Pengertian Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat dalam Periwayatan Hadis

Pengertian Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat dalam Periwayatan Hadis

PeciHitam.org – Ibn Manzur dalam Lisan al-‘Arab mengartikan sahaba dengan ‘ashara yang berarti “menemani (teman)”. Dalam beberapa kamus bahasa Arab yang lain, disebutkan bahwa sahaba berarti al-hifdz (menjaga/melindungi).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kata sahaba sering digunakan oleh Nabi dalam komunikasinya dengan masyarakat. Seperti ketika Umar bin al-Khattab meminta Nabi untuk membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul. Menanggapi permintaan tersebut Rasulullah bersabda, Fa kayf ya ‘Umar idza tahaddats al-nas anna Muhammad yaqtul ashabah (Wahai Umar! Bagaimana pembicaraan orang-orang kalau Muhammad membunuh sahabatnya sendiri).

Rasulullah juga memakai kata sahaba ketika menyebut orang-orang di sekitarnya yang tidak terang-terangan menunjukkan kemunafikannya, Inna fi ashabi munafiqin (Sesungguhnya sebagian sahabatku ada orang-orang yang munafik).

Secara terminologi, paling tidak terdapat tiga pendapat tentang definisi sahabat. Pertama, orang yang sezaman dengan Nabi walaupun tidak pernah melihatnya. Pendapat ini mengeneralisir semua orang Islam yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad, baik pada saat itu mereka sudah dewasa maupun masih anak-anak, atau tidak pernah berjumpa dan melihat Nabi secara langsung, maka mereka terkategori sebagai sahabat.

Dalam penjelasan lain dikatakan, bahwa semua orang Islam yang hidup pada masa Nabi, maka mereka termasuk kelompok sahabat. Bagitu juga bagi mereka yang beragama Islam karena mengikuti kedua orang tuanya.

Baca Juga:  Bunuh Diri dan Kisah Seorang Sahabat Nabi Sang Pembela Islam yang Masuk Neraka

Kedua, orang yang lama tinggal bersama Nabi Muhammad dan mendapatkan ilmu darinya. Pendapat ini diajukan Abu Ya’la al-Farra’ dengan mengutip pendapat Amr bin Bahr yang mengatakan bahwa bisa dikatakan seorang sahabat jika seseorang itu tinggal bersama dan bergaul dengan Nabi dalam durasi waktu yang lama, serta mendapatkan ilmu darinya.

Ketiga, orang yang bertemu dengan Nabi dan mengimaninya walaupun hanya sesaat. Artinya, seseorang yang terkategori sebagai sahabat tidak harus bergaul dan tinggal bersama Nabi secara terus menerus, tetapi cukup bergaul sesaat dan sekedar melihat.

Pendapat ini bersumber dari arti sahabat secara kebahasaan. Pendapat ini didukung oleh al-Bukhari, menurutnya di antara kaum muslimin yang pernah menyertai Nabi atau pernah melihatnya, maka ia termasuk sahabat.

Sahabat merupakan perawi yang menempati posisi utama di antara perawi lain dalam rangkaian sanad hadis. Tanpa adanya seorang sahabat tidak mungkin berita mengenai petunjuk yang datangnya dari Rasulullah bisa sampai kepada generasi umat Islam berikutnya.

Sahabat merupakan satu-satunya orang pertama yang menyaksikan perihal kehidupan dan mendengar sabda Nabi Muhammad secara langsung, sehingga hanya riwayat yang tersambung dengan mereka, jaminan orisinalitas serta otentisitas hadis bisa diterima kebenarannya.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 537 – Kitab Waktu-waktu Shalat

Secara umum, keadilan perawi hadis merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki seseorang yang mau menceritakan segala perihal tentang Nabi Muhammad dan menyampaikan apa yang disabdakannya, mengingat kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Quran. Lalu, bagaimanakah dengan keadilan sahabat dalam periwayatan hadis?

Seperti yang kita ketahui bersama, pemberitaan yang disandarkan kepada Rasulullah yang harus melalui mata rantai yang saling terhubung antara satu generasi perawinya, mulai dari sahabat hingga mukharrij al-hadis. Syarat ketat penyampaian berita tersebut karena semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang-orang yang beriman.

Jumhur muhadditsin menganggap kullu sahabatin ‘udul (semua sahabat sebagai orang yang ‘adil). Apapun yang diriwayatkan sahabat mengenai laporan tentang hadis, harus dipercaya tanpa ada sanggahan. Jika terjadi dhaif terhadap sebuah hadis, ulama melihatnya bukan karena periwayat di tingkatan sahabat, tetapi karena perawi-perawi setelah sahabat yang disinyalir mempunyai kecacatan.

Mayoritas ulama meyakini bahwa sahabat merupakan orang-orang khusus yang memiliki kesalehan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sahabat adalah generasi yang bertemu langsung dengan Nabi Muhammad dan mereka sangat berpegang teguh sekali terhadap apa yang diperintahkan olehnya.

Baca Juga:  Kisah Zahid ra. Rela Gagal Nikah dan Mati Syahid Demi Allah dan Rasul-Nya

Bukti kesalehan sahabat, telah dinyatakan secara langsung oleh Allah dalam beberapa ayat yang ada dalam al-Quran, sekaligus diamini oleh pengakuan Nabi Muhammad sendiri melalui beberapa sabdanya. Dengan adanya jaminan tersebut, tidak mungkin sahabat salah dalam meriwayatkan sebuah hadis apalagi mengarangnya dengan mengatasnamakan pada pribadi Nabi Muhammad.

Begitulah pembahasan mengenai pengertian sahabat dan konsep keadilan sahabat dalam periwayatan hadis yang harus kita pahami. Meski demikian, ada juga beberapa Ulama yang tidak sepakat dengan konsep keadilan sahabat dalam periwayatan hadis seperti yang kita sampaikan di atas.

Mohammad Mufid Muwaffaq