarjanaan (scholars).
Akhirnya ia memperoleh gelar magister dari dua kampus berbeda di Australia: Master of Laws (studi hukum) di Northern Territory University dan Master of Arts (studi Islam) di University of New England.
Setelah lulus studi magister tersebut Gus Nadir juga sempat mengajar di IAIN Jakarta. Namun hal itu hanya dilakoni selama enam bulan saja. Ia telanjur masih haus dalam lautan ilmu dan dua gelar magister tak cukup mengobati dahaga akademiknya.
Dari situ Gus Nadir lalu melanjutkan studi doktoralnya di dua kampus: Wollongong University (Doktor hukum) dan National University of Singapore (Doktor hukum Islam).
Setelah menyelesaikan dua gelar doktor, Gus Nadir sebenarnya bisa saja balik dan mengajar di Indonesia. Konon ia disebut-sebut sebagai putra mahkota dan jika pulang bisa langsung jadi rektor IIQ meneruskan sang ayah.
Namun ternyata isyarat langit berkata lain. Gus Nadir lebih memlih merintis karier akademik di Negeri Kanguru. Awal mula, pada tahun 2005, ia menjadi research fellow (peneliti) di Queensland University dan Brisbane University.
Pada pertengahan 2007, Wollongong University (tempat gus Nadir mendapatkan gelar doktoral) membuka lowongan dosen untuk Fakultas Hukum. Ia pun melamar dan berhasil lolos lewat seleksi ketat.
Delapan tahun setelahnya, Gus Nadir hijrah ke Melbourne untuk bergabung dengan Monash University. Gus Nadir pernah mengibaratkan perpindahan dari Wollongong ke Monash ibarat proses transfer pemain sepak bola.
Saat ia kepincut tawaran Monash, pihak Wollongong justru tak mau kehilangan. Bahkan sempat terjadi negosiasi alot. Dekan Fakultas Hukum Wollongang pun sempat menawarkan promosi dan kenaikan gaji.
“Di sana, dosen dinilai dari produktivitas menulis publikasi ilmiah level internasional. Itu ikut menentukan peringkat Universitas. Oleh karenanya jika seorang dosen pindah, publikasinya ikut bersama dia. Nah, kampus jadi kehilangan itu dan bisa jatuh peringkatnya,” kata gus Nadir.
Namun, demikian Gus Nadir akhirnya harus menolak tawaran Wollongang. Meski tawaran tersebut tidak dibilang buruk, namun ia ingin membesarkan anak-anaknya di Melbourne, kata Gus Nadir
Ia pun hijrah dari Wollongang ke Monash, salah satu dari lima kampus terbaik di Australia, dan peringkat 80 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education – majalah edukasi asal Inggris. Di Monash University, Gus Nadir berstatus “senior lecturer” dengan spesialisasi Hukum Islam.
Walhasil, latar belakang pendidikan formal dan nonformal Gus Nadir membawanya ke dalam posisi yang cukup unik. Dari kajian klasik-modern, timur-barat, hukum Islam-hukum umum semua dikuasainya.
Bukan hanya menjadi dosen di kampus kelas dunia, namun juga ikut mengasuh Ma’had Aly Pesantren Raudhatul Muhibbin di Caringin, Bogor pimpinan Dr. K.H. Luqman Hakim. Ia juga sering diundang sebagai pembicara di berbagai seminar internasional serta rutin setiap bulan mengurusi majelis khataman Al-Quran.
Berkat kiprah dan keilmuannya tersebut, maka tak heran jika Gus Nadir menjadi orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang diangkat sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum, Australia.
Berdakwah di Media Sosial
“Ini fardu kifayah, kita harus melawan gerakan radikalisme yang memanfaatkan medsos.” Nadirsyah Hosen (@Na_dirs), cendekiawan Islam.
bagi penguna media sosial Twitter, akan dengan mudah menemukan tulisan-tulisan Gus Nadirsyah Hosen yang banyak sekali memberikan nasehat dan kadang juga berkelakar.
Di linimasa Twitter, Gus Nadir (@Na_dirs) punya 319 ribu pengikut, mungkin sekarang sudah lebih. Cuitannya berkisar dari topik agama, terutama soal tafsir dan hukum Islam. Bila sedang santai, Nadir sesekali berkicau tentang sepak bola, bahkan tidak jarang dengan kenalan dan menyapa para followersnya.
Gus Nadir menyebut media sosial sebagai “lahan dakwah”. Bila tak digunakan, media sosial justru bisa menjadi lahan propaganda dari penyebar kebencian dan kelompok radikal yang memecah persatuan.
Kekhawatirannya cukup beralasan. Karena Kementerian Komunikasi dan Informasi pernah merilis data Mei, 2018 dengan menyebutkan ada lebih dari 1.000 akun radikal di media sosial.
Penulis buku Islam Yes, Khilafah No! itu pernah mengatakan, “Saya melihat aktivitas media sosial itu sudah fardu kifayah—wajib dan baru gugur bila sudah dikerjakan muslim lainnya. Artinya kalau ada yang tidak melakukan, kita berdosa.”