Pandangan KH. Wahid Hasyim Tentang Posisi Pancasila dan Syariat Islam

Pandangan KH. Wahid Hasyim Tentang Posisi Pancasila dan Syariat Islam

Pecihitam.org – KH. Wahid Hasyim merupakan putera dari KH. Hasyim Asy’ari dan ayah dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dikemudian hari menjadi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) dan Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sosok KH. Wahid Hasim memiliki posisi penting dalam sejarah Indonesia khususnya dalam diskursus Pancasila dan Syariat Islam dalam fase awal-awal pembentukan konstitusi dasar negara Indonesia.

Kiai Wahid merupakan wakil dari kalangan Islam tradisionalis yang terlibat dalam diskusi panjang Pancasila pada masa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia bersama para pendiri bangsa lainnya.

Bahkan pada saat itu Kiai Wahid juga masuk dalam Panitia Sembilan bersama Sukarno, Hatta, dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang menggodok perihal keberatan dari wakil Indonesia bagian Timur terhadap Piagam Jakarta yang dinilai diskriminatif terhadap masyarakat Indonesia bagian Timur yang banyak non-muslimnya.

Panitia Sembilan sepakat bahwa tujuh kata “… dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan dari sila pertama Pancasila. Hasil rapat itu sedikit banyak mencerminkan sikap dari Kiai Wahid yang menjadi bagian tim di dalamnya.

Baca Juga:  Bagaimana Masa Depan Pesantren Salafi Wahabi di Indonesia?

Kiai Wahid memposisikan bahwa Pancasila dalam konteks bernegara memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Syariat Islam. Dalam konteks mengatur kehidupan bersama, Kiai Wahid setuju kalau Pancasila harus menjadi rujukan utama dan menjadikannya konstitusi bersama.

Pandangan demikian itu pernah disampaikan oleh putera sulungnya, Gus Dur. Pandangan itu disampaikan dalam sebuah tulisan berjudul “A. Wahid Hasyim, NU, dan Islam” di Koran Media Indonesia pada tahun 1998.

Dalam tulisan itu Gus Dur menuturkan cerita dari Soewarno, seorang mantan anggota Corp Polisi Militer (CPM) di Yogyakarta. Semasa bertugas, ia berulangkali ditugasi untuk mengawal Jenderal Sudirman bertemu dengan banyak tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Suatu waktu ia mengawal Jenderal Sudirman bertemu dengan Dr. Soekiman Wirosandojo, seorang pimpinan Masyumi yang sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia tahun 50-an dan KH. Wahid Hasyim.

Soewarno menuturkan bahwa ketika mereka bertiga berkumpul, Jenderal Sudirman dan Dr. Soekiman hanya mengangguk-angguk saat mendengarkan paparan Kiai Wahid perihal hubungan Pancasila dengan Syariat Islam.

Baca Juga:  Pancasila, Bukti Indonesia Negara Bertuhan

Menurutnya Kiai Wahid memandang kalau Pancasila memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Syari’at Islam dalam konteks bernegara.

Dalam tulisan itu Gus Dur juga menceritakan pengalaman dari Munawir Sjadzali, mantan menteri agama dari NU. Suatu waktu Munawir pernah berjalan pulang bersama Kiai Wahid setelah menghadiri Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) di Yogyakarta.

Dalam perjalanan itu, Kiai Wahid beberapa kali mengungkapkan kekesalannya dengan beberapa kiai NU yang masih kekeuh menjadikan Syari’ah Islam sebagai landasan bernegara dan tidak melirik menjadikan Pancasila yang memiliki nilai-nilai yang lebih universal untuk mengatasi keberagaman yang ada di masyarakat Indonesia.

Kegelisaan seperti yang dialami oleh Kiai Hasyim terkait dengan Pancasila ini belakangan malah semakin banyak terjadi di masyarakat kita. Namun, kalangan yang menolak menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegara bukanlah dari sebagian kalangan NU. Bahkan dalam internal NU sudah padu sepakat menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegara.

Baca Juga:  Peringatan Maulid yang Diperselisihkan, Berpotensi Satukan Umat

Kalangan yang mempertanyakan ulang posisi Pancasila itu belakangan hadir dari kalangan Islam transnasional. Mereka menegosiasi ulang eksistensi Pancasila dan menawarkan Syariat Islam sebagai solusinya.

Naasnya, persoalan demikian itu sebenarnya sudah diselesaikan oleh para pendiri bangsa (termasuk Kiai Wahid) pada fase awal pembentukan. Sayang sekali hal ini masih diperdebatkan ulang setelah hampir satu abad kita merdeka.  

Demikianlah pandangan Kiai Wahid Hasyim perihal posisi Pancasila dan Syariat Islam. Kiai Wahid lebih setuju kalau Pancasila dalam konteks bernegara memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan Syari’at Islam. Wallahua’lam.