Perjalanan Makrifat Sunan Kalijaga Mendapat Maqam Wali

makrifat sunan kalijaga

Pecihitam.org – Sunan Kalijaga atau Raden Syahid, beliau merupakan putra seorang Tumenggung namun tidak mau mewarisi kekuasaan ayahandanya, beliau malah memilih jalanya sendiri dengan mendedikasikan dirinya dalam perkembangan Islam di tanah Jawa. Yang pada akhirnya membawa beliau menjadi salah satu dari 9 wali.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Nama beliau akrab di kalangan masyarakat Islam Jawa, dan pada keadaan yang sesungguhnya Sunan Kalijaga adalah wali yang bisa diterima oleh berbagai pihak.

Sunan Kalijaga berguru dengan Sunan Bonang, seseorang yang mempunyai ilmu yang tinggi, ia harus bersunyi diri di desa Benang. Kehebatan Sunan Kalijaga tidak lepas dari berbagai dzikir makrifat dari sang guru yaitu Sunan Bonang, dimana beliau memberikan bekal yang luar biasa kepada muridnya.

Raden Syahid harus melewati proses-proses untuk mendapatkan hakikat kehidupan, seperti menunggu pohon gurda yang berada di tengah hutan belantara, bertapa atau bertafakur di tepi sungai dan menjalankan laku seperti kijang.

Ketika berada di tengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda maka Sunan Kalijaga tidak boleh meninggalkan tempat tersebut selama satu tahun. Lalu, Sunan Kalijaga disuruh “ngaluwat” yaitu menanam pohon gardu tersebut yang berada di tengah hutan tepatnya di dalam goa Sorowati Panceng, Tuban. Setelah setahun mulut goa tersebut yang mulanya ditutup dengan batu, kemudian dibongkar oleh Sunan Bonang.

Selanjutnya Sunan Kalijaga melaksanakan tapa atau tafakur, di tepi sungai dan tidak boleh tidur ataupun makan selama setahun. Lalu Sunan Kalijaga ditinggal oleh Sunan Bonang ke Makkah. Setelah, sudah genap setahun, Sunan Kalijaga ditengok dan ditemui oleh Sunan Bonang yang masih saja bertapa. Kemudian, Sunan Bonang berkata kepada Sunan Kalijaga,

“Wahai muridku sudahilah tafakurmu, mulai sekarang kamu sudah menjadi Wali dan berjuluk dengan nama Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai Wali penutup (maksudnya adalah melengkapi anggota Walisongo yang saat itu jumlahnya kurang satu Wali).

Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang MahaMengetahui. Kamu harus berpegang kepada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah.

Hidayah itu dari Tuhan Yang Maha Agung, yang sangat besar keanugerahan-Nya. Keanugerahan Tuhan, meliputi dan menimbulkan keluhuran budi, adapun kekuasan-Nya menumbuhkan kekuatan yang luar biasa dan keberanian serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demikian itu tidak lain adalah anugerah yang besar, paling utama dari segala yang utama.

Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingin memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tidak punya hak untuk menentukan, karena kamu ini juga yang menentukan. Tuhan Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya.”

Setelah Sunan Bonang menyampaikan penjelasannya untuk Sunan Kalijaga, ia pun meninggalkan tempat itu. Sunan Kalijaga juga berterimakasih kepada Sunan Bonang atas semua nasihat yang ia berikan. Lalu, Sunan Kalijaga masuk ke hutan belantara untuk menjalankan proses selanjutnya, yaitu laku kijang.

Baca Juga:  Membantah Tuduhan Kaum Salafi Wahabi Yang Mensyirikkan Orang Bertawassul

Sunan Kalijaga menjalankan laku kijang selama satu tahun, ia berbaur dengan kijang menjangan, segala gerak yang dilakukan oleh kijang maka Sunan Kalijaga menirunya, kecuali bila ingin tidur seperti manusia biasa.

Jika ia ingin pergi mencari makan maka ia mengikuti caranya seperti anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahuinya, para kijang itupun berlari dengan kencang, begitupun dengan Sunan Kalijaga, ia mengikuti cara lari anak kijang tersebut.

Setelah cukup setahun, Sunan Kalijaga tetap menjalani laku kijang bahkan menjalaninya itu lebih dari yang ditetapkan. Ketika Sunan Bonang bermaksud untuk sholat ke Makkah, dalam sekejap mata Sunan Bonang sudah sampai di Hutan tersebut.

Sesampainya di dalam hutan, Sunan Bonang bermaksud untuk memberitahu kepada Sunan Kalijaga bahwa proses menjalani laku kijangnya telah selesai, tetapi saat Sunan Bonang melihat Sunan Kalijaga, ia masih dalam proses tersebut.

Ketika Sunan Bonang mendekatinya, ternyata Sunan Kalijaga malah berlari kencang untuk menjauhinya. Sunan Bonang marah terhadap sikapnya Sunan Kalijaga, ia pun berkata

“Wali waddat pun aku tak peduli memanaskan hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah jadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”

Sunan Bonang pun mengikuti Sunan Kalijaga dengan penuh amarah, lalu ia melemparkan nasi satu kepal ke punggungnya Sunan Kalijaga, ia pun berlari agak lambat. Kedua kalinya Sunan Bonang melemparkan ke arah lambungnya, lalu Sunan Kalijaga jatuh terduduk dan ketiga kalinya Sunan Bonang melemparkan nasi tersebut barulah Sunan Kalijaga ingat dan sadar, ia pun langsung berbakti kepada Sunan Bonang. Ia berlutut hormat dengan mencium kaki Sunan Bonang.

Baca Juga:  Pendapat Para Ulama Tentang Istiqomah, dari Makna, Kiat Hingga Manfaatnya

Sunan Bonang berkata:

“Jebeng wruhanira, yen sira nyuwun wikan, kang sifat hidayatullah, mungga kajiya, mring Makkah marga suci. Anbambila toya zam-zam mring Makkah, iya banyu kang suci, sarta ngalap barkah, kanjeng Nabi panutan, Sunan Kalijaga angabekti, angaras pada, pamit sigra lumaris.”

Artinya: “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapatkan kepandaian, yang bersifat Hidayatullah, naiklah haji, menuju Makkah dengan hati tulus suci. Ambillah air zam-zam ke Makkah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia, Sunan Kalijaga berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Makkah.”

Dari situ kemudian, Sunan Kalijaga naik haji dan bertemu dengan Nabi Khidir atau Pupuh Durma. Saat Sunan Kalijaga ingin ke Makkah, ia harus melewati hutan, naik gunung, turun jurang, tebing yang didakinya, melintasi jurang dan tanjakan. Seketika Sunan Kalijaga linglung (bingung), karena kesulitan untuk menempuh jalan yang terhalang oleh samudera.

Lalu, ia terdiam sejenak di tepi samudera tersebut dan ia melihat ada seseorang yang mendekatinya yaitu Sang Mahyuningrat atau Nabi Khidir. Sang Mahyuningrat memberitahu segala cara perjalanan yang dialami oleh Sunan Kalijaga dengan sejuta keprihatinan karena ingin memperoleh iman hidayah tersebut.

Berbagai cara jalan yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, namun itu hasilnya mustahil dapat menemukan iman hidayah tersebut dengan sekejap mata, kecuali kalau ia mendapatkan keanugerahan Allah yang haqq.

Kemudian, Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanannya, ternyata ia sudah melewati lautan yang luas dengan cara berenang dan ia tidak memperdulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama akhirnya Sunan Kalijaga sampai di tengah samudera, ia pun terus mengikuti jalan untuk mencapai pada hakikat yang tertinggi dari Allāh. Selama di perjalanan, Ia kehabisan tenaga tetapi ia tetap berusaha untuk mempertahankan dirinya.

Disaat Sunan Kalijaga dalam keadaan yang kehabisan tenaga itu, ia tiba-tiba melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenang, yang tidak diketahui dari mana datangnya.

Seketika itu pula, Sunan Kalijaga sudah dapat duduk tenang berada di atas air tersebut walaupun dalam keadaan bingung. Lalu, orang tersebut mendekati Sunan Kalijaga dan ternyata ia adalah Nabi Khidir, ia berkata:

“Cucuku, disini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai disini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja masih belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, disini kau tidak mungkin mendapatkan apa yang kau maksudkan!”

Kemudian yang terakhir, Nabi Khidir memberi wejangan kepada Sunan Kalijaga atau Pupuh Dhandhanggula tentang Iman Hidayah (hakikat kehidupan). Nabi Khidir memberitahu caranya agar mendapatkan iman hidayah tersebut.

Baca Juga:  Tabarruk di Makam Ulama: Ngalap Berkah dari Orang-orang Shaleh

Ia menjelaskan kepada Sunan Kalijaga awal pertama untuk mendapatkan petunjuk tersebut, ia harus masuk ke dalam tubuhnya yang melalui telinga. Setelah masuk Sunan Kalijaga melihat ada empat warna cahaya yaitu, hitam, merah, kuning, dan putih.

Maksud empat warna ini adalah penghalang hati untuk menghalangi manusia bersatu dengan Tuhan. Penghalang hati ini mempunyai kelebihan yaitu hitam adalah mudah sakit hati, marah dan membabi buta. Itulah hati menjadi tertutup kepada kebajikan.

Merah adalah nafsu yang tidak baik dan mudah emosi dalam mencapai tujuan. Itulah hati yang sudah jernih akan tertutup dengan nafsu ini. Kuning adalah menghalangi timbulnya pemikiran yang baik. Kecuali, putih adalah membuat hati serta suci yang penuh kedamaian.

Kemudian, Nabi Khidir mengajarkan kepada Sunan Kalijaga bahwa Allah adalah sumber kebahagiaan dan kedamaian melalui rasa yang ada di dalam batin. Hakikat rasa ini merupakan kemampuan untuk merasakan kehadirat Allah.

Sehingga jiwa menjadi mantap dalam menjalani kehidupan. Jadi manusia harus menghadapi realitas yang mutlak berada di dalam diri manusia itu sendiri, sehingga manusia dapat bersatu dengan Allah baik di dunia maupun di akhirat. Banyak hal yang diberikan oleh Nabi Khidir yang membuat makrifat Sunan Kalijaga naik level atau tingkatan.

Sumber:

  • Munawar J. Khaelani buku Sunan Kalijaga Guru Orang Jawa
  • Imam Anon, Suluk Linglung Sunn Kalijaga (Syekh Malaya) terj. Muhammad Khafid Kasri
Arif Rahman Hakim
Sarung Batik