Penjelasan Dalil Taqdir Muallaq Menurut Beberapa Ulama

Penjelasan Dalil Taqdir Muallaq Menurut Beberapa Ulama

PeciHitam.org  – Berbicara mengenai taqdir muallaq atau yang biasa diartikan sebagai ketentuan Allah yang menuntut peranan manusia melalui usaha atau ikhtiarnya. Manusia diberi peran untuk berusaha, hasil akhirnya akan ditentukan oleh Allah melalui doa dengan kata lain, ikhtiar.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Firman Allah dalam Surat Ar-Ra’d ayat 11

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Yang artinya : “Allah tdk akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu tdk merubah nasibnya sendiri”.

Menurut Hamka, dianugerahkannya kekuatan dan akal budi oleh Allah kepada manusia agar manusia dapat bertindak sendiri dan mengendalikan dirinya sendiri di bawah naungan Allah. Dia berkuasa atas dirinya dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Sebab itu maka manusia itu pun wajiblah berusaha sendiri dalam menentukan garis hidupnya, jangan hanya menyerah saja dengan tidak berikhtiar.

Manusia diberi akal oleh Allah dan dia pandai mempertimbangkan dengan akalnya sendiri di antara yang buruk dengan yang baik. Manusia bukanlah semacam kapas yang diterbangkan angin kemana-mana, atau laksana batu yang terlempar di tepi jalan. Dia mempunyai akal dan dia pun mempunyai tenaga untuk dapat mencapai yang lebih baik, dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Kalau tidak demikian, niscaya tidaklah manusia itu mendapat kehormatan menjadi Khalifah Allah di muka bumi ini.

Baca Juga:  Pengertian dan Pendapat Tentang Israiliyat Menurut Para Ulama

Manusia diberi kebebasan dalam berbuat dan bersikap dengan memaksimalkan akal yang dimilikinya untuk merubah keadaan mereka dari keburukan kepada kebaikan, namum kebebasa manusia tersebut terbatasi oleh sunnah Allah yang berlaku kepada setiap ciptaan-Nya. Manusia diharuskan untuk berikhtiar dalam hidupnya dan jangan hanya menyerah kepada kehidupan ini saja, karena Allah telah memberikan akal yang mampu membedakan kebaikan dan keburukan.

Manusia diberikan kebebasan dalam memilih, baik itu kebaikan ataupun keburukan. Jika manusia memilih kebaikan maka dia berhak mendapatkan pahala dari Allah dan jika manusia memilih keburukan maka manusia juga harus menerima dosa dan balasan atas pilihan mereka sendiri. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan nasib mereka sendiri, bertindak sendiri, dan mengendalikan dirinya sendiri, namun kesemuanya itu tetap berada dalam naungan Allah. Karena kehendak Allah mengikuti perasaan, perbuatan, dan tingkah laku manusia itu sendiri.

Baca Juga:  Keistimewaan Nabi Muhammad Yang Tidak Dimiliki Nabi-Nabi Sebelumnya

Membahas kebebasan manusia tidak terlepas dari pembahasan ilmu kalam. Pandangan kelompok As-‘Ariyah menyatakan bahwa manusia harus tetap berikhtiar dalam menentukan nasibnya, namun tetap Allah yang menentukannya. Perbuatan manusia dari satu sisi adalah perbuatan Allah (taqdir mubram) dan di sisi lain adalah perbuatan manusia itu sendiri (taqdir muallaq).

Hal di atas senada dengan pendapat menurut Fethullah Gulen, bahwa Allah telah memberi manusia akal, intelek, dan kehendak bebas sehingga manusia dapat memilih jalan kebaikan atau kejahatan. Akal adalah sebuah “entitas” yang terlepas dari materi, meski ia melekat pada materi. Akal adalah kepanjangan yang bersifat cahaya (nurani) dari alam gaib ke alam nyata. Akal adalah bagian terpenting dari ruh, dan merupakan entitas paling terang dan paling bersinar dari eksistensi manusia. Akal adalah pemisah antara yang hak dan yang batil. Fethullah Gulen menulis:

“Dengan akal, manusia dapat meluruskan apa yang dilihat mata dan didengar telinga, sehingga ia pun dapat sampai kepada ketepatan. Dengan bukti kebenaran yang dicerna oleh akal manusia dapat menembus batas di balik tirai wujud. Bahkan dengan akal-lah manusia dapat naik menuju maqām audiensi di hadapan Allah jalla wa ‘alā. Karena memiliki akal, manusia berhak mengemban beberapa tanggung jawabnya, baik yang bersifat paksaan (jabariyah) maupun bersifat pilihan (ikhtiyariyah). Kemudian ia melanglang buana mengeksplorasi jagad raya dan kejadian-kejadian, menelitinya, menggalinya, dan kemudian melesat menuju hadirat Allah Ta‘ala.”

Baca Juga:  Ngebet Dakwah; Fenomena Hijrah dan Belajar Agama Tanpa Guru
Mohammad Mufid Muwaffaq