Nasehat Imam Abu Hanifah Kepada Khalifah Tentang Poligami

nasehat abu hanifah tentang poligami

Pecihitam.org – Pernikahan membutuhkan persiapan yang matang. Dalam ajaran agama Islam, menikah adalah ibadah. Oleh sebab itu, menikah tidak bisa sembarangan dilakukan. Persiapan yang matang mesti dibangun baik secara fisik maupun mental. Jangan lupa, ingat juga nasihat dari orang-orang baik termasuk nasihat pernikahan Imam Abu Hanifah berikut ini:

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nasihat pernikahan Imam Abu Hanifah bermula ketika pada suatu waktu, terjadi perselisihan antara Abu Ja’far al-Manshur (712–775 M), khalifah kedua Bani Abbasiyah, dengan permaisurinya, al-Hurrah. Perselisihan tersebut timbul lantaran keinginan al-Manshur untuk menikah lagi.

Puncak perselisihan tersebut adalah perpecahan (syiqaq) sebab ketidakadilan sang khalifah kepada istrinya. Sang istri pun menuntut keadilan padanya. Yakin akan memenangi gugatan sang istri, al-Manshur pun menyanggupinya. Ia lalu bertanya kepada istrinya, “Dengan siapa kamu rela menyelesaikan masalah di antara kita ini?”

Sang istri berkata, “Dengan Imam Abu Hanifah.”

Maka, Al-Manshur pun menyetujui pilihan istrinya. Ia menghadirkan Imam Abu Hanifah (80–148 H/699–767 M) ke istana. Al-Manshur berkata kepada Imam Hanafi atau Abu Hanifah, “Wahai Imam Abu Hanifah, Istriku, al-Hurrah menentangku.”

Baca Juga:  Kasus Pelecehan Seksual dan Hukumannya di Zaman Nabi Saw

Imam Abu Hanifah mempersilakan al-Manshur untuk berbicara, “Wahai amirul mukminin, bicaralah.”

Al-Manshur kemudian berbicara dengan mengajukan pertanyaan, “Wahai Imam, berapa banyak seorang lelaki boleh menikahi perempuan?”

“Empat,” jawab Imam Abu Hanifah singkat. Al-Manshur bertanya kembali, “Dan berapa dia boleh menikahi hamba sahaya?”

“Sekehendaknya. Tiada batasan jumlah,” tukas Imam Abu Hanifah.

“Bolehkah seseorang berpendapat bertentangan dengan ketentuan itu,” tanyanya penuh semangat.

“Tidak, “ sahut Imam Abu Hanifah.

Mendengar jawaban-jawaban tersebut, Al-Manshur yakin keputusan Imam Abu Hanifah akan berpihak kepadanya. Tapi sebelum melanjutkan pembicaraannya lagi, ia melirik ke arah sang istri sembari tersenyum penuh kemenangan.

Beberapa waktu kemudian, Al-Manshur melanjutkan dialognya dengan Imam Abu Hanifah,”Engkau telah mendengar pendapat dan argumentasiku, wahai syeikh. Kini, bagaimana pendapatmu tentang masalahku?”

Imam Abu Hanifah menanggapi atau menjawab dengan penuh wibawa,”Wahai Abu Ja’far, Allah Swt. membolehkan itu semua hanya bagi orang yang bisa berlaku adil. Sedangkan, orang yang tidak bisa berbuat adil atau khawatir tidak bisa berbuat adil, seyogyanya ia tidak menikah lebih dari satu istri saja.”

Baca Juga:  Kemaksuman Nabi Muhammad: Kisah Nabi Muhammad yang Terjaga dari Kemaksiatan

Setelah itu, Imam Abu Hanifah  menyitir surat an-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut:

فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً

“Semestinya, kita ini berakhlaq dengan akhlaq Allah dan menerima nasehat-nasehat yang bersumber dari Allah,” imbuh Imam Abu Hanifah.

Mendengar wejangan tersebut, Abu Ja’far Al-Manshur hanya bisa terdiam. Senyum kemenangan yang sebelumnya mengembang perlahan meredup dan hilang dari raut wajahnya. Cukup lama mulutnya terkunci. Lidahnya kelu dan tak mampu berucap.

Dalam situasi tersebut Imam Abu Hanifah pun mendahului berbicara. Ia minta diri untuk kembali pulang. Sesaat setelah Imam Abu Hanifah tiba di rumahnya, pelayan istri khalifah datang sembari membawa berbagai macam hadiah; uang, pakaian, hamba sahaya, dan khimar.

Baca Juga:  Abu Ali al-Haddad dan Pengalaman Spiritual Bersama Gurunya

Imam Abu Hanifah menolak semua pemberian atau hadiah tersebut. Kepada pelayan utusan ia berpesan, “sampaikan salamku kepada permaisuri. Katakan kepadanya, saya hanya mempertahankan agamaku. Saya berdiri tegak dalam posisi itu karena Allah semata, bukan bertujuan untuk mendekati seseorang maupun berharap mendapatkan harta dunia.”

Demikianlah kisah nasihat pernikahan Imam Abu Hanifah yang bersumber dari Kitab Alf Qishshoh wa Qishshoh min Qashas ash-Shalihin wa as-Shalihat wa nawadir az-Zahidin waz-Zahidat karya Haniy al-Hajj. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam Bissawab.

Ayu Alfiah