PeciHitam.org – Sunnah secara bahasa mempunyai beragam arti, yaitu mengalir atau berlalunya sesuatu dengan mudah, jalan, tradisi, praktek yang diikuti, arah, model perilaku, ketentuan dan peraturan. Sunnah juga dapat diartikan sebagai jalan tengah, jalan lurus yang terpuji dan penengah diantara berbagai ekstrimisme.
Ketika Abu Hanifah menulis surat kepada ‘Uthman al Batti, yang di dalamnya berisi keterangan mengenai pendapatnya tentang seorang muslim yang melakukan dosa, sekaligus bantahan atas pandangan kaum Khawarij tentang orang yang berbuat dosa, Ia (Abu Hanifah) mengatakan bahwa pendapatnya ini sama dengan pendapatnya ahl al ‘adl wa al sunnah atau orang-orang adil dan orang-orang yang berada di jalan tengah.
Kata sunnah dalam al Quran disebutkan sebanyak enam belas kali, baik dalam bentuk mufrad maupun jama’. Al Quran menggunakan istilah sunnah untuk beberapa konteks, yang secara garis besar berkenaan dengan dua hal. Pertama, ketetapan orang-orang terdahulu (sunnah al awwalin), yang dimaksud dalam konteks ini adalah kejadian-kejadian yang menimpa mereka akibat dari perbuatan yang telah mereka lakukan. Kedua, ketetapan Allah (sunnatullah) yang dimaksud disini adalah cara atau aturan Allah yang berlaku bagi semua hambanya.
Ibnu Hajar menjelaskan pengertian sunnah sebagai tata cara Nabi, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan bahwa siapa saja dari ummatnya yang tidak menyukai sunnahnya, maka ia bukanlah termasuk dari golongan Nabi. Definisi tersebut mendapat dukungan dari Mustafa Azami yang mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, kata sunnah disebutkan tidak kurang dari sepuluh redaksi hadits yang selalu berarti tata cara dan tingkah laku hidup yang menjadi anutan.
Sementara itu, ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik fisik dan etik, atau sejarah, baik sebelum kenabian seperti khalwat Nabi di Gua Hira’, atau setelah kenabian.
Sedangkan ulama ahli usul atau ushuliyyun, memberikan pengertian sunnah sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi selain al Quran, berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang menghasilkan dalil bagi hukum syariat. Di sisi lain, ulama ahli fiqh mengartikan sunnah sebagai segala sesuatu yang telah ditetapkan Nabi, yang tidak termasuk kategori fardhu atau wajib.
Terjadinya perbedaan pandangan ulama dalam memaknai sunnah, dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang mereka dalam memahami kedudukan Nabi Muhammad SAW. Ulama muhadditsun memandang Nabi sebagai sosok pemimpin dan pemberi teladan yang baik, sehingga wajar bila mereka mengambil apa saja yang berkaitan dengan Nabi.
Sedangkan ulama ushuliyyun memandang Nabi sebagai sosok legislator syariah yang menetapkan dasar-dasar hukum bagi mujtahid sesudah beliau dan yang menjelaskan kaidah-kaidah hidup untuk manusia. Sehingga wajar bila ulama ushuliyyun hanya memperhatikan sabda, perilaku dan persetujuan Nabi dalam konteks legislasi hukum dan pengukuhannya. Di sisi lain, fuqaha memandang Nabi sebagai pemberi petunjuk dalam hukum syara’. Sehingga mereka selalu melihat semua perbuatan manusia dari segi hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Menurut Syuhudi Ismail, bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka hadits berada di bawah sunnah, sebab hadits merupakan suatu berita tentang sebuah peristiwa yang disandarkan pada Nabi, meski hanya sekali saja Nabi melakukannya dan hanya satu orang saja yang meriwayatkannya.
Adapun pengertian sunnah yaitu amaliyah yang terus menerus dilaksanakan Nabi beserta sahabatnya, setelah itu dilakukan dan dilestarikan secara terus menerus oleh generasi berikutnya. Sebagai konsekwensinya, sunnah mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada hadits dari segi kekuatan hukumnya. Tetapi, meskipun berbeda, keduanya sama-sama bersumber dari Nabi.