Pecihitam.org- Di mata Gus Dur, gagasan mendirikan negara Islam bukanlah menjadi suatu kewajiban bagi kaum muslim. Yang menjadi kewajiban adalah mendirikan negara yang dapat menegakkan keadilan dan menciptakan kemakmuran.
Gus Dur menulis bahwa: “Islam tidak mengenal doktrin tentang negara an sich. Doktrin Islam tentang negara adalah doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Dalam pembukaan UUD 45 terdapat doktrin tentang keadilan dan kemakmuran. Saya yakin doktrin itu berasal dari pemimpin-pemimpin Islam yang ikut menyusun Muqaddimah konstitusi negara kita. Selama pemerintah bisa mencapai dan mewujudkan keadilan dan kemakmuran, hal itu sudah merupakan kemuan Islam. saya kira tidak diperlukan doktrin Islam tentang negara harus bentuk formalisasi negara Islam…”(lihat Abdurrahman Wahid, Tabayyun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, (Cet. III., Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010).
Untuk menunjukkan kelemahan konsep gagasan negara Islam, Gus Dur sering mengkritik pemaknaan ayat-ayat yang sering dikutip oleh mereka yang pro terhadap pendirian negara Islam. Menurutnya, ada dua ayat yang sering menjadi landasan mereka.
Pertama, yakni QS Al-Baqarah [2]: 208: “Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulu fi al-silmi kaffah).” Bagi kalangan yang mendukung pendirian negara Islam, kata al-silmi sering diartikan secara politis dengan kata islami.
Itu sebabnya, mereka menganggap bahwa pendirian sebuah sistem Islam yang dapat mewakili aspirasi kaum muslim menjadi suatu hal yang mutlak. Namun, Gusdur mengkritik penafsiran tersebut karena hal tersebut cenderung bersifat parsial dan mereduksi kekayaan kandungan Al-Quran secara keseluruhan.
Menurutnya, ada banyak ayat dalam Al-Quran yang menolak mengkhususkan suatu kelompok dari kelompok lainnya, misalnya QS. AlMu‟minun [23]: 53: “Tiap kelompok sangat bangga dengan apa yang dimilikinya.“
Oleh karena itu, ia meyakini bahwa ketika suatu kelompok lebih mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri, maka secara otomatis, ia telah memungkiri kandungan ayat lain dalam Al-Quran yang merupakan prinsip mulia dalam Islam, yakni QS Al-Anbiya [21]: 107 yang menyatakan, bahwa “Dan tiadalah Ku-utus Engkau Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi umat manusia.”
Bagi Gus Dur, ayat tersebut mengandung suatu prinsip mulia yang menjunjung tinggi prinsip persamaan dan persaudaraan, namun sayangnya kebanyakan umat Islam sering mengabaikan prinsip tersebut.
Kedua, yakni QS. Al-Maidah [5]: 3: “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian, Ku tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat-Ku dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama.”
Di mata para kaum Islam formalis yang pro terhadap pendirian negara Islam, ayat ini dianggap merujuk pada pentingnya sebuah sistem kenegaraan yang bercorak agama karena tanpa negara, Islam tak dapat diwujudkan dengan sempurna.
Namun Gusdur membantahnya bahwa dengan menafsirkan ayat tersebut semata-mata hanya merujuk pada pentingnya mendirikan sistem kenegaraan Islam, maka kita sama saja telah memungkiri keberadaan ayat-ayat lain yang juga tak kalah pentingnya, yakni :
- (QS. Al-Baqarah [2]: 256) yang menyatakan bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana yang palsu”
- (QS. Al-Kafirun [109]: 6) yang menyatakan bahwa “bagi kalian agama kalian, bagi-ku agama-ku.”
Dari kutipan ayat tersebut, Gus Dur berpendapat bahwa AlQur‟an sama sekali tak memerintahkan pada umat Islam untuk membentuk suatu lembaga formal yang berfungsi untuk menunjukkan superioritas Islam terhadap agama lain. Baginya, pencarian bentuk negara dan persoalan teknis di dalamnya cukup diserahkan pada hasil ijtihad manusia.
Gus Dur cenderung menolak pendirian negara Islam karena menurutnya Indonesia telah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi negara yang penuh dengan keragaman, sehingga keragaman tersebut harus terus dipupuk dan dirawat -bukan untuk dihancurkan- demi tetap menjaga indahnya taman kebhinekaan kita.
Lanjutnya, dalam konteks Indonesia, Islam tak seharusnya menjadi satu-satunya alternatif, melainkan ia harus menjadi salah satu elemen yang dapat memperkaya dan memberi warna pada keindonesiaan. Menjadikan Islam sebagai satu-satunya alternatif kebenaran terhadap yang lain berarti ia telah menjadi ekslusif.
Penerapan Syariat Islam, demikian Gus Dur, tidak seharusnya dipaksakan oleh negara, karena persoalan agama adalah urusan privat masing-masing pemeluk agama. Negara tak berkewajiban untuk menghukum para individu yang melanggar ajaran agamanya, sebaliknya pelanggaran terhadap ajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi antara para penganut agama dengan Tuhan.