Niat I’tikaf dan Cara Melakukannya Sesuai Sunnah Nabi

Niat I’tikaf dan Cara Melakukannya Sesuai Sunnah Nabi

PeciHitam.org – I’tikaf merupakan salah satu aktifitas yang pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sebuah aktifitas berdiam diri dalam masjid sembari berdzikir atau wiridan. Namun sudahkah kita mengetahui niatnya dan ketentuan-ketentuannya?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Berikut ini adalah lafal itikaf yang dapat dibaca untuk memantapkan niat:

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ مَا دُمْتُ فِيهِ

Nawaitu an a‘takifa fī hādzal masjidi mā dumtu fīh.

Artinya, “Saya berniat itikaf di masjid ini selama saya berada di dalamnya.”

Lafal niat ini merujuk pada Kitab Tuhfatul Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj. Lafal itikaf lain yang dapat digunakan adalah lafal berikut ini. Lafal niat itikaf ini dikutip dari Kitab Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawi:

نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هذَا المَسْجِدِ لِلّهِ تَعَالى

Nawaitul i’tikāfa fī hādzal masjidi lillāhi ta‘ālā.

Artinya, “Saya berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah SWT.”

Pelaksanaan i ‘tikaf oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi dan para shahabat beri’tikaf atau bertekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.

Sedikit pun tidak disangsikan lagi bahwasannya tempat pelaksanaan i’tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah SAW melaksanakan i’tikaf di masjidnya sendiri yaitu masjid Nabawi di Madinah.

Oleh karena itulah, ada banyak pendapat perihal dimana seharusnya i’tikaf itu di­laksanakan. Hal ini lantaran pengertian masjid tempat i ‘tikaf yang ditunjukkan Al Qur’an dianggap masih relatif.

Firman Allah SWT:

وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

“Sedangkan kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS Al Baqarah 2: 187)

Pendapat pertama, i’tikaf itu hanya dapat dilakukan di tiga masjid saja. Yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasar­kan pada hadits yang menjelaskan bahwa, dilarang atau tidak akan diberangkatkan kendaraan (buroq, red.) kecuali menuju 3 masjid tersebut di atas.

Baca Juga:  Jalan Terindah Saat Dikritik adalah Tawakkal

Pendapat kedua menyatakan bahwasannya i’tikaf itu harus dilaksanakan di Masjid Jami’. Yakni masjid yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat 5 waktu berjamaah dan ibadah Jum’at. Pendapat ini mungkin lebih tepat jika dikaitkan bahwa i’tikaf yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu di masjidnya sendiri yang termasuk dalam kategori Masjid Jami’.

Menurut pendapat penulis, jika kita perhatikan Al-Baqarah ayat 187 sebagaimana tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengertian masjid yang dinyatakan itu sifatnya umum. Lantaran tidak diikuti dengan satupun nama masjid tertentu. Baik dari ketiga masjid sebagaimana pendapat di atas, maupun selain Masjid Jami’.

Dengan demikian, mengacu pada lahirnya ayat ini, kita dapat diambil kesimpulan bahwa; i’tikaf dapat dilaksanakan di Masjid Jami’ dan lainnya seperti mushalla misalnya; Walaupun memang, i’tikaf itu lebih baik dilaksanakan di Masjid Jami’, supaya ketika harus melaksanakan kewajiban ibadah Jum’at misalnya, ia tak perlu lagi keluar dari masjid tempat i’tikafnya menuiu Masiid Jami’.

Apakah yang Dikerjakan Ketika Beri’tikaf?

Sesuai dengan tujuan i’tikaf yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang sedang i’tikaf hendaknya memperbanyak amal ibadah. Misalnya, dengan cara; shalat sunnat, membaca Al-Qur’an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, istighfar, shalawat Nabi, serta memperbanyak doa dan tafakkur. Begitu pula dapat dengan cara melakukan kebajikan lainnya, seperti; mempelajari tafsir, hadits, dan atau ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Orang yang sedang beri’tikaf baiknya menghindari segala hal yang tidak ada manfaatnya, baik dalam perbuatan maupun ucapan.

Baca Juga:  Dampak Menceritakan Mimpi Baik Dan Buruk

Sabda Rasulullah SAW bersabda:

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ

“Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)

Dalam konteks i’tikaf, termasuk dalam hal yang tidak bermanfaat adalah, berdiam diri dengan sia-sia. Jadi, bukan berdiam karena tafakkur.

Orang yang sedang i’tikaf, wajib melaksanakan segala sesuatu yang merupakan unsur atau hakikat dari i’tikaf itu sendiri. Lantaran unsur-unsur itulah yang disebut sebagai rukun. Niat misalnya, yang wajib dilaksanakan untuk setiap ibadah, juga wajib dilaksa­nakan ketika i’tikaf. Karena petunjuk secara umum dalam suatu hadits telah jelas, bahwa setiap ibadah wajib disertai dengan niat.
Selain itu orang yang sedang beri’tikaf juga wajib tinggal di dalam masjid, lantaran tinggal di dalam masjid merupakan unsur penentu untuk dapat disebut beri’tikaf.

Orang-orang yang sedang beri’tikaf juga wajib menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan. Seperti, bersetubuh dan keluar dari masjid tanpa alasan yang sah.

Dapatkah I’tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?

Sejauh yang kami dapat dari keterangan berbagai hadits, i’tikaf itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan. Dan walaupun pernah dilaksanakan pula olehnya pada 10 hari pertama bulan Syawal, hanya sebagai pengganti i’tikaf Rama¬dhan, yang gagallantaran satu dan lain hal.

Maka boleh jadi, dengan hanya mengambil kesimpulan dari berbagai hadits yang mengungkap tentang i’tikaf Ramadhan, muncul suatu pendapat yang menyatakan bahwa, i’tikaf tidak disunnatkan secara mutlak sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Pendapat ini, memang cukup beralasan.

Baca Juga:  Wajib Tahu! Inilah 8 Kebiasaan Tidur Sehat ala Rasulullah

Namun menurut kami, jika kita berbicara tentang perintah melaksanakan nadzar i’tikaf, sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada ‘Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i’tikafnya, maka di dalamnya nampak jelas terkandung pengertian bahwasannya i’tikaf berarti suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Atau dengan kata lain, i’tikaf adalah suatu ibadah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, jika memang kita kehendaki. Seandainya i’tikaf tidak termasuk sebagai suatu bentuk ketaatan kepada Allah, maka tentu saja Umar bin Khattab tidak akan diperintah untuk memenuhi nadzar i’tikafnya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَذَرَ أنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِيْعُهُ

“Siapapun yang telah bematzar akan berbuat taat kepada Allah, maka laksanakanlah natzar tersebut.” (HR. Bukhari)

Selain itu (sebagai tambahan) terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan melaksanakan natzar yang tidak membawa nilai kebaikan atau ketaatan kepada Allah SWT sebagai ibadah. Dengan demikian nampak semakin jelas bahwasannya i’tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang secara mutlak dapat dilaksanakan setiap saat, dengan mendapat pahala meskipun hanya sesaat.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *