PeciHitam.org – Dalam praktik masyarakat kita, umumnya khitan ini dipandang sebagai ketentuan agama Islam yang menandai bahwa seorang anak telah memasuki usia baligh, dewasa, dan dengan demikian menjadi mukallaf atau terkena beban menjalankan syari’at agama.
Hal yang penting dipahami tentang khitan adalah “adakah anjurannya dari Nabi SAW?”, demikian agar dapat diketahui beberapa indikator praktek khitan yang sesuai dengan tuntunan Nabi SAW, dan agar masyarakat kita dapat terus menjalankan tradisi khitanan tanpa diimbuhi dengan unsur mitos.
Berikut poin-poin karakteristik praktek khitan yang sesuai dengan tuntunan Nabi SAW:
Pertama, menurut hadis Nabi saw., khitan merupakan salah satu dari beberapa perilaku fithrah selain mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan bulu ketiak. Nabi saw. bersabda:
حديث أبي هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه وسلم قال التطرف أو من من الفطرة الختان والاستحداد وتقليم الاظفار ولنف اليط وقص الشارب
Diiwayatkan dari Abu Hurairah ra, katanya: Nabi saw. telah bersabda; “Fitrah itu ada lima atau ada lima perkara yang dikategorikan sebagai sifat fitrah, yaitu khitan mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan menggunting kumis.”
Dalam hadis lain ditambahkan pula berkumur, membersihkan hidung dengan air, dan bersiwak (gosok gigi). Dimasukkannya khitan dalam bagian fithrah beserta beberapa perilaku lainnya tersebut menandakan bahwa khitan merupakan amalan sederhana yang berdimensi kebersihan fisik, yang bagi pelakunya menjadi syi’ar bagi keislaman seseorang karena telah mengikuti jejak tuntunan Nabi Ibrahim a.s. dalam hal ibadah haji dan khitan.
Jadi, niat dilaksanakannya khitan hondaknya untuk mencapai fithrah (kebersihan fisik dan psikis) dan mengikuti sunah para Nabi, bukan untuk prestis, pesta pora, melanjutkan adat nenek moyang, atau meningkatkan potensi seksualitas semata.
Kedua, adanya perayaan atau walimah yang diselenggarakan ketika dilangsungkan khitanan: tidaklah dijumpai sebagai perintah maupun larangan dari Nabi saw. dalam melaksanakannya.
Dengan demikian, berlaku kaidah al-ashlu fi al-asyya al-ibahah hatta yadullu al-dalil ala tahrim atau segala sesuatu pada prinsipnya boleh, sampai ditemukan dalil yang melarangnya.
Selama upacara khitanan tersebut tidak mengandung unsur tahayul, bid’ah, khurafat maupun hal-hal yang berbau syirik dan mitos, perayaan tersebut masih sesuai dengan tuntunan Nabi saw.
Dikabarkan bahwa ketika Nabi saw. dilahirkan, ibunya Aminah, segera memberitahukan kelahiran putranya tersebut kepada kakeknya Abdul Muthalib, sehingga ia pun datang dengan senang dan bahagia. Kakeknya lalu mengasuhnya layaknya ibunya. Dan pada hari ketujuh dari kelahiran Nabi saw. ia memerintahkan untuk mengkhitannya dan mengadakan jamuan pesta. la mengundang kaum musyrik Quraisy dalam jamuan tersebut, lantas mereka pun hadir dan menyantap jamuan makan tadi sebagai luapan rasa gembira atas lahirnya bayi tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pesta atau walimatul khitan itu hal yang boleh dan wajar dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan gembira karena mendapat karunia tertentu, seperti kelahiran anak, perkawinan dan lain sebagainya.
Akan tetapi, Syeikh Zainuddin ibn ‘Abd al-Aziz al-Malibariy, penulis Fath al Mu’in, menyebutkan bahwa disunahkan menampakkan pengkhitanan lelaki (termasuk dengan perayaan) dan menyembunyikan pengkhitanan perempuan.
Kadangkala, dalam perayaan tersebut para tamu dan undangan memberi hadiah kepada anak yang dikhitan. Di sini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang siapa sebenarnya yang berhak menerima hadiah tersebut, apakah si ayah (orang tua) ataukah si anak yang dikhitan.
Namun, bila si pemberi hadiah itu bermaksud memberi pada salah satunya darinya, maka ulama sepakat bahwa yang berhak menerimanya adalah yang dimaksudkan oleh si pemberi tadi.
Ketiga, dianjurkan untuk melakukan khitan pada anak yang baru berumur 7 hari, sebagai ittiba pada Nabi saw., atau usia 40 hari. Jika tidak, maka usia 7 tahun.
Pada umur inilah waktu anak mulai diperintahkan untuk mengerjakan salat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa khitan itu dilaksanakan ketika si anak hampir balig, sebab tidak lama lagi ia akan menjadi mukallaf untuk dapat menjalankan syari’at Islam secara sah.
Akan tetapi, lebih utamanya orang tua atau walinya mengkhitankan si anak di hari-hari pertama kelahirannya, agar bilamana si anak telah akil balig maka ia telah siap mendapati dirinya telah dikhitan.
Yang demikian ini berdasarkan riwayat al-Baihaqi dari Jabir berkata: “Bahwasanya Rasulullah saw. telah melaksanakan akikah untuk Hasan dan Husin, serta mengkhitankannya pada hari ketujuh.” Namun, al-Syaukani berpendapat bahwa tidak ada riwayat yang membatasi waktu khitan, dan tidak ada juga riwayat yang mewajibkannya.
Keempat, Nabi saw. mengajarkan doa-doa yang patut dipanjatkan oleh keluarga yang melangsungkan perayaan atau walimatu al-khitan.
Tentu saja doa tersebut dapat diucapkan secara perorangan, misalnya oleh orang tua atau wali dari si anak, maupun secara bersama-sama dengan orang lain.
Doa yang dipanjatkan pada saat anak dikhitan merupakan simbol, semangat dan nilai keislaman, yang bahasa dan redaksinya bisa dikembangkan sesuai dengan kondisi atau adat setempat.
Berbeda dengan itu, jampi-jampi dan sesajen yang ditujukan kepada arwah para leluhur atau untuk maksud maksud tertentu yang mengarah pada syirik, merupakan mitos yang dalam perayaan khitan perlu diluruskan.
Ash-Shawabu Minallah