Inilah Pandangan Sunni, Syiah dan Muktazilah Mengenai Perang antara Ali dengan Aisyah

Inilah Pandangan Sunni, Syiah dan Muktazilah Menegnai Perang antara Ali dengan Aisyah

Pecihitam.org – Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib menghadapi tugas yang sangat berat. Beliau bukan saja menghadapi persoalan negara, pertahanan dan perluasan Islam, tetapi juga soal perpecahan dalam negeri termasuk peperangan sesama muslim di antaranya adalah Perang Jamal yang melibatkan Ali bin Abi Thalib sendiri dengan Siti Aisyah radhiyallahu anha.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Perang antara Ali bin Abi Thalib dan Siti Aisyah radhiyallahu anha yang terjadi pada tahun 36 Hijriyah ini disebut sebagai Oerang Jamal (Perang Onta), karena dalam peperangan ini Siti Aisyah radhiallahu anha mengendarai unta.

Dalam sejarah, perang Jamal bukanlah peperangan kecil. Ali bin Abi Thalib membawa laskarnya sebanyak 200.000 dan Siti Aisyah juga membawa laskar dengan jumlah yang sama.

Akhirnya Siti Aisyah bersama sahabat Thalhah, Zubair dan yang lainnya kalah dalam peperangan ini, bahkan Thalhah dan Zubair mati terbunuh, sementara Ummul Mukminin Siti Aisyah ditawan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib.

Tetapi walaupun Siti Aisyah ditawan oleh Sayyidina Ali, namun beliau tidak diperlakukan layaknya seorang tawanan, melainkan dihormati sebagai ibu kaum muslimin dan diantar kembali ke Mekkah dengan segala bentuk penghormatan.

Menanggapi Perang Jamal ini, terdapatlah perselisihan paham antara Ahlussunnah wal Jamaah, Syiah dan Mu’tazilah.

Kaum Ahlussunnah berpendapat bahwa perselisihan paham dan perang antara Ali bin Abi Thalib dan Ummul Mukminin Siti Aisyah adalah perselisihan antara seorang imam mujtahid dengan imam mujtahid yang dijamin oleh Nabi dalam sebuah hadis bahwa jika ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala dan jika keliru, maka masih mendapatkan satu pahala.

Baca Juga:  Mengindahkah Hubungan Islam dengan Tradisi Nusantara Melalui Konsep 'Urf

Dalam pandangan ini juga bermakna bahwa orang yang meninggal dalam Perang Jamal baik dari pihak Laskar Ali maupun Siti Aisyah sama-sama mati syahid dan masuk surga, karena masing-masing mempertahankan kebenaran agama yang didapat oleh ijtihadnya masing-masing.

Tetapi Kaum Syiah berbeda pandangan tentang hal ini, khususnya Syiah Imamiyah. Mereka berfatwa bahwa orang yang ikut Perang Jamal yang tergabung dalam pihak Siti Aisyah adalah kafir. Baik pemimpinnya, yaitu Siti Aisyah maupun anak buahnya, semuanya dicap sebagai kafir, karena memberontak kepada khalifah yang sah yaitu Ali bin Abi Thalib.

Maka dalam pandangan Kaum Syiah Imamiyah ini, Siti Aisyah adalah kafir, begitu juga sahabat Thalhah dan Zubair bin Awwam, sahabat utama Rasul ini juga dicap sebagai kafir.

Sementara itu Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pihak Aisyah memang salah dan akan dimasukkan ke dalam neraka kecuali orang yang taubat setelah peristiwa itu. Dan Siti Aisyah, Thalhah serta Zubair adalah orang yang menurut mereka sudah taubat dan berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib.

Baca Juga:  Hukum Mengadzani Bayi Non Muslim yang Baru Lahir

Yang benar adalah paham yang dipilih oleh Ahlussunnah wal Jamaah yang membenarkan kedua pihak yang saling bentrok dalam perang antara Sayyidina Ali dengan Siti Aisyah.

Karena sebagaimana ditegaskan oleh Nabi, masa atau kurun nabi dan sahabat adalah masa yang terbaik. Dari sini kita memahami bahwa orang-orang yang hidup pada masa nabi dan sahabat adalah orang-orang terbaik. Dan Allah juga telah berfirman di dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah

لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ

Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. (QS. At-Taubah ayat 117)

Diriwayatkan bahwa Imam Hasan Al-Bashri tatkala disebutkan tentang Perang Jamal, maka beliau berkata, “Itu adalah darah yang Tuhan telah menjauhkan dari pedang kita, dan karena itu janganlah dikotori lagi lidah kita dengan darah itu”

Kesimpulan dari uraian di atas tentang perang Jamal yang melibatkan pihak Ali bin Abi Thalib dengan Ummul Mukminin Siti Aisyah bahwa Ahlussunnah wal Jamaah menahan diri dan lidah tentang sengketa yang terjadi antara sahabat-sahabat dan menetapkan bahwa konflik antara antara itu semata-mata karena ijtihad masing-masing.

Baca Juga:  Ungkapan "Berbukalah dengan yang Manis", Hadis atau Bukan?

Kalau ijtihadnya benar di sisi Allah, maka mereka mendapatkan dua pahala. Kalaupun salah, maka mereka masih tetap mendapatkan satu pahala.

Tetapi kaum Syi’ah dan Mu’tazilah tetap bersitegang, mengutuk Ummul Mukminin Siti Aisyah, karena telah memerangi Ali dalam perang Jamal ini. Bahkan kaum Syiah berpandangan Siti Aisyah dan sahabat-sahabat lainnya adalah iblis yang boleh dikutuk dan dibunuh. Wal ‘iyadzu billah!

Demikianlah perbedaan pendapat yang sangat tajam antara Ahlussunnah wal Jamaah, Syi’ah dan Mu’tazilah tentang Perang Jamal yang melibatkan pihak Ali bin Abi Thalib dari golongan ahlul bait dan Siti Aisyah dari kalangan sahabat. Wallahu a’lam bisshawab!

Faisol Abdurrahman