Orang Awam Berpenampilan Layaknya Seorang Ulama, Bolehkah?

Orang Awam Berpenampilan Layaknya Seorang Ulama, Bolehkah

Pecihitam.org – Dewasa ini (atau bahkan sudah dari zaman dahulu) terbilang banyak umat Islam Indonesia yang berdandan dan berpenampilan layaknya seorang ulama. Lagi-lagi fenomena semacam ini sering kita jumpai dari kalangan muda yang semangat beragamanya tinggi

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain karena ghirah beragamanya sedang naik, tidak sedikit juga yang berpenampilan layaknya seorang Ulama karena ingin dianggap sebagai orang alim yang memiliki ilmu agama tinggi agar masyarakat meminta fatwa darinya. Jika kita perhatikan keduanya, jelas saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Berbagai ciri dapat dilihat dengan mata meski tanpa kaca dengan tanda yang nampaknya agak beragam, dari mulai memakai serban (‘imamah) hingga memakai gamis kebesaran lengkap dengan serban yang terbelit di kepalanya sebagai tanda bahwa derajatnya telah mencapai level “mythic”.

Meskipun faktanya bahwa ia bukanlah sosok ulama sebagaimana penampilan dan pakaiannya. Bahkan mungkin bisa jadi mereka tidak pernah belajar agama kepada ulama yang sanad keilmuannya jelas.

Lantas, bagaimana syariat Islam memandang hal demikian? Kiranya persoalan ini dapat dilihat dari berbagai aspek dengan menjabarkan duduk perkaranya secara utuh.

Di antara kaidah ushul fiqh yang masyhur di telinga kita adalah:

الوسائل لها أحكام المقاصد فإذا كان مأموراً بشيء كان مأموراً بما لا يتم إلا به وإذا كان منهياً عن شيء كان منهياً عن جميع طرقه ووسائله وكذلك الوسائل إلى سائر المعاصي كالزنا، والسرقة، وشرب الخمر ونحوها كلها محرمة.

Baca Juga:  Benarkah Khilafah Merupakan Solusi bagi Umat Islam? Baca dulu!

Artinya: Hukum perantara adalah tergantung hukum tujuan. (Maksudnya) jika perkara (tujuan) tersebut wajib, maka hukum melaksanakan perkara yang dapat menyempurnakan kewajiban tersebut menjadi wajib pula. Begitupula jika perkara tersebut dilarang, maka hukum melaksanakan seluruh perantaranya juga dilarang. Termasuk seseorang yang memiliki tujuan maksiat, seperti zina, mencuri, minum khamr dan sebagainya, maka melakukan perantaranyapun dihukumi haram.

Dengan kaidah tersebut, sementara dapat kita simpulkan bahwa jika memiliki tujuan buruk yang dilarang maka melaksanakan perantaranya juga dihukumi buruk dan dilarang.

Dengan demikian, jika ia memakai pakaian ulama atau berpenampilan layaknya seorang ulama dengan maksud sombong atau menipu (berbohong agar masyarakat menghormati dan menganggapnya alim) maka layaklah kiranya perbuatan tersebut dihukumi haram.

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

Artinya: Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami Abu Dawud telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Aban bin Taghlib dari Fudlail dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dari kesombongan.” [HR. Bukhari]

Baca Juga:  Benci Tapi Rindu, Salafi Wahabi Masih Suka Nukil Kitab Ulama Asy'ariyyah

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab Iman bab Tahriim al-Kibr wa Bayaanih (keharaman sombong dan penjelasannya). Hadis ini shahih.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ أَخْبَرَنَا الْأَعْمَشُ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا …

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Waki’ berkata, telah mengabarkan kepada kami Al A’masy. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Dawud berkata, telah menceritakan kepada kami Al A’masy dari Abu Wail dari Abdullah ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhilah kebohongan, sebab kebohongan menggiring kepada keburukkan, dan keburukan akan menggiring kepada neraka. Dan sungguh, jika seseorang berbohong dan terbiasa dalam kebohongan hingga di sisi Allah ia akan ditulis sebagai seorang pembohong … [HR. Muslim]

Secara spesifik, Syekh Muhammad Amin al-Kirdi dalam kitab Tanwiir al-Quluub fii Mu’aamalah ‘Allaam al-Ghuyuub halaman 131 menjelaskan hukum orang awam berpenampilan layaknya seorang ulama, yaitu sebagai berikut:

Baca Juga:  Pentingnya Wacana Islam Sipil di Tengah Gelombang Ekstrimisme Beragama

ومن البدع توسيع الثياب والأكمام لكنه مكروه لا حرام إلا ما صارشعارا للعلماء فيندب لهم ليعرفوا ويحرم على غيرهم التشبه بهم في ذلك لئلا يغتر بهم فيستفتوا فيفتوا بغير علم كما أنه يحرم على من ليس بصالح التزيي بزي الصالحين ليغر غيره

Artinya: Di antara perbuatan bid’ah makruhah (bukan bid’ah haram) adalah membesarkan/melebarkan ukuran baju dan lengan-lengan baju tersebut. Adapun jika pakaian tersebut dikenakan oleh para ulama sebagai bentuk syi’ar bagi mereka agar dikenal oleh masyarakat, maka penggunaannya sunnah bagi mereka. Sementara orang awam yang menyerupai mereka (ulama) dengan mengenakan pakaian tersebut padahal ia tidak memiliki kapabilitas dalam ilmu agama, maka hukumnya haram. Karena masyarakat akan meminta fatwa darinya disebabkan karena tampilannya (yang menipu) itu kemudian dia akan berfatwa tanpa ilmu.

Dengan demikian, haram hukumnya orang awam berdandan dengan dandanan ulama dengan tujuan menipu orang lain.

Wallaahu a’lam bishshawaab.

Azis Arifin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *