Inilah Pemikiran Siti Musdah Mulia Seputar Isu Seksualitas dan Politik

Inilah Pemikiran Siti Musdah Mulia Seputar Isu Seksualitas dan Politik

Pecihitam.org- Tentang isu seksualitas, Pemikiran Siti Musdah Mulia yang terdapat dalam buku “Islam Menggugat Poligami”, menegaskan penolakannya atas poligami. Poligami merupakan bentuk superioritas laki-laki yang menempatkan perempuan sebagai pelengkap dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan laki-laki.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pemahaman misoginis terhadap teks agama menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, melahirkan berbagai bentuk penindasan, pelecehan seksual, dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lain. Oleh karena itu, perlu reintepretasi pemahaman ajaran agama yang lebih adil gender (Mulia, 2004).

Seksualitas adalah sebuah proses sosial yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau berahi. Seksualitas seharusnya merupakan hal yang independen dan menjadi hak semua orang, termasuk perempuan.

Perempuan mempunyai hak dan kebebasan atas tubuhnya sendiri, berhak atas kesehatan dan kenikmatan tubuhnya, juga untuk mengapresiasi dan mengekspresikan tubuhnya sendiri.

Namun kenyataannya, seksualitas selalu dipahami dalam konteks maskulinitas, menempatkan laki-laki sebagai subyek dan perempuan sebagai obyek. Pandangan ini melegitimasi laki-laki melakukan pelecehan, perkosaan, dan kekerasan seksual.

Masih tentang seksualitas, dengan merujuk ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (QS. Ar-Rum: 21, QS. AzZariyat: 49, dan QS. Yasin: 36), Musdah Mulia menafsirkan bahwa berpasangan itu tidak harus dalam konteks hetero, tetapi bisa homo dan bisa lesbian (Jurnal Perempuan, 2008).

Baca Juga:  Suami Melarang Istri Berkarir, Bagaimana Islam Memandang Hal Ini?

Sedangkan Pemikiran Siti Musdah Mulia tentang politik formal bisa ditemukan di buku “Perempuan dan Politik”. Musdah Mulia menganggap perempuan harus masuk ke politik formal dengan membawa warna baru, karena perempuan memaknai kekuasaan secara berbeda dari laki-laki.

Kekuasaan oleh perempuan, yakni kekuasaan dengan kasih sayang dan kelembutan bisa diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Jadi perempuan dapat menjadi politikus yang tidak menyakiti lawan politiknya, mampu mengasah sisi keibuan untuk tanggap terhadap kebutuhan orang lain, dan memberdayakan orang lain(Mulia, 2005:12- 13).

Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang setara, perempuan boleh menjadi pemimpin, dan Islam menjamin hakhak politik perempuan. Mulia memberikan solusi untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, yakni melalui pembongkaran terhadap mitos yang menghambat partisipasi politik perempuan, mengkritisi penafsiran agama yang bias gender dan mengatasi hambatan pemahaman agama yang lebih adil gender, juga dengan berupaya mengubah kebijakan publik yang tidak adil (Mulia, 2005).

Baca Juga:  Berhubungan Saat Haid, Bolehkah Dalam Ajaran Agama Islam?

Selanjutnya, dalam buku “Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia”, Musdah Mulia sekali lagi menegaskan pentingnya perempuan berpartisipasi dalam politik formal di Indonesia.

Telah terjadi proses depolitisasi terhadap perempuan, yang berdampak pada ketidakpahaman perempuan akan pentingnya politik bagi perbaikan kehidupan perempuan.

Anggapan bahwa politik adalah wilayah laki-laki, yang digambarkan sebagai hal yang maskulin, kotor dan kejam membuat perempuan enggan terlibat didalamnya.

Perlu dilakukan instropeksi, dan evaluasi dari semua pihak agar masyarakat menyadari adanya ketimpangan gender dan ketidakadilan sosial dalam kehidupan politik di Indonesia (Mulia, 2008).

Musdah Mulia sangat mendukung kepemimpinan perempuan. Dalam buku “Muslimah Sejati: Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi”, Mulia menegaskan argumen yang memperbolehkan kerjasama laki-laki dengan perempuan, untuk kebaikan, termasuk dengan memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa.

Baca Juga:  Bolehkah Perempuan yang Sedang Haid Masuk ke Masjid, Mengajar Ngaji dan Shalawatan?

Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam mengatur kepentingan umum, dalam melakukan kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Perempuan punya hak untuk menduduki seluruh jabatan politik, termasuk menjadi pemimpin negara.

Tidak ada ketentuan agama yang melarang keterlibatan perempuan dalam politik, sebaliknya justru banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan argumen dasar untuk menetapkan adanya hak-hak perempuan di bidang politik. Hanya saja yang menjadi permasalahan adalah intepretasi yang mengabaikan semangat moral Al-Quran dan bias patriarki (Mulia, 2011).

Mochamad Ari Irawan