Pernah suatu ketika, aku mengatakan kepada Syaikh, “Aku seorang pemuda, ayah dan ibuku telah tiada dan aku tak punya saudara. Mereka meinggalkan warisan untukku.
Kemudian aku berfikir, aku bekerja dan belaja Al-Qur’an dan sunnah. Maka aku pergi mendatangi pusat Islam untuk memperoleh ilmu agama yang baik”. Syaikh sangat gembira mendengar perkatanku dan mendukung niatku itu.
Lalu dia mengatakan sesuatu padaku dan aku mencatat kata-katanya,” Wajib atas kami disebabkan beberapa hal:
- Karena anda seorang muslim, dan antara muslimin adalah saudara.
- Karena anda seorang tamu, dan Rasulullah SAW, “Muliakanlah tamu engkau”.
- Karena anda seorang penuntut ilmu dan Islam dan memuliakan penuntut ilmu itu sangat ditekankan.
- Karena anda bermaksud bekerja, dan dalam hadist disebutkan bahwa “orang-orang yang bekerja adalah kekasih Allah SWT”.
Sungguh aku sangat kagum dan terkejut dengan keterangannya ini, dan aku katakana pada diriku, “andai saja orang-orang nasrani mempunyai jiwa semulia ini.” Tetapi aku heran, bagaimana Islam yang begitu tinggi ini mengalami kelemahan dan keterbelakangan.
Keadaan ini tentunya ada di tangan ulama yang su’ (ulama jahat), ulama bodoh (yang gila) akan kehidupan dunia ini. Lalu aku katakana kepada Syaikh, “Aku ingin belajar Al-Qu’an”. Maka ia menyambutku dan mengajariku surat Hamdalah dan menafsirkan makna-maknanya.
Aku mengalami kesulitan dalam melafazkan sebagian bacaanya dan terkadang saking sulitnya tak mampu aku mengatasinya. Aku teringat, bacaan yang selalu kuulangi sampai berpuluh-puluh kali dalam seminggu ialah bacaan “wa ‘ala imamim mimmam ma’ak”.
Tetapi aku tetap tidak bisa melafazkannya dengan benar. Syaikh mengatakan kepadaku, “Anda harus mengusai idgham meskipun ada rentetan delapan huruf mim”.
Aku membaca Al-Qur’an mulai dari awal surat sampai khatam di hadapannya dalam masa dua tahun penuh. Pada saat dia hendak mengajarkan aku cara berwudhu, ia menyuruhku berwudhu mengikuti ia berwudhu kemudian kami duduk menghadap kiblat.
Bersambug …