Potret Santri Era Millenial

potret santri era milenial

Pecihitam.org – Santri seringkali digambarkan sebagai sosok yang ideal. Selain tampilannya yang memadukan tata busana nusantara dengan nilai-nilai keislaman.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Santri juga memiliki sifat-sifat dan ciri khas yang eksklusif dibanding gambaran pelajar lain pada umumnya: mengaji kitab kuning , gaya hidup sederhana, penghormatan yang sangat tinggi pada guru dan kyai, serta karakteristik-karakteristik tradisional lainnya.

Tapi potret santri yang tradisional itu mendapat sedikit tambahan warna baru berkat kehadiran pesantren modern. Di sana santri tidak hanya mengaji kitab kuning, tapi juga “kitab putih”, gaya hidupnya lebih elitis, perhormatan pada guru dan kyai tidak boleh berlebihan, dan santri modern juga mengenakan kemeja dan celana panjang, kadang juga jas dan dasi.

Seiring dengan hadirnya budaya millenial yang teridap oleh generasi muda saat ini, apakah gambaran tentang santri juga akan berubah? Tulisan ini akan mencoba mengilustrasikan potret santri era millenial.

Dalam hal ini, kami tidak mengatakan definisi santri yang esensial itu berubah sepenuhnya, tapi bahwa eksistensi santri mendapatkan aksesoris baru berkat pengaruh budaya millenial.

Kami telah melakukan riset kecil-kecilan pada bulan Januari 2019 terhadap 41 santri putri yang baru lulus mondok di sebuah pesantren di Kalimantan Selatan.

Pesantren tersebut memiliki sistem rekrutmen dan kaderisasi tenaga pendidiknya yang khas, yakni merekrut dan mengkader sebagian lulusan baru (fresh graduate). Sistem itu disebut “pengabdian” dan mereka yang direkrut dan dikader itu disebut “ustadzah pengabdian”.

Harus kami tegaskan bahwa ustadzah-ustadzah pengabdian yang dijadikan responden itu lahir antara tahun 1998 hingga 2000, sehingga mereka masih berusia sangat muda dan dapat digolongkan sebagai bagian dari generasi millenial menurut definisi umum yang diakui saat ini.

Sebagai lulusan baru dan tenaga pendidik baru, ustadzah pengabdian tidak lagi mengikuti kegiatan belajar di kelas-kelas seperti saat mereka masih mondok.

Baca Juga:  Nomen et Omen "Manusiaisme"

Sehingga dengan itu mereka tidak lagi memiliki akses formal terhadap sumber-sumber pengetahuan Islam. Karena itu, menarik kiranya untuk mengetahui sejauh mana minat belajar Islam mereka dan dari mana sumber pengetahuan Islam itu mereka dapat.

Seluruh ustadzah pengabdian yang kami wawancarai mengaku masih mempelajari atau berusaha mempelajari Islam, meski besaran minat belajar mereka itu berbeda-beda.

Dari lima pilihan jawaban bertingkat yang disodorkan, mayoritas responden, yakni sebanyak 22 responden (57%) memilih jawaban “ya, kadang-kadang”. Artinya, minat mayoritas ustadzah pengabdian belajar Islam tidak tinggi dan juga tidak rendah atau “sedang”.

Jika para lulusan baru pesantren itu masih berminat mempelajari Islam maka sumber pengetahuan apa yang mereka akses untuk belajar Islam?

Mayoritas ustadzah pengabdian itu atau 28 di antara mereka (68%) lebih berminat mengakses pengetahuan keislaman melalui media-media sosial dan youtube.

Sementara itu, hanya 8 responden (20%) yang menghadiri pengajian untuk belajar Islam, baik pengajian yang dilaksanakan oleh kyai maupun pengajian di majelis-majelis luar Pondok.

Tapi tidak ada satupun (0%) responden yang mengakses kitab atau buku keislaman, mengingat sumber tertulis sejauh ini masih merupakan sumber pengetahuan paling terpercaya dalam dunia keilmuan modern.

Meski begitu, terdapat 3 responden (7%) yang mengaku membaca tulisan atau artikel keislaman di internet. Selain adanya upaya literasi dari beberapa responden yang jumlahnya masih sangat kecil, data tersebut menunjukkan bahwa minat baca mereka lebih tertuju kepada sumber internet ketimbang sumber tertulis.

Dominannya sumber internet dengan produk utamanya berupa media sosial dalam aktivitas belajar Islam ustadzah pengabdian semakin tegas tatkala didapat data tentang siapa da’i atau pendakwah Islam yang paling mereka sukai. Jawabannya tentu mudah ditebak.

Baca Juga:  Sedikit Mengkaji Pemikiran Muhammad Syahrur tentang Kesetaraan Gender dalam Islam

Mayoritas ustadzah muda itu, atau sebanyak 31 responden (76%) menjawab Ustadz Abdus Somad (UAS) sebagai pendakwah yang paling mereka sukai.

Sebagaimana telah diketahui secara umum, UAS adalah seorang pendakwah yang dikenal oleh publik luas dan menjadi populer lewat ceramah-ceramahnya yang disiarkan di saluran Youtube dan disebarkan melalui akun Instagram.

Hal ini menegaskan popularitas UAS sebagai ulama paling berpengaruh di Indonesia menurut hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2018. (Lihat https://tirto.id/lsi-ungkap-5-ulama-paling-berpengaruh-di-indonesia-c97m )

Peringkat kedua pendakwah yang paling disukai oleh ustadzah pengabdian itu, sebagaimana dinyatakan oleh 8 responden (19%) menyebut Ustadz Hanan Attaki dan Ustadz Adi Hidayat sebagai pendakwah paling disukai.

Sebagaimana UAS, Ustadz Hanan Attaki dan Ustadz Adi Hidayat juga pendakwah yang populer melalui media sosial dan Youtube. Khusus Ustadz Hanan Attaki, usianya yang muda, paras yang ganteng dan penampilan nyentrik ala anak muda menambah pesonanya, khususnya bagi peminat dakwah Islam dari kalangan perempuan muda.

Berdasarkan data-data tersebut di atas dapat disimpulkan dua hal: pertama, ustadzah pengabdian sebagai lulusan baru pesantren cenderung “menduakan” pesantrennya sebagai pusat sumber belajar Islam, jika tidak meninggalkannya sama sekali. Mereka tidak hanya belajar Islam dari kyai dan guru-guru pesantren, melainkan juga sumber-sumber lain.

Bahkan, lulusan-lulusan tersebut lebih menyukai sumber belajar berformat internet, terutama dari media sosial dan youtube. Format tersebut biasanya diakses dari berbagai perangkat teknologi informasi.

Hal ini menjadi mudah bagi mereka karena mereka tidak lagi terikat dengan peraturan-peraturan yang diberlakukan kepada mereka saat masih mondok, salah satunya adalah membawa dan menggunakan telepon pintar.

Kedua, meski berawal dari lingkungan yang kecil, uraian di atas setidaknya menjadi titik pandang kajian-kajian berikutnya tentang potret santri era millenial. Bagaimanapun, lingkungan pesantren tidak selalu steril dari pengaruh budaya mutakhir ini.

Baca Juga:  Kyai Maimoen Zubair dan Warisan Pemikiran Keislamannya

Karena akses internet terbuka, budaya itu sedikit-banyaknya mempengaruhi pola pikir dan minat belajar lulusan-lulusan pesantren yang hidup di era millenial ini. Selain itu, mereka juga menjadi bagian dari masyarakat yang hidup di tengah mencuatnya Islam Populer.

Islam Populer merupakan bentuk komodifikasi nilai-nilai modernis dalam budaya Islam yang melahirkan komersialisasi simbol-simbol relijius dalam komunitas muslim.

Hal itu terlihat misalnya dalam bagaimana Islam muncul dalam berbagai bentuk formal-syar’i, seperti perda syari’ah, bank syari’ah, hotel syari’ah, jilbab syar’i dan lain-lain, termasuk komersialisasi dakwah menggunakan media berunsur teknologi informasi.

Menurut para ahli, Islam populer lahir sebagai imbas dari kebangkitan masyarakat muslim santri-priyayi kelas menengah yang dimulai sejak beberapa saat jelang keruntuhan Orde Baru dan semakin menguat di era milenial saat ini. (Lihat Wasisto Raharjo Jati, Islam Populer sebagai Pencarian Identitas Muslim Kelas Menengah Indonesia, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 5 No. 1, Juni 2015, h. 139-163).

Bagaimanapun, budaya millenial dan populisme Islam mampu menembus tembok-tembok pesantren, maka tinggal kemudian bagaimana pesantren bersikap terhadap gelombang budaya itu.

Yang pasti, santri tidak dapat lagi di dikotomikan sebagai santri tradisional dan santri modern saja. Potret santri era millenial adalah wacana baru yang patut didiskusikan.

Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *