PeciHitam.org – Tidak akan bisa dipungkiri bahwa perkembangnya Islam di Nusantara tidak terlepas dari sentuhan dakwah santun ala Walisongo. Dewan dakwah ini menggunakan pendekatan budaya dan tradisi untuk menginternalisasi atau membumikan nilai-nilai Islam.
Pola membumikan Islam dengan sangat halus yang dilakukan oleh Walisongo menjadikan Islam berterima dengan sangat pesat. Tanpa terasa, pendudukan Nusantara khususnya di Jawa bisa tersentuh Islam dengan merata tanpa menggunakan pendekatan kasar atau jalan perang.
Dakwah dengan mengakomodir tradisi dan budaya sebagai media banyak mendat cibiran dan cercaan oleh kaum Muslim Puritan yang baru berkembang pada akhir abad ke-19 di Nusantara. Namun hakikatnya, pola dakwah walisongo memenuhi kaidah fikih dalam berdakwah. Berikut ulasannya!
Tradisi dan Budaya dan Dakwah Walisongo
Tradisi adalah kebiasaan sebuah komunitas sosial yang mana memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama untuk hidup rukun berdampingan. Tradisi muncul sebagai keniscayaan sebuah masyarakat yang beradab dan memiliki pengetahuan.
Sebagaimana pepatah mengatakan lain lading, lain ilalang menunjukan bahwa setiap komunitas masyarakat memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Pun Bangsa Indonesia sebelum kedatangan Islam sudah memiliki tradisi yang tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakatnya. Maka ketika Islam datang membawa nilai ajaran tidak serta merta langsung diterima dengan baik oleh penduduk Nusantara.
Catatan sejarah menunjukkan Makam Fathimah binti Maimun di Gresik Jawa Timur berangka tahun 1082 M, akhir abad 11. Namun pada abad selanjutnya minim sekali ditemukan komunitas Muslim yang massif sebagai bukti otentik berkembangnya Islam dengan pesat. Hal ini menunjukan bahwa dakwah Islam pada abad 11-15 belum maksimal.
Baru setelah kedatangan dewan dakwah Walisongo pada awal abad 15, dakwah Islam berkembang dengan pesat bahkan mampu mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak Bintoro (berdiri pada tahun 1475 M). Pesatnya dakwah Islam pada periode Walisongo tentunya tidak terjadi tanpa sebab alasan.
Indikasi utama pesatnya dakwah Walisongo adalah kemauan dan kemampuan untuk menempatkan tradisi dan budaya sebagai sarana, kendaraan, dan infrastruktur mengembangkan Islam.
Tradisi dan Budaya dalam kaca mata Walisongo bukan sebagai musuh agama, namun menjadi sunnatullah. Perlunya pendakwah adalah mengisi ceruk tradisi-budaya dengan nilai-nilai Islam.
NU dan Dakwah Walisongo
Secara Kultural Nahdlatul Ulama meneladani konsep dakwah santun dan menghormati tradisi budaya sebagai sunnatullah. Tidak seperti golongan wahabi salafi yang menempatkan tradisi budaya sebagai musuh islam. Sebuah kemustahilan jika Islam dapat bersatu dengan tradisi dan budaya Nusantara, apalagi dihubungkan dengan bid’ah, kesesatan dan syirik.
Semangat dakwah Kultural ala Nahdlatul Ulama dipahami sebagai pengakomodasian nilai Islam dalam wadah kebudayaan. Bahwa kumpul-kumpul adalah kebiasaan penduduk di Nusantara, maka diisi dengan nilai Islam berupa membaca surat-surat pilihan bersama-sama. Jika dibiarkan begitu saja, kumpul-kumpul akan sangat berisiko terjerumus kepada perjudian, mabuk-mabukan dan lain-lain.
Tradisi lain yang eksis di Nusantara adalah kebiasaan untuk slametan atau membuat makanan yang dipersembahkan kepada arwah leluhur. Tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep tauhid dalam Islam.
Dakwah Walisongo mencoba merubah pola slametan untuk arwah leluhur, diganti dengan acara doa bersama dan ditutup menggunakan shadaqah makanan siap santap.
Slametan tetap eksis sebagai Istilah, namun isinya sama sekali tidak mengandung kesyirikan. Kaidah fikih yang berlaku dalam konsep dakwah ini adalah,
ما لا يدرك كله لا يترك كله
Artinya; ‘apa yang tidak bisa dikerjakan dengan sempurna atau ideal, maka jangan sampai sama sekali tidak melakukan’
Aplikasi dari kaidah Ushul Fikih di atas adalah ketika tidak bisa sempurna atau ideal maka jangan sama sekali tidak melakukan. Jika dakwah Islam tidak bisa ideal sesuai Rasulullah SAW maka jangan sampai meninggalkan obyek dakwah dengan hanya meninggalkan luka dijuluki ahlu bid’ah, syirik atau sesat.
Sedangkan golongan salafi wahabi sangat getol menuduhkan panah permusuhan kepada Muslim Nusantara dengan menyebut ahlu bid’ah. Tradisi Islam Nusantara merupakan bentuk akomodasi dan renungan panjang Walisongo guna mentauhidkan Nusantara.
Namun golongan purifikasi ala wahabi salafi dengan congkaknya menuduh bid’ah, kafir, syirik Muslim yang berislam dengan media tradisi budaya. Nilai Islam apa yang diperjuangkan oleh salafi wahabi ketika hanya menggolongkan orang sudah Muslim sebagai Ahlu Bid’ah, Syirik, Sesat bahkan Kafir?
Ash-Shawabu Minallah