PeciHitam.org – Penanggalan dalam khazanah Islam disebut dengan Tahun Hijriyah, merujuk pada peristiwa Hijrahnya Nabi SAW dari Makkah ke Yatsrib (Madinah).
Khalifah pertama yang meresmikan penggunaan Kalender Khusus Islam adalah Umar bin Khattab, pada tahun 638 M bertepatan dengan tahun ke-17 setelah Hijrah.
Perkembangan Islam selanjutnya membawa serta sistem penanggalan Islam atau Hijriyah dalam peradaban yang dibangun. Wilayah-wilayah yang sudah Islam kemudian menjadikan Tahun Hijriyah sebagai penanggalan resminya.
Di Nusantara, pada masa perkembangan Islam, orang-orang Nusantara masih menggunkan tahun Saka/ Caka, yang berasal dari India. penggunaan Tahun Saka oleh penduduk Nusantara tidak terlepas dari Agama yang dianut, yakni Hindhu-Budha. Setelah penduduk Nusantara banyak memeluk agama Islam, tidak serta merta penanggalan Saka dihilangkan begitu saja.
Namun oleh Sultan Agung diakomodir dengan menyatukan tahun Hijriyah dan Jawa yang kemudian dikenal dengan sistem penanggalan Jawa-Islam. Angka Tahun menggunakan kelanjutan Tahun Saka, namun Penghitungannya menggunakan Model Hijriyah. Ini bentuk keharmonisan Islam yang berdasar Infrastruktur Budaya Nusantara.
Daftar Pembahasan:
Penanggalan dan Ibadah
Ibadah memiliki banyak dimensi, seperti tata cara, anjuran, syarat, rukun dan juga waktu pelaksanaan. Dimensi-dimensi dalam Ibadah yang berupa tata cara sebagaimana Rasul SAW ketika melaksanakan Shalat. Dimensi anjuran dapat dipahami dalam keutamaan-keutamaan ketika melakukan Ibadah.
Dimensi syarat yaitu sesuatu yang harus dilakukan sebelum melakukan sebuah Ibadah seperti kewajiban wudhu sebelum shalat. Dimensi rukun yakni sesuatu yang harus dilakukan ketika melakukan Ibadah, contohnya adalah harus membaca al-Fatihah ketika shalat. Dan dimensi terakhir yaitu waktu pelaksanaan.
Waktu pelaksanaan Ibadah ditentukan sebagaimana Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam ayatNya dan Hadits Rasul. Waktu dzuhur adalah ketika matahari sudah bergeser sedikit ke arah barat, dan habis ketika lebih panjang bayang-bayang benda. Pun dalam Ibadah Puasa, sangat erat kaitannya dengan dimensi waktu pelaksanaan.
Tidak akan sah Puasa Ramadhan ketika belum masuk Bulan Ramadhan, dan tidak sah pula jika melewatinya. Maka penghitungan dalam sebuah Kalender sangat berkaitan erat dengan dimensi waktu pelaksanaan Ibadah dalam Islam. Dalam konteks ini, adanya sistem penanggalan atau kalender adalah sebuah keniscayaan.
Allah SWT sendiri menerangkan keniscayaan Kalender Penanggalan dalam ayatNya guna menentukan Bulan-bulan Khusus dalam Islam;
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (٣٦)إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ (٣٧
Artinya; Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”
Dimensi Waktu Ibadah sangat erat kaitannya dengan sistem penanggalan dalam Kalender. Walaupun Allah SWT tidak menentukan penghitungan secara rinci teknisnya, namun melalui Rasulullah SAW menetapkan tata cara penghitungan dalam Kalender;
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Artinya; “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”
Hadits menunjukan tentang dimensi waktu dalam Ibadah sangat penting, oleh karena Islam memiliki sistem penanggalan Mandiri yang disebut dengan Kalender Hijriyah yang berbasis Qamariyah atau Lunar. Tahun Hijriyah menggunakan penghitungan peredaran Bulan sebagai basis penghitungan penanggalan.
Beranjak ke Nusantara, kalender Islam sebagai salah satu representasi peradaban Islam mengalami penyesuaian. Sultan Agung melakukan Ijtihad penyatuan Kalender hijriyah dan Jawa sebagai bentuk ikhtiar membumikan Nilai Islam dalam masyarakat Nusantara. Islam diletakan sebagai Nilai Luhur dan Kebudayaan Jawa (Nusantara) sebagai Infrastruktur Agama.
Kalender, Identitas Peradaban
Sistem penanggalan atau kalender adalah pertanda sebuah peradaban yang maju dan menguasai bidang astronomi. Karena dalam menentukan penanggalan kalender harus dengan perhitungan astronomi baik dan memahaminya dengan tuntas.
Sebagaimana setiap penetapan awal bulan Ramadhan atau Syawwal, maka harus dilakukan dengan mendatangkan ahli astronomi atau ahli falakiyah.
Hampir semua peradaban dunia yang besar, akan memiliki sistem penanggalan sendiri untuk menunjukan penguasaan bangsa tersebut menguasai Ilmu astronomi.
Kalender menjadi identitas peradaban yang maju, karena menguasai astronomi tidak akan bisa dilakukan sebuah bangsa tanpa memiliki ilmuan handal dengan pengetahuan lengkap tentang observasi kebintangan.
Dan Nusantara, khususnya Jawa, memiliki sistem penanggalan Jawa-Islam yang mengadopsi sistem kalender Solar (Syamsiyah) dan Lunar (Qamariyah).
Penggabungan ini berkat peran besar Sultan Agung, Sultan Kerajaan Mataram Islam yang berbasis di Kotagede Ngayogyakarta. Unifikasi ini menunjukan bukti/ legitiminasi kebesaran Kerajaan Mataram Islam yang berdaulat.
Sebagaimana bangsa besar seperti Bangsa Inca di Amerika Latin, Bangsa Arab dengan Penanggalan Hijriyah, Bangsa India dengan Penanggalan Saka, Bangsa Cina dengan Penanggalan Imlek dan lain sebagainya. Suku Bangsa yang Besar memiliki bukti penanggalan sendiri-sendiri sebagai identitas sebuah bangsa yang maju.
Kepentingan sebuah peradaban memiliki penanggalan sendiri adalah untuk menentukan hari-hari besar perayaan agama dan lain sebagainya. Tidak terkecuali Islam, menentukan hari-hari khusus pastinya akan menggunakan penanggalan Islam.
Ibadah Haji pada puncaknya akan selalu jatuh pada 9 Dzulhijjah, kelahiran Nabi SAW 12 Rabi’ul Awwal, Isra’ Mi’raj pada tanggal 27 Rajab, Kewajiban Ibadahn Puasa jatuh pada bulan Ramadhan, Idul Fitri pada tanggal 1 syawal dan seterusnya.
Maka tidak heran, Sultan Agung sebagai Sultan termasyhur dalam Dinasti Mataram Islam meletakan dasar pengawinan penanggalan Hijriyah-Saka sebagai identitas sebuah bangsa yang besar.
Keputusan Politik untuk mengawinkan 2 penanggalan besar oleh Sultan Agung, memungkinkan internalisasi nilai Islam dalam kultur masyarakat Jawa.
Penyatuan kalender Hijriyah dan Jawa menjadi penanda kebesaran Mataram Islam sebagai kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini juga membuktikan bahwa Islam dibawa ke Nusantara dengan memanfaatkan Infrastruktur atau fasilitas kebudayaan untuk mengenalkan Islam dengan arif, tanpa kekerasan.
Sultan Agung dan Penyatuan Kalender Hijriyah
Sultan Agung melakukan sebuah ikhtiar di Kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede Yogyakarta. Beliau adalah Raja terbesar Dinasti Mataram Islam yang berkuasa sejak 1613-1645 yang memiliki sumbangsih besar dalam Peradaban Islam, khususnya di Jawa.
Sebagai seorang Sultan Kerajaan Mataram berbasis Islam, beliau memiliki gelar Sayyidin Panatagama, Penghulu/ Pemuka yang menata, membumikan dan menyebarkan Islam di wilayah Kerajaan Mataram.
Beliau juga memiliki gelar Sunan yang biasa disandang oleh penyebar agama Islam di Nusantara seperti Dewan Dakwah Walisongo yang masing-masing menggunakan nama Sunan (contoh; Sunan Ampel).
Gelar ini menjadi pertanda bahwa Sultan memiliki tanggung jawab sebagai Da’i peyebar Agama Islam sebagaimana tersemat pada namanya. Maka bisa dikatakan Raja Jawa (selama menyandang Gelar Sayyidin Panatagama) memiliki kewajiban untuk menjaga Agama Islam.
Peran Sultan Agung dapat terbaca dalam penyatuan kalender tahun Hijriyah dan Jawa dalam masa pemerintahan beliau. Penyatuan kalender Hijriyah dan Jawa (Saka/ Caka) antara lain terlihat dalam penyebutan nama hari, nama bulan, dan penghitungan tahunnya. Pada awalnya, penyatuan Kalender Hijriyah dan Jawa terjadi pada tahun 1555 Tahun Saka.
Penyatuan Kalender Hijriyah dan Jawa dalam penyebutan hari adalah, Ahad (Ngahad), Itsnain (Senen), Tsulatsa (Selasa), Arba’ (Rebo), Khams (Kemis), Jum’ah (Jemuwah), As-Sabt (Setu).
Penyesuaian dalam hal Bulan yakni Sura (Muharram), Sapar (Shafar), Mulud (Robiul Awwal), Bakda Mulud (Rabiul Tsani/ Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awwal), Jumadilakir (Jumadil Tsani/ Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah/ Sadran (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawwal), Dulkangidah (Dzul Qa’dah), Besar (Dzul Hijjah).
Kalender Islam Jawa juga memiliki siklus yang berbeda dengan kalender Hijriyah yaitu selama 8 tahun (1 windu) dengan 3 tahun wuntu/panjang dan 5 tahun wastu/pendek. Siklus tersebut juga dinamai dengan berdasarkan urutan numerologi Arab yakni : Alif (1) , Ha (5), Jim Awwal (3), Zai (7), Dal (4), Ba (2), Wawu (6), Jim Akir (3).
Penghitungan ini akan disesuaikan dalam jangka waktu 120 Tahun, karena Tahu Jawa Islam memiliki kelebihan 1 hari. Maka 1 hari tersebut dihilangkan ketika tahun ke-120, yang dinamakan dengan ganti Kurup. Hal ini sebagai sarana untuk menyesuaikan tahun Jawa Islam tetap sesuai dengan Tahun Hijriyah yang menjadi acuan utama.
Kirannya usahan yang dilakukan oleh Sultan Agung menjadi contoh bahwa Islam sebagai tata nilai bisa dikawinkan dan diinternalisasikan dalam kebudayaan tanpa harus mengadunya.
Kaitannya dengan era modern terkait dengan sering berselisihnya waktu pelaksanaan Ibadah puasa, Idul Fitri dan Idul Adha maka kiranya bisa menggunakan otoritas sebagaimana dilakukan oleh Sultan Agung. Kaidah menyebutkan;
حُكْمُ الْحَاكِمِ فِي مَسَائِلِ اْلإِجْتِهَادِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Artinya: “Keputusan hakim dalam ijtihad dapat menghilangkan persengketaan”
Pemimpin Negara berhak untuk menentukan tentang penghitungan waktu awal puasa, Idul Fitri, Idul Adha untuk mengharmonisasikan waktu Ibadah agar kompak.
Ash-shawabu Minallah