Prinsip Kemaslahatan dalam Fiqih Imam Ahmad ibnu Hanbal

Prinsip Kemaslahatan dalam Fiqih Imam Ahmad ibnu Hanbal

PeciHitam.org – Ketika kita melihat secara mendalam fiqih Hanabilah atau Hanbali, prinsip kemaslahatan dalam fiqih Imam Ahmad Ibnu Hanbal secara stratifikasi, bangunan sumber hukum Islam (مصادير الأحكام) menurut beliau terdiri dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, al-Ijma’ (konsensus) dan al-Qiyas (metode analogi).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Khusus terkait dengan as-Sunnah, beliau tidak serta merta menolak keberadaan hadits-hadits yang memiliki derajat dla’if (lemah), melainkan juga membolehkannya asal diperuntukkan untuk fadlailu al-a’mal (mencari amal yang lebih utama). Sebagai bagian dari dalil hukum, beliau juga menerima konsepsi istishlah (mencari kemaslahatan) dan juga sadd al-dzarai’ (manhaj antisipasi).

Dengan demikian, dalam konsep bangunan adillatu al-ahkam (dalil hukum) di antara keempat mazhab, maka mazhab Maliki dan mazhab Hanbali-lah yang sebenarnya secara tegas menerima konsep mencari sisi kemaslahatan (istishlah) risalah ini.

Adapun dua mazhab lainnya, tidak secara tegas menampakkan konsepsi pencarian kemaslahatan tersebut melainkan lewat konsepsi yang hampir mirip lewat jalur istihsan (yaitu upaya mencari yang lebih baik [hasan]). Namun, pola istihsan dan istishlah adalah memiliki kemiripan, yaitu sama-sama dipengaruhi oleh faktor sosio-historis dan budaya masyarakat di sekelilingnya.

Baca Juga:  Syarat Sah Hukum Persusuan Menurut Para Fuqoha (Bagian 1)

Sebelumnya, kita kembali ke pembahasan as-Sunnah dan al-Ijma’, di dalam formulasi ushul fiqih Ahmad Ibnu Hanbal, ada metode penerimaan dalil yang menjadi perantara antara as-Sunnah dan al-Ijma’. Kalangan Hanabilah menyebutnya sebagai Fatwa Shahabat. Stratifikasi ini secara gradual adalah sebagai berikut:

  1. Ijma’ shahabi, yang terdiri dari konsensus/kesepakatan yang terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Untuk konsensus ini mutlak harus diterima dan menyalahinya dipandang sebagai kufur.
  2. Ijma’ al-khulafa’ al-rasyidin yang terdiri atas kesepakatan empat pemangku kekhalifahan sepeninggal Baginda Rasulillah SAW (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Konon, menurut kalangan Hanabilah, ijma’ yang satu ini masih memungkinkan untuk tidak diterima pasca-wafatnya keempat khalifah itu. Alasannya adalah kondisi zaman yang senantiasa berubah.
  3. Ijma syaikhan, yaitu kesepakatan yang dilakukan oleh Abû Bakar dan Umar ibnu Khathâb radliyallahu ‘anhu. Jika ijma’ al-khulafa’ al-rasyidin saja ada masa kadaluarsanya pasca kekhalifahan, apalagi untuk ijma’ syaikhan.
  4. Ijma’ ahlu al-madinah, yaitu konsensus yang dilakukan lewat tradisi penduduk Madînah secara turun temurun. Hanabilah tidak menyatakan mutlak penentangannya, namun perlu dilihat kembali.
  5. Ijma ulama Kuffah, yaitu konsensus yang disepakati oleh para ulama Kuffah. Secara tegas, mazhab Hanafi yang menyatakan sebagai bagian dari sumber hukum. Kalangan Hanabilah juga tidak serta merta menolaknya, dengan alasan produk ijtihad yanng bisa berubah setiap waktu.
Baca Juga:  Bervariasi Saat Berhubungan Intim, Bagaimana Hukumnya?

Baik ijma’ ahlu al-madînah dan ijma’ ulama kuffah, dalam formulasi fiqih mazhab empat adalah masuk dalam wilayah generasi tabi’in atau tâbi’in-tabi’in, yaitu generasi shigharu al-shahabah (seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud), generasi akabiru al-tabi’in (seperti Thawus, Mujahid, Sufyan Ibnu ‘Uyainah dan termasuk di dalamnya adalah Imam Abu Hanifah) dan generasi shigharu al-tabi’in (seperti Hasan al-Bashri, Sufyan Al-Tsauri, Ibnu Mujâhid, dan termasuk di dalamnya Imam Mâlik bin Anas dan Imam Al-Syafi‘i).

Selain Madînah dan Kuffah, Ahmad Ibnu Hanbal juga mendasarkan diri pada beberapa kebiasaan dari penduduk wilayah lainnya, seperti Bashrah, Makkah dan Syam. Stratifikasi berdasarkan ‘urf ini tampak menyolok sekali jika kita perhatikan dengan seksama isi dari materi kitab karya beliau, Al-Musnad li Ahmad Ibni Hanbal.

Baca Juga:  Menggadaikan BPKB atau Sertifikat Tanah, Apakah Termasuk Riba?

Itu artinya bahwa penggunaan beliau terhadap kaidah istishlah juga dipengaruhi oleh masing-masing lokasi wilayah tersebut. Itu pula sebabnya, para ulama merumuskan bahwa selain adanya kemiripan, ada pula perbedaan mendasar antara konsepsi istishlâh dan istihsan. Letak perbedaan tersebut terjadi pada penempatan kaidah qiyas. Kelak perbedaan keduanya, akan disampaikan dalam sajian tulisan mendatang. Insyâallâh. Wallâhu a’lam bish shawâb.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *