Pondok Pesantren Musthafawiyah Mandailing Natal; Pesantren Tertua di Sumatera

Pondok Pesantren Musthafawiyah Mandailing Natal; Pesantren Tertua di Sumatera

PeciHitam.org – Biasanya ketika membahas mengenai pondok pesantren, pikiran kita sering kali terpusat pada pondok pesantren di pulau Jawa. Mengingat ada banyak sekali pesantren tertua yang terlahir di pulau Jawa.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terlebih tokoh-tokoh besar yang sering kali menjadi tokoh nasional juga banyak yang berasal dari pondok pesantren di pulau Jawa. Sehingga terkesan Jawa sentris.

Namun perlu diketahui bahwa di daerah lain, pondok pesantren juga memiliki animo yang luar biasa dari masyarakat. Salah satunya ialah Pondok Pesantren Musthafawiyah Mandailing Natal. Pesantren ini pertama kali didirikan oleh Syaikh Musthafa Husein al-Mandili.

Beliau merupakan seorang ulama besar yang mengabdikan hidupnya dalam merajut kesatuan dan persatuan bangsa, khususnya di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Syaikh Mushtafa merupakan putra Sumatra yang dilahirkan pada tahun 1886 M atau 1303 H, tepatnya di daerah Tanobato. Beliau lahir dari seorang ibu yang bernama Hj. Halimah dan ayahnya yang bernama H. Husein Nasution seorang pedagang hasil bumi. Nama kecil Syaikh Musthafa adalah Muhammad Yatim.

Sejak kecil, Muhammad Yatim berada di lingkungan yang terbilang multikultural. Ia biasa menjumpai perbedaan di lingkungannya. Sehingga tidak heran jika hal ini, kelak membentuk kepribadiannya yang moderat.

Baca Juga:  Pondok Pesantren Miftahul Ulum Panyepen; Pesantren Tertua di Pulau Madura

Tercatat beliau pernah belajar di Makkah pada tahun 1900 M, tepatnya pada musim haji. Ketika memasuki masa awal ia belajar di Masjidil Haram, ia mendapat perhatian khusus dari para gurunya.

Bahkan sampai diberikan nama khusus menjadi Musthafa, yang artinya terpilih. Nama musthafa ini juga sering dijadikan sebagai pujian yang dilekatkan kepada Nabi Muhammad saw.

Singkat cerita, beberapa waktu kemudian, Musthafa mendapat kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia. Mendengar berita tersebut, beliau memutuskan untuk kembali ke tanah air guna memberi penghormatan terakhir kepada orang tuanya tersebut.

Waktu demi waktu berlalu, Musthafa yang pernah mendapatkan Pendidikan di Masjidil Haram ini pun terkenal kealimannya di kampung tempatnya dilahirkan. Oleh karena itu, masyarakat pun menyematkan gelar syaikh kepadanya.

Ia bahkan diberi kepercayaan untuk mengisi suatu majelis pengajian. Di bawah asuhannya, majelis tersebut dijalankan selama belasan tahun. Semakin lama, kealimannya pun terkenal di daerah lain sehingga mengundang para jamaah dari luar daerah untuk ikut dalam pengajiannya.

Berkat tingginya animo masyarakat tersebut, akhirnya pada tahun 1912, Syaikh Musthafa mendirikan sebuah pondok pesantren yang dinamakan Musthafawiyah. Pesantren ini juga dikenal dengan sebutan Pesantren Purba, karena letaknya di daerah Purba Baru.

Baca Juga:  Pondok Pesantren Langitan Tuban; Masih Eksis Hingga Generasi ke Tujuh

Pondok Pesantren Musthafawiyah terkenal dengan sisi enterpreneurnya (kewirausahaan). Hal ini atas dorongan dari Syaikh Musthafa sendiri yang memiliki latar belakang sebagai seorang anak pedagang yang dididik agar dapat hidup mandiri dan tidak merepotkan orang lain.

Santrinya berjumlah ribuan yang masing-masing mengasah kemampuannya dalam berniaga, maupun bertani. Beliau menginginkan agar kelak santri yang belajar kepadanya bisa menjadi orang yang sukses sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada warga sekitarnya.

Hal ini tergolong amat unik, di mana pesantren lain memfokuskan pengajaran dalam hal hafalan. Pesantren ini justru membuka kebun karet, kebun nanas bahkan pengalengan buah.

Beliau menanamkan pada tiap santrinya bahwa, “Tuan kecil lebih baik daripada jongos besar” atau dengan kata lain, menjadi seorang juragan yang berdiri sendiri meskipun usahanya masih terbilang kecil, itu lebih baik dibandingkan menjadi karyawan yang bergaji besar.

Pesan Syaikh Musthafa ini mengindikasikan bahwa beliau ingin menekankan kepada santrinya agar senantiasa menjadi pribadi yang mandiri. Beliau berkata dalam Bahasa Batak Mandailing, “Baen na tuho, borkatan dei” (usaha sendiri lebih baik dan lebih berkah).

Baca Juga:  Pondok Pesantren Qomaruddin; Pesantren Tertua di Pesisir Pantai Utara Jawa Timur

Berkat kealimannya beliau menjadi orang yang berpengaruh, Syekh Musthafa dikenal sebagai ulama yang dihormati oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini bukan tanpa alasan, sebab ketika itu, beliau pernah mengumpulkan ulama Aswaja se-Tapanuli Selatan.

Tepatnya pada tanggal 1947 (sumber lain menyebutkan tahun 1950), beliau mendirikan Nahdlatul Ulama di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan.

Dalam acara tersebut, Syekh Musthafa Husein terpilih menjadi Rais Syuriah NU untuk pertama kalinya di Tapanuli Selatan. Sedangkan Ketua Tanfidziyahnya yaitu Syekh Baharuddin Thalib Lubis atau yang biasa dikenal sebagai Tuan Guru Medan.

Mohammad Mufid Muwaffaq