PeciHitam.org – Akhir-akhir ini wajah Islam seolah terlihat begitu garang, kaku, dan anti guyon. Padahal Rasulullah sebagai teladan seluruh umat Islam sendiri bukanlah pribadi yang demikian.
Beliau pun bercanda dengan keluarga dan para sahabatnya. Sebagai contoh ketika Rasulullah menghibur Fatimah, dan Fatimah pun tertawa.
Rasulullah memang dikenal sebagai pribadi yang tidak pernah tertawa sampai terbahak-bahak. Beliau hanya tersenyum. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Aisyah berikut:
ما رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ مُسْتَجْمِعًا قَطُّ ضَاحِكًا، حتَّى أرَى منه لَهَوَاتِهِ، إنَّما كانَ يَتَبَسَّمُ
Artinya: “Aku (Aisyah) sama sekali tidak pernah melihat Nabi Muhammad saw tertawa dengan terbahak-bahak sampai aku melihat langit-langit mulutnya. Yang beliau lakukan hanyalah tersenyum.”
Daftar Pembahasan:
Kisah Kejenakaan Rasulullah
Ada lagi suatu Riwayat masyhur yang menceritakan kejenakaan Rasulullah. Suatu ketika ada seorang wanita tua mendatangi beliau dan menanyakan perihal surga, “Wahai Rasulullah, apakah wanita tua sepertiku masuk surga?”
Jawaban Rasulullah mengejutkan, “Wanita tua tidak ada di surga.”
Sontak wanita tua yang bertanya tadi terkejut dan menangis tersedu-sedu. Rasulullah pun segera menghiburnya dan menjelaskan makna dari sabdanya tersebut.
“Sesungguhnya ketika masa itu tiba, Anda bukanlah seorang wanita tua seperti sekarang.”
Rasulullah pun membacakan ayat berikut ini:
إِنَّآ أَنشَأْنَٰهُنَّ إِنشَآءً فَجَعَلْنَٰهُنَّ أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) dengan langsung. Dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan.“ (QS al-Waqi’ah: 35-36).
Mendengar penjelasan Rasulullah tersebut, akhirnya wanita tua tersebut pun tersenyum.
Anekdot ala Nasruddin Hoja
Nama Nasruddin Hoja memanglah masyhur di kalangan umat Islam karena banyaknya kisah kejenakaannya. Saking lucunya, membuat beberapa orang bahkan mempertanyakan, apakah betul-betul ada tokoh Nasruddin Hoja tersebut? Atau hanya fiktif belaka?
Dalam sebuah literatur menyebutkan bahwa Nasruddin Hoja bukanlah tokoh fiktif. Ia ada dan nyata pernah hidup di era dinasti Seljuk. Tercatat dilahirkan di desa Khortu, Sivri Hisar, Anatolia Tengah Turki pada tahun 776 H/1372 M, dan meninggal di kota Ak-Shehir, Provinsi Konya, Barat Laut Turki Modern pada tahun 838 H/1432 M. Menurut pendapat yang masyhur, Nasruddin merupakan salah satu pengikut mazhab Hanafi.
Kisah jenaka yang sering diceritakan biasanya ketika Nasruddin dipanggil oleh khalifah ke istana. Kala itu, sang Khalifah meminta masukan kepadanya mengenai penegakan hukum dan keadilan di kerajaannya yang dinilai belum maksimal.
Nasruddin dengan bijaknya menyarankan raja, hakim, para pejabat dan seluruh rakyat untuk berlatih mengenali kebenaran secara lebih dalam. Menurutnya kebenaran pada sisi yang lebih dalam, hanya memiliki perbedaan tipis dari kebenaran pada permukaan.
Mendengar saran tersebut, sang khalifah masih bingung dan belum paham, apa maksud perkataannya. Ia pun meminta Nasruddin untuk memberikan contoh.
Menanggapi hal tersebut, Nasruddin pun memutar otaknya. Ia teringat bahwa jika rakyat biasa ingin masuk ke ibu kota kerajaan, dilakukan pemeriksaan yang ketat.
Seluruh barang bawaan diperiksa terlebih dahulu sembari dicecar pertanyaan oleh penjaga gerbang terkait tujuan dan keperluan. Jika terbukti berbohong maka akan dihukum gantung.
Nasruddin Hoja pun meminta izin kepada Khalifah (raja) untuk pulang terlebih dahulu ke rumahnya. Seperti yang ia bayangkan, saat hendak masuk ke ibu kota pun ditanyai, apa keperluannya datang kemari. Dengan sigap ia menjawab, “Aku mau masuk, karena aku mau dihukum gantung.”
Mendengar jawaban tersebut, jelas penjaga gerbang tak percaya. Nasruddin lalu menimpali, jika ia terbukti berbohong, Ia mempersilahkan dirinya digantung.
“Kalau aku menggantungmu karena berbohong, bukankah justru aku menjadikan pernyataan awalmu tadi sebagai sebuah kebenaran,” jawab penjaga.
Jawaban penjaga tersebut seperti yang diharapkan Nasruddin. Ia menilai bahwa penjaga tersebut sudah mampu mengetahui sisi kebenaran yang lebih dalam, seperti yang telah ia sampaikan di hadapan khalifah. Ia pun meminta penjaga menyampaikan hal tersebut kepada Khalifah.
Nasruddin Hoja dalam langkahnya ini, seolah ingin mengajak semua berpikir, menemukan dan merasakan kebenaran bersama. Ia tidak langsung menunjukkan kebenaran, namun justru bertanya apa itu kebenaran? Ya, mungkin tepat jika ada ungkapan bahwa ‘pertanyaan adalah separuh kebenaran’.
Nasruddin Hoja Mengajari Keledai Membaca
Ada pula kisah yang tak kalah cerdiknya. Pada suatu ketika ia dipanggil raja dan diberi hadiah seekor keledai. Pemberian raja tersebut bukan tanpa maksud, ia hendak meminta Nasruddin mengajari keledai membaca. Jika Nasruddin berhasil, raja akan memberinya hadiah yang besar. Namun sebaliknya jika ia gagal, akan dihukum.
Mendengar tantangan tersebut, Nasruddin kemudian meminta waktu selama tiga bulan, sekaligus meminta biaya untuk keperluan melatih keledai membaca. Hal yang tergolong mustahil ini ia sanggupi, seolah ingin menunjukkan kecerdikannya.
Tiga bulan pun berlalu, memaksa Nasruddin kembali menghadap raja. Di istana, Raja sudah menyiapkan buku besar. Tak disangka, keledai Nasruddin pun memandang buku tersebut, lalu membuka lembar demi lembar buku besar tadi.
Raja takjub sekaligus curiga, bagaimana mungkin Nasruddin dapat mengajari keledai membaca?
Nasruddin pun menjelaskan, bahwa ia selama tiga bulan itu biasa menghadapkan keledai dengan lembaran besar yang mirip buku, dan menyisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai pun terbiasa membalikkan lembaran-lembaran tersebut, demi mendapatkan biji gandum untuk dimakan.
Raja pun protes, dan berkata “berarti keledai itu tak bisa membaca?”
Sekali lagi, dengan kecerdikannya, Nasruddin menjawab, “Ya, begitulah cara keledai membaca, Raja. Hanya membolik-balik halaman buku, namun tidak mengerti isinya. Sama halnya jika kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, bukankah kita setolol keledai?”
Sang raja pun mengangguk dan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban dari Nasruddin Hoja tersebut.
Hal yang mustahil menurut akal seperti mengajari keledai membaca pun disanggupinya. Nasruddin tak kehabisan akal.
Nasruddin dan Seekor Keledai
Pernah pada suatu saat, Nasruddin menaiki keledai seorang diri, namun anaknya yang berjalan kaki. Melihat hal tersebut, orang-orang di sekitarnya mengatakan bahwa Nasruddin egois.
Ia tidak kasihan melihat anaknya jalan kaki, sedangkan ia sendiri menaiki keledai. Harusnya anaknya yang naik keledai, Nasruddin lah yang jalan kaki.
Mendengar cibiran tersebut, Nasruddin pun berganti posisi dengan anaknya. Ia berjalan kaki dan anaknya naik keledai.
Menyaksikan itu, orang-orang sekitar pun masih mencibirnya. “Sungguh tak pantas pemandangan tersebut. Masak yang tua jalan kaki, sedang yang muda naik keledai.”
Sambil menghela napas, Nasruddin pun meminta anaknya turun dan memintanya berjalan bersama menuntun keledai mereka.
Lagi-lagi, mereka dicibir, “Nasruddin itu apa tidak punya otak, keledai kok dituntun, tidak dinaiki”.
Haiisshhh… Masih saja. Nasruddin pun akhirnya memutuskan naik keledai bersama anaknya.
Nasruddin mengira dengan menunggangi keledai bersama anaknya tersebut sudah aman dari cibiran orang sekitar. Namun ternyata tidak!
Mereka berkomentar, “Apa dia tak punya rasa belas kasihan. Keledai kecil seperti itu kok ditunggangi dua orang?”
Seluruh opsi telah ditempuhnya, masih saja salah. Nasruddin dan anaknya kemudian memilih membopong keledai mereka di sisa perjalanan sampai ke tujuan.
Beginilah kurang lebih gambaran bersosial media sekarang ini, selalu ada celah untuk berkomentar, baik itu hinaan maupun pujian.
Ada sebuah bait syi’ir dari kitab Hidayatul Azkiya’, tepatnya dalam bab Ikhlas, kiranya cocok dengan kisah di atas:
Iman seorang hamba tidak menjadi sempurna # sehingga (padangan) manusia dan onta (atas amalnya) sama baginya
Jadilah celaan dan pujian meraka tak ada beda # Tak takut atas cacian karena Tuhan yang Maha Mulia
Kalau kata Gus Dur, “Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatir.”