Pembagian Harta Sebelum Meninggal Tidak Bisa Disebut Warisan, Ini Penjelasannya

pembagian harta warisan sebelum meninggal

Pecihitam.org – Masalah warisan memang terkadang menjadi perkara yang tidak mudah. Meski sebetulnya pembagiannya sangat mudah karena sudah jelas ketentuannya. Banyak masyarakat yang sering menanyakan mengenai hukum pembagian harta warisan sebelum meninggal dunia.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di antara salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah khawatir jika pembagian warisan setelah meninggal dunia, para ahli waris akan berselisih, bahkan tidak jarang mengakibatkan terputusnya tali silaturahim di antara mereka, saling bertengkar hingga berakhir dengan pembunuhan.

Pertanyaannya adalah bagaimana hukum pembagian harta warisan sebelum meninggal dunia apakah tetap dianggap warisan? Bagaimana syariat Islam memandang masalah ini? Bagaimana hubungannya dengan hukum-hukum Islam terkait dengan pembagian warisan?

Dalam Ilmu fiqih, pembagian harta warisan disebut dengan faraidh, wiratsah, atau al-tirkah. Fiqih waris adalah ketentuan hukum Islam yang mengatur tentang siapa saja ahli waris yang berhak mendapatkan warisan dan berapa besar bagian kewarisannya.

Adapaun harta warisan menurut pengertian para ulama faraidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. Jadi harta yang pemiliknya masih hidup tidak bisa disebut sebagai harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum warisan.

Baca Juga:  Hukum Ahli Waris Menerima Wasiat Menurut Pandangan Ulama

Dapat dipahami karena harta yang dibagi sebelum pemiliknya meninggal itu tidak termasuk harta warisan, maka harta bisa dinamakan hibah, shadaqah, atau wasiat. Lantas mengapa tidak bisa disebut sebagai harta warisan, ada beberapa penjelasnnya:

Pertama, jika pembagian tersebut dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat (artinya sang ayah tidak sakit keras yang bisa menyebabkan kematian), maka pembagian tersebut disebut Hibah atau Shadaqah, bukan pembagian harta warisan. Adapun hukumnya adalah boleh. (Ibnu Rusydi, Bidayat al Mujtahid wa Nihayah al Maqasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327).

Kedua, apabila pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit parah yang kemungkinan dapat menyebabkan kematian, mayoritas ulama mengkategorikannya sebagai wasiat. Adapaun dalam masalah harta wasiat, wajib memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Tidak boleh berwasiat untuk membagikan harta kepada ahli waris, karena mereka sudah mendapatkan jatah warisan. (HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan).
  2. Boleh berwasiat untuk memberikan harta pada kerabat (non-ahli waris) atau untuk orang lain yang bukan kerabat, jika hal tersebut membawa kemaslahatan.
  3. Wasiat dapat berlaku jika si pemberi wasiat sudah meninggal.
  4. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari total harta yang dimiliki pemilik harta (HR Muslim). Contoh: Apabila hartanya berjumlah Rp 1 Milyar rupiah, maka yang boleh diwasiatkan hanya sekitar Rp350 juta. Sisanya (Rp650 juta) harus dibagikan kepada ahli waris, kelak ketika ia sudah wafat.
Baca Juga:  Khitan Untuk Perempuan, Benarkah ada Aturannya dalam Agama? Baca Penjelasan Berikut Ini

Ketiga, jika sang ayah “telanjur” wafat sebelum melakukan hibah atau wasiat, maka ahli waris haram hukumnya membagikan seluruh harta peninggalan tersebut dengan cara hibah, meskipun ada kerelaan di antara ahli waris. Sebab harta peninggalan tersebut sudah berubah status menjadi harta warisan, maka pembagiannya harus sesuai ketentuan warisan. Baca: Dasar dan Ketentuan Harta Warisan.

Memang ada pendapat yang menganggap pembagian harta warisan termasuk perkara muamalah, bukan ibadah, sehingga boleh dibagi rata sesuai prinsip ‘an taradlin (saling rela). Namun pendapat ini tidak dapat diterima, karena prinsip ‘an taradlin itu tidak berlaku pada hal-hal yang ketentuannya sudah jelas dan pasti (qath’iyyah).

Sebagaimana dipahami, ayat-ayat yang menerangkan pembagian warisan itu tergolong qathi (sudah pasti makna dan maksudnya), karena berupa angka-angka sehingga tidak multitafsir lagi. Hal ini sama seperti jumlah rakaat shalat atau bilangan tawaf, yang sudah pasti dan tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Maka, harta yang sudah berstatus warisan wajib dibagi sesuai ketentuan hukum waris.

Baca Juga:  Hukum MLM dalam Islam; Adakah Larangannya?

Wallahua’lam bisshawab.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik