Perjalanan Gus Dur Muda: dari Kairo, Baghdad hingga Eropa

gus dur muda

Pecihitam.org – Seorang Gus Dur muda adalah santri yang sangat tertarik dengan membaca dan ilmu pengetahuan. Semasa Gus Dur tinggal di Yogyakarta ia sudah membaca karya besar filusuf Karl Marx berjudul Das Kapital: Kritik Ekonomi Politik sebanyak tiga jilid. Tak hanya itu, Gus Dur juga membaca buku Lenin berjudul What Is To be Done?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selera bacaan Gus Dur sangat bermutu. Dua buku yang disebut diatas adalah buku filsafat ekonomi dan politik yang sangat legendaris di dunia. Dua buku tersebut menjadi kitab sucinya kaum komunis sedunia. Sekaligus buku tersebut adalah bacaan wajib bagi akademisi di Barat yang berminat memelajari filsafat, ilmu sosial, politik dan ekonomi.

Bahan bacaan yang super bergizi itulah yang mengisi ruang-ruang memori di benak Gus Dur dan membentuk inteletualisme Gus Dur kedepannya. Tak hanya cukup di situ saja, Gus Dur muda melanjutkan pengembaraannya untuk menyelami lautan ilmu pengetahuan hingga ke Kairo Mesir, Baghdad Irak, dan Eropa.

Di Kairo, Gus Dur belajar di kampus paling tua sedunia, Universitas al-Azhar Kairo. Kampus ini lebih tua dibandingkan kampus megah di Barat saat ini, misalnya Cambridge, Oxford, Harvard, hingga Sorbonne. Kampus al-Azhar bahkan didirikan sejak abad pertengahan Islam dan sejak itu menjadi pusat studi Islam yang paling bergengsi.

Baca Juga:  Nama Aslinya Abdul Ghaffar, Kenapa Dikenal dengan Nama Nabi Nuh? Beginilah Ceritanya

Namun, harapan (espektasi) Gus Dur terhadap al-Azhar berujung kepada sebuah kekecewaan. Menurut cerita dari Greg Barton, penulis biografi Gus Dur dalam buku Biografi Gus Dur (2002) menuturkan bahwa al-Azhar tidak sesuai ekspektasi Gus Dur. Pengajarannya terlampau dasar dan dengan metode hafalan seperti pembelajaran yang pernah Gus Dur dapat dari pesantren.

Untuk mengobati rasa kekecewaannya, Gus Dur melampiaskan dengan menggali pengetahuan melalui aktivitas di luar kampus. Gus Dur membaca buku di perpustakaan Universitas Kairo, Universitas Amerika dan Perpustakaan Perancis. Dari perpustakaan tersebut Gus Dur mendapatkan bahan bacaan yang lebih bergizi dan lebih lengkap.

Diceritakan oleh Greg Barton (2002) Gus Dur di Kairo membaca hampir semua karya-karya sastrawan  Amerika William Faulkner. Dari novel-novel Faulkner, Gus Dur menikmati kisah-kisah tentang keeksotikan negeri Amerika. Gus Dur sangat tertarik karena baginya yang hidup dari dunia pesantren di Jawa, Amerika adalah sesuatu yang jauh dan sekaligus dapat menarik untuk diketahui.

Selain Faulkner, Gus Dur juga membaca sastrawan Amerika lain, yakni Ernest Hemingway. Bahkan dalam sebuah artikel Gus Dur tentang sastra pesantren Gus Dur pernah memaparkan novel Hemingway berjudul Old Man and The Sea adalah novel dengan pergulatan batin yang sangat bagus.

Baca Juga:  Mendiang Glenn Fredly Mengaku Kagum dengan Sosok Gus Dur

Selain itu, Gus Dur juga membaca puisi dan prosa Edgar Alan Poe dan John Donne. Bahkan ia sampai hafal beberapa puisi dari kedua sastrawan tersebut. Bacaan Gus Dur tentang sastra Eropa juga cukup lengkap dan berkualitas. Misalnya ia membaca Andre Gide, Leo Tolstoy, Franz Kafka, hingga Pushkin.

Selain dengan membaca buku di berbagai perpustakaan, di Kairo juga mengunjungi kedai kopi yang berjamuran di Kairo. Gus Dur mengikuti  perbincangan di berbagai kedai kopi yang membicarakan tentang filsafat, sejarah dan politik. Bahkan Gus Dur sempat membikin sebuah majalah mahasiswa Indonesia di Mesir bersama KH. Mustofa Bisri.

Setelah Gus Dur merasa tak puas dan belum mendapatkan prestasi akademik sama sekali di al-Azhar. Kemudian Gus Dur pindah kuliah di Universitas Baghdad di Irak. Di Baghdad iklim kebebasan akademiknya lebih bagus dari Kairo. Bahkan dosen-dosen terbaik Kairo banyak yang mengajar di Universitas Baghdad.

Di Baghdad Gus Dur masih terus membaca. Hampir sepanjang malam Gus Dur habiskan untuk membaca semua buku dan kemudian pagi harinya Gus Dur kuliah secara teratur. Kemudian untuk mengasah intelektualitasnya Gus Dur juga gemar berdiskusi dengan berbagai temannya di berbagai kedai kopi dan teh di pinggiran Sungai Tigris yang legendaris itu.

Baca Juga:  Imam Abu Hasan Al-Asy'ari, Pendiri Madzhab Ahlussunnah wal Jamaah dalam Bidang Aqidah

Greg Barton (2002) menceritakan bahwa teman diskusi yang paling membekas dalam benak Gus Dur di Baghdad adalah seorang Yahudi bernama Ramin. Dari Ramin inilah Gus Dur memahami cerita tentang komunitas Yahudi yang mengalami kesulitan di berbagai penjuru dunia. Dan dari Ramin lah Gus Dur mengetahui pertama kali tentang Yudaisme.

Setelah Gus Dur selesai dari Baghdad, Gus Dur berencana kuliah lagi tentang perbandingan agama-agama di Eropa. Gus Dur tinggal di Belanda dan Jerman selama kurang lebih satu tahun. Namun, sayangnya ijazahnya dari Universitas Baghdad tidak diakui di kampus-kampus Barat. Padahal Gus Dur sangat ingin kuliah di negeri yang karya sastra dan filosofinya sudah ia baca dan gemari sebelumnya.

Demikianlah kisah pengembaraan intelektualisme Gus Dur muda dari Kairo, Baghdad, dan Eropa. Sosok Gus Dur yang dikenal sebagai intelektual muslim yang cerdas tersebut berangkat dari pondasi keilmuan Islam dan Barat yang sangat memadai dan bergizi. Wallahua’lam.