Napak Tilas Perjuangan Syekh Subakir dalam Kitab Musarar

Perjuangan Syekh Subakir

Pecihitam.org – Kitab yang berjudul Musarar adalah kitab yang ditulis oleh Syekh Subakir pada abad ke-13. Kita ketahui Syekh Subakir adalah sosok penyebar Islam yang fenomenal tanah Jawa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Napak tilas perjuangan Syekh Subakir dapat menghasilkan ajaran Islam yang dapat menyatu di dalam kultur Jawa. Sehingga ajaran dan metode dakwah Syekh Subakir dilanjutkan oleh generasi ulama selanjutnya yaitu Syekh Jumadil Kubro hingga para Wali Songo.

Kitab tersebut berisi tentang Serat yang merangkum Pupuh Asmaranda atau patuah-patuah asal muasal munculnya dunia. Dalam muqodimah kitab Musarar, Syekh Subakir telah menjelaskan singkat asal muasal lahirnya tanah Jawa.

Muqadimah tersebut menjelaskan tentang penduduk tanah Jawa yang dulu disebut dengan tana ( Tanah ) dan Nusa ( Pulau ) yang sebagaian besar pada waktu itu dihuni oleh masyarakat yang sekarang disebut dengan masyarakat Sunda.

Sebelumnya pulau Jawa juga mempunyai sebuah nama lain selain tana nusa. Diantaranya adalah Nusa Hara-hara atau Nusa kendang yang mempunyai arti tanah atau pulau yang masih liar.

Maka tidak heran Syekh Subakir tatkala menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa ia mendapat banyak sekali rintangan atau masalah yang muncul. Mulai dari masalah masyarakat yang menentang kehadiran Syekh Subakir di tanah Jawa dan masalah gangguan gaib penghuni tanah Jawa.

Perjuangan Syekh Subakir dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dimulai pada abad ke-13. Syekh Subakir masuk ditanah Jawa yang dikirim langsung dari negara Istambul.

Baca Juga:  Tsabit bin Qurra’ Ilmuan Muslim Penemu Teori Amicable Number

Pengembaraan Syekh Subakir menapaki tanah Jawa dimulai dari ujung timur pulau Jawa. Ia berjalan dan terus berjalan untuk mencari titik dimana pusat kerjaan Jin berasal.

Sampai pada akhirnya ia menemukan salah satu bukit yang disebut bukit Tidar. Ketika sudah menemukan pusat kerajaan Jin tersebut Syekh Subakir kemudian tidak menunggu waktu lama untuk naik di atas bukit tersebut.

Syekh Subakir kemudian naik ke bukit tersebut. Perlu kita ketahui bahwa pada zaman dulu, bukit  masih dalam kondisi hutan belantara, sepi, banyak sekali gangguan dari Jin-Jin penghuni bukit Tidar tersebut.

Tidak sampai disitu, bukit tersebut juga menjadi salah satu bukit yang menjadi tempat pemujaan para kepercayaan animisme dan dinamisme. Banyaknya masyarakat yang memuja pepohonan, patung, dan benda-benda lain yang mempunyai kekuatan.

Melihat kejadian tersebut kemudian Syekh Subakir geram dan ingin sekali merubah kepercayaan masyarakat tersebut kejalan yang lurus yaitu ajaran agama Islam.

Sebelumnya, Koentjaraningrat perpendapat bahwa Agama Hindu merupakan agama pertama yang mulai bersentuhan dengan budaya Jawa. Agama Hindu mulai memasuki Tanah Jawa pada abad ke-4 namun kebudayaan Hindu-Jawa baru tampak pada abad ke-8.

Kemudian Agama Buddha yang di bawa oleh Dinasti Syailendra dari Sumatera pada abad yang sama turut memperkaya khazanah keberagamaan masyarakat Jawa pada masa tersebut. Agama Islam mula masuk ke Tanah Jawa sekitar abad ke-7 tetapi pada masa ini penyebarannya tidak begitu meluas.

Agama Islam kemudian muncul setelah agama Hindu dan Budha yang sudah ada di tanah Jawa. Tidak heran, pada waktu itu banyak tradisi masyarakat yang berasal dari agama Hindu dan Buddha yang sudah mendarah daging di masyarakat Jawa. Disinilah letak dimana Syekh Subakir mengalami kesulitan dalam menyebarkan dakwahnya.

Baca Juga:  Buya Hamka: Seorang Tokoh, Ulama, Sastrawan, dan Mufassir yang Pernah Menjadi Tahanan Politik

Hingga suatu ketika ia mencoba untuk memahami apa yang menjadi dasar ajaran dalam tradisi tersebut. Pada akhirnya, Syekh Subakir menemukan titik dimama yang melatarbelakangi banyaknya masyarakat Jawa menganut kepercayaan animisme dan dinamisme tersebut.

Karena masyarakat Jawa percaya dengan benda-benda yang bersifat gaib, mistis dan magis. Maka sukar sekali untuk agama Islam menular ke dalam masyarakat walaupun banyak utusan yang dihantar untuk menyebarkan Agama Islam.

Kemudian Syekh Subakir mencoba untuk menemui siapa yang merajai dari Jin-Jin tersebut. Ia lalu menancapkan tombak yang telah ia bawa yaitu tombak Kiai Sepanjang. Tombak tersebut ditancapkan dipuncak bukit Tidar.

Setelah ditancapkanya tombak tersebut, suasana panas menyelimuti Pulau Jawa. Kemudian Syekh Subakir menemukan salah satu sosok yang terdapat di puncak bukit Tidar. Sosok tersebut berwujud seperti Semar. Sosok tersebut adalah raja dari alam Jin yang ada di bukit Tidar.

Hingga pada akhirnya pertarungan antara Syekh Subakir dan Raja Jin pun tidak terhindarkan. Pertarungan tersebut dilakukan selama empat puluh hari, selama bertarung tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.

Kemudian dibuatlah sebuah dua perjanjian antara Syekh Subakir dengan Raja Jin. Isi dalam perjanjian tersebut diantaranya adalah, pertama   Syekh Subakir diperkenankan untuk menyebarkan agama Islam ditanah Jawa namun dengan syarat jangan memaksa.

Baca Juga:  21 Juni Adalah Hari Wafatnya Bung Karno, Inilah Kisah Perjalanan Hidup Sang Proklamator

Kedua ketika sudah masuk agama Islam jangan sampai merusak atau merubah tradisi Jawa yang sudah dibangun oleh nenek moyang sebelumnya. Perjanian tersebut yang biasa kita kenal dengan sebutan Sabdopalon.

Dari perjalanan singkat perjuangan Syekh Subakir yang terdapat dalam kitab Musarar di atas menyimpulkan bahwa, kita sebagai masyarakat muslim hendaknya menjadikan Islam sebagai agama yang terus membaur dalam budaya dan tradisi yang sudah ada. Bukan justru meninggalkan dan bahkan menghilangkan tradisi tersebut dengan cara merubahnya.

Sehingga dengan cara melestarikan tradisi yang telah ada yang berlandasan agama maka kita akan dapat dengan mudah  menjadi pribadi yang santun, beretika, dan mempunyai rasa toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, tardisi dan budaya.

M. Dani Habibi, M. Ag