Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Pada Masa Awal / Masa Nabi

Sejarah Perkembangan Syarah Hadis Pada Masa Awal / Masa Nabi

Pecihitam.org- Sejarah perkembangan syarah hadis pada masa awal tidak dapat dipisahkan dengan hadis itu sendiri. Klasifikasi masa antara syarah dan hadis pada masa awal dapat dikatakan berjalanan bersamaan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pasalnya bentuk syarah pada masa awal (masa nabi) cendrung besifat klarifikasi atau tabayun, dimana seorang sahabat mengklarifikasi kebenaran suatua hadis yang telah diperoleh dari seorang perawi kepada nabi dengan bertujuan supaya memperoleh kejelasan apakah hadis demikian benar-benar disabdakan nabi (Abbas, 2004, hal. 27-28).

Salah satu contoh ialah peristiwa tentang orang Arab pedalaman yang menyandarkan sebuah riwayat kepada nabi untuk meminang seorang perempuan, sehingga pihak keluarga dari yang tidak percaya akan hal tersebut mendatangi nabi dan mengklarifikasi.

Meskipun hal tersebut bagian dari kritik hadis, namun pada dasarnya perkembangan hadis dan ilmu hadis pada masa awal berjalan bersamaan termasuk syarah hadis.

Hal di atas menandakan bahwa embrio syarah hadis telah ada pada masa nabi namun belum bersifat formal, karena bentuk awal dari syarah hadis masih melekat dengan kehidupan nabi.

Pada sisi berbeda, masyarakat Arab awal belum membedakan setiap perilaku yang dikerjakan oleh nabi apakah bersifat kerasulan atau sebagai manusia biasa, apakah sebagai interpretasi Al Quran atau budaya orang-orang dahulu. Semua masih bersifat kebiasan yang belum dipikirkan untuk menjadi pedoman sistematis dalam kehidupan (Rahman, 2000, hal. 51).

Sehingga konsekwensinya syarah hadis pada masa tersebut kita menggunakan kata fahm, ma’âni, dan syarah al Hadīth. Hal tersebut didasari sebuah argumentasi bahwa sebagai pemegang otoritas keagamaan nabi dapat menyelesaikan setiap permasalah yang dialami oleh masyarakat.

lanjutnya, karakteristik syarah hadis mengalami pergeseran, meskipun cara yang ditempuh tidak jauh berbeda. Dengan masa yang relatif dekat serta sebagian hidupnya berinteraksi dengan nabi, para sahabat mempunyai pengetahuan yang cukup luas dalam memberikan fatwa-fatwa keagamaan pada masanya, karena mereka mengalami kehidupan nabi dan bahkan sebagian sahabat mengetahui koteks hadis tersebut disabdakan.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 435 – Kitab Shalat

Oleh sebab itu, tidak sulit bagi sahabat untuk memberikan komentar ataupun memahami sebuah hadis, dengan didukung kemampuan bahasa dan latar belakang yang memadai.Meski demikian, bukan berarti sahabat tidak mengalami kesulitan dalam memilah dan meneliti sebuah hadis untuk dapat dikatakan shahih.

Usaha dalam menjaga otentisitas dan kredibilitas seorang perawi pada masa tersebut, dan mengantisipasi dari kemungkinan terdapatnya hadis-hadis palsu, dhoif dan perkataan sahabat, sehingga sahabat dianjurkan untuk tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang banyak dan menetapkan setiap sahabat yang memiliki status kredibilitas.

Adapun model syarah pada masa tersebut bersifat konfirmati, yaitu seorang harus mendatangkan seorang saksi dalam meriwayatkan sebuah hadis sebelum memberikan syarah, tetapi ada juga yang memberikan syarah seperti yang pernah mereka ketahui sebagaimana nabi melakukan. Meskipun tidak pula dipungkiri bahwa model syarah hadis pada masa tersebut juga bisa dikatakan sebagai kritik sanad dan matan (Abu Zahwu, t.t, hal. 53).

Masa tersebut dapat dikatakan sebagai masa sebelum pembukuan (al Sunnah qabla al-tadwīn), masa pembukuan (Inda al-tadwīn) (Khatīb, 1963, hal. 77).

Pasalnya pada masa tersebut hadis nabi masih banyak bersifat praktek, yaitu para sahabat mengaplikasikan perinta dan larangan nabi yang bersifat konsensusu.

Tetapi pada sisi lain, para sahabat juga banyak yang menghafalkan hadis-hadis yang di dalam dalam halaqah atau khutbah nabi yang pernah diperolehnya.

Baca Juga:  Gus Dur, ICMI, dan Kebijakan Politis Suharto atas Umat Islam

Sehingga pada masa tersebut para sahabat tidak banyak disibukkan untuk mencatat hadis, disamping pada waktu bersamaan sahabat juga disibukkan dengan membukukan Al Quran.

Namun pada masa tabi’in, pola pensyarahan mulai mengalami perubahan signifikan. Perubahan tersebut mencakup usaha tabi’in awal dalam menyaring hadis-hadis yang dikumpulkan para sahabat dan membedakan antar hadis nabi dan qaul (ucapan) sahabat dengan meminta klarifikasi atas ulama yang ahli dalam bidang hadis, karena pada masa tersebut masih banyak ulama senior yang mengetahui Asbab al Wurud dari hadis, disamping tersebarnya fitnah dan ungkapan-ungkapan sekterian yang sudah berkembang.

Sehingga para tabi’in sangat berhati-hati dalam menentukan otentisitas hadis dan memberikan komentar (syarah). Meskipun demikian, kesadaran tabi’in akan generasi Islam mendatang sangat besar.

Kesadaran tersebut timbul dari sebuah keyakinan bahwa sebagai sumber agama, hadis akan selalu menjadi rujukan oleh generasi selanjutnya dalam memahami ajaran agama, dengan demikian memberikan komentar (syarah) dianggap sebagai kebutuhan yang urgen (Zuhri, 1997, hal. 64).

Sejarah mencatat bahwa pada abad ke 2 sampai abad ke 3 syarah hadis sudah ditemukan terhitung antara tahun 101-399 H. Diantanya ialah kitab ‘Alam as-Sunan syarah terhadap al-Jãmi as-Shahih karya Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim bin Khaththabi al-Busti (w. 388 H) yang juga menulis syarah Ma’ãlim as-Sunan syarah Sunan Abi Daud. Begitu juga pada tahun 444-521 juga ditemukan syarah dari kitab al-Muqtabis karya imam al-Bathalyusi (444-521 H).

Masa Tabi’in yang begitu panjang menyisakan catatan bahwa pada tahun 656 H, disinyalir sebagai masa pensyarahan. Tabi’in sudah cendrung memberikan komentarkomentar terhadap hadis nabi, meskipun tidak bisa dilepaskan dengan ulum hadis.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 245-246 – Kitab Mandi

Tetapi terdapat dua alasan yang menjadi dasar. Pertama, masa tersebut dikatan ashr al-Syurukh sebab para ulama sudah tidak banyak yang fokus lagi menyibukkan diri dengan kritik dan penelitian hadis, karena sudah cukup dan puas dengan kodifikasi yang telah dilakukan.

Sehingga syarah dipandang sebagai sesuatu yang penting dan menjadi cabang sendiri dalam ilmu hadis. Kedua, tradisi syarah muncul beriringan dengan kejumudan masyarakat muslim hampir seluruh cabang ilmu, adapun kajian yang ada masa tersebut dipandang hanya mengulang-ulang yang disebarluaskan dan tidak menemukan sesuatu yang baru.

Adapun produk syarah pada masa tersebut ialah Kasf al-Ghita’ fi Syarhil al-Muwattha’ karya Abu Muhammad bin Abil Qasim al-Farhuni (w. 763 H) dan Syarhul Muwattha’ karya Abul Majid ‘Uqaili bin ‘Athiyyah al-Audla’i (w. 609 H), sedangkan metode yang berkembang bersifat Tahlili dan Ijmali.

Adapun karakteristik fiqh, menyesuaikan dengan kitab induk, dan kebahasaan menjadi corak dari perkembangan syarah. Sehingga dapat dikatakan sebagai masa setelah pembukuan (ba’da al-tadwin).

Perkembangan syarah hadis dengan corak tersebut terus berkembang hingga masa sekarang, meskipun pada beberapa aspek sudah mulai terdapat perubahan dengan pendekatan dan dilakukan kajian komprehensif (Suryadilaga, 2012) .

Mochamad Ari Irawan