Bolehkah Perempuan Bekerja dan Menafkahi Keluarga? Ini Pandangan Fiqih

Bolehkah Perempuan Bekerja dan Menafkahi Keluarga? Ini Pandangan Fiqih

PeciHitam.org – Seiring dengan perkembangan zaman dan modernitas, mau tidak mau menggiring dan menuntut istri untuk bekerja, termasuk di luar rumah. Bahkan bukan menjadi hal yang tabu lagi ketika ada istri yang berpenghasilan lebih tinggi dari suami.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tuntutan standar kehidupan yang semakin tinggi, menjadi pemicu sebagian istri untuk ikut bekerja dan berkarier. Karena kebutuhan keluarga di zaman modern berbeda dengan kebutuhan keluarga di zaman dahulu.

Jika di zaman dahulu, mungkin kebutuhan primer rumah tangga seolah belum sekompleks saat ini, sehingga pekerjaan suami masih memadai untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Dulu, kebutuhan primer rumah tangga mungkin hanya seputar pada kebutuhan makanan, minuman dan pakaian. Tetapi saat ini, kebutuhan rumah tangga terutama di daerah perkotaan meningkat menjadi kebutuhan primer yang dahulu mungkin kebutuhan sekunder atau bahkan kebutuhan tersier.

Seperti kebutuhan biaya listrik, biaya cleaning service, biaya keamanan, biaya transportasi dan bahkan biaya telekomuniasi. Sehingga menuntut istri untuk ikut membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Sedikit banyak merupakan jasa Kartini. Ia sukses memperjuangkan emansipasi wanita dalam tiap lini kehidupan. Islam mengakui eksistensi perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari.

Baca Juga:  Keutamaan Menjalankan Dua Rakaat Shalat Dhuha

Islam juga memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan. Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup manusia.

Salah satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir.

Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada antara daerah Iraq dan Mesir.

Di Indonesia sendiri, dalam adat pelbagai suku bangsa Nusantara, suami dan istri sama-sama bekerja, sudah sewajarnya keduanya saling membantu untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kemampuan memimpin dan menafkahi dalam suatu rumah tangga tidak selamanya didominasi oleh suami, namun bisa juga didominasi oleh istri.

Sehingga apabila hal itu terjadi, maka hak kepemimpinan itu bisa saja dimiliki oleh istri. Dengan demikian sejatinya kepemimpinan itu bukanlah hak mutlak suami tetapi dimiliki oleh suami dan istri secara besama-sama sebagai mitra. Namun perlu diperhatikan bahwa jangan sampai dominasi tersebut membuat istri tidak lagi menghargai suami.

Baca Juga:  Hukum Mengulang Sembelihan Yang Gagal Pada Proses Pertama

Meskipun demikian, kepatuhan istri kepada suami juga tidak bisa diartikan sebagai kewenangan suami memerintah istri secara otoriter, diktator dan menjadikan istri sebagai bawahan suami. Kepatuhan istri lebih tepat diartikan sebagai ketaatan yang dilakukan karena Allah yang didasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang keduanya.

Seiring dengan kemajuan modernitas, menuntut perempuan untuk diberdayakan dan ikut serta dalam urusan publik yang beimplikasi kepada peran serta mereka dalam nafkah rumah tangga.  Peran perempuan dalam menafkahi keluarga ini selayaknya juga memberikan peran dalam memimpin rumah tangga.

Aturan nafkah dalam fikih seolah dibangun atas uruf patriarki terdahulu yang mendomestikkan perempuan. Sedangkan uruf saat ini, perempuan relatif berperan di ruang publik, mampu mandiri, bahkan relatif banyak yang memiliki penghasilan melebihi suami.

Ketika uruf berubah dan berbeda dengan uruf ketika fikih ini disusun, aturan fikih nafkah yang dipahami dari nas yang berlaku umum dapat dikecualikan dengan uruf baru yang muncul kemudian (takhsis al-‘umum bi al-‘urfi al-tari).

Baca Juga:  Keutamaan Sholat Dhuha, Rejeki Dijamin Lancar!

Perlu adanya penyesuaian dengan tetap menjaga prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri. Sebab sejatinya, hak istri tidak boleh diklaim secara apriori lebih rendah dari hak suami. Begitu juga sebaliknya, kewajiban suami tidak boleh dianggap lebih berat atau lebih ringan dari istri.

Demikian uraian singkat mengenai kebolehan perempuan dalam menafkahi keluarga menurut pandangan ulama fiqih. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq