Puasa Bagi Ibu Menyusui? Ini Hukumnya!

Puasa Bagi Ibu Menyusui? Ini Hukumnya!

PeciHitam.org – Puasa Bagi Ibu Menyusui? Ini Hukumnya! – Bahwasannya perempuan yang menyusui itu dibolehkan tidak melaksanakan puasa sepanjang puasa itu bisa membahayakan kesehatan dirinya dan anaknya atau salah satunya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut pandangan madzhab syafi’i, jika seorang ibu sedang menyusui melakukan puasa dan dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif pada dirinya beserta anaknya, atau dirinya, atau anak saja maka si ibu diwajibkan untuk membatalkan puasanya dan disertakan baginya kewajiban meng-qadla` puasanya.

Namun apabila dikhawatirkan membahayakan anaknya saja, maka si ibu tidak hanya berkewajiban meng-qadla` tetapi ada kewajiban lain berupa membayar fidyah. Hal ini sebagaimana dikemukakan Abdurrahman al-Juzairi:

 اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

“Madzhab syafii berpendapat, bahwasannya perempuan hamil dan menyusui ketika dengan puasa khawatir akan adanya bahaya yang tidak diragukan lagi, baik bahaya itu membahayakan dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja. Maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya (menggantinya). Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membayahakan anaknya saja maka mereka juga diwajibkan membayar fidyah”. (Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, hal. 521).

Sedangkan fidyah yang harus dibayarkan adalah satu mud (berbentuk makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada orang miskin atau orang fakir. Satu mud kurang lebih sekitar 675 gram beras, dan dibulatkan menjadi 7 ons.

Baca Juga:  Wanita Yang Haram Dinikahi Dalam Islam

Untuk mengetahui serta memahami apakah puasa perempuan yang sedang menyusui itu membahayakan atau tidaknya, dapat diketahui berdasarkan kebiasaan sebelum-sebelumnya, seperti hasil keterangan medis atau dugaan yang kuat. Hal ini sebagaimana dikemukakan as-Sayyid Sabiq:

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

“Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja) bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat” (As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Kairo-Fath al-I’lam al-‘Arabi, 2001, juz, 2, hal. 373)

Lantas bagaimana dengan waktu pelaksanaan qadla` sekaligus pembayaran fidyah, jika si ibu meninggalkan puasa dengan alasan jika tetap melakukan puasa akan membahayakan anaknya.

Bahwa alasan kewajiban untuk tidak berpuasa bagi orang yang sedang menyusui adalah adanya kekhawatiran akan membahayakan dirinya beserta anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Jadi, sebenarnya puasa bagi ibu menyusui diperbolehkan jika tidak ada kekhaawatiran bagi si anak dan juga ibunya.

Dari sini dapat dipahami bahwa kewajiban qadla` tersebut bisa dilakukan setelah bulan ramadlan dan di luar waktu menyusui. Sedang mengenai teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin. Misalnya jika yang ditinggalkan ada 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. Sepuluh mud ini harus diberikan kepada satu orang miskin atau orang fakir.

وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ

“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen”. (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 1, h. 442)

Baca Juga:  Rukun Mandi Wajib, Pengantin Baru Wajib Baca!

Setiap ibu tentu saja ingin anak-anaknya mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh kembangnya baik. Namun, di sisi lain, ibu juga terkadang tak ingin meninggalkan kewajibannya sebagai seorang Muslimah untuk berpuasa.

Ahmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menyarankan bahwa ibu menyusui boleh tetap berpuasa bila bayinya sudah berumur 6 bulan.

Sebelum 6 bulan bayi sebaiknya masih diberikan ASI secara eksklusif. Ibu yang memberikan ASI eksklusif memiliki kebutuhan gizi tinggi, lebih banyak ketimbang kebutuhan saat hamilnya, karena ASI-nya diharapkan bisa mendukung pertumbuhan bayinya secara optimal.

Hal tersebut membuat ibu yang tengah menyusui eksklusif harus makan lebih banyak dan sulit dipenuhi bila harus berpuasa.

Oleh karena itu, Syafiq menyarankan agar ibu menyusui, khususnya bagi yang bayinya masih di bawah usia enam bulan, tidak berpuasa lebih dahulu dan mengqadlanya di lain waktu.

“Sebaiknya ibu tidak berpuasa karena kebutuhan gizi bayi sepenuhnya dari ibu,” ujar Syafiq kepada NU Online pada Rabu (8/5). Tinggal nanti, lanjutnya, ibu menyusui tersebut mengikuti aturan syariat saja bagaimana mengganti puasanya yang ditinggal dan membayar fidyahnya. “Toh sudah ada tata caranya,” katanya.

Mengutip Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233, dosen asal Buntet Pesantren Cirebon itu mengungkapkan bahwa jangan sampai orang tua menderita karena anaknya akibat gizinya yang kurang.

“Jangan sampai menyengsarakan orang tuanya menjadi kurang gizinya. Itu harus sesuai dengan kemampuan,” ucap Ketua Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities Universitas Indonesia (AWC PH UI) itu.

Sementara itu, bagi ibu yang anaknya sudah berusia lebih dari enam bulan, boleh untuk menjalankan ibadah puasa. Namun, Syafiq menekankan agar asupan ibu harus seimbang. Artinya, makanannya harus beragam, mulai dari sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati, sayur, susu, dan buah. “Vitamin, mineral seperti kalsium jangan sampai lupa,” katanya.

Baca Juga:  Begini Syarat dan Rukun Khulu’ Versi Abdur Rahman al-Juzairi

Air putih juga, menurutnya, tetap harus stabil. Setidaknya, dalam satu hari ibu harus mengonsumsi sekurangnya delapan gelas, misalnya diatur minum satu gelas setelah bangun tidur, saat habis sahur, saat tiba waktu Maghrib, usai shalat Maghrib, setelah makan, sebelum shalat Isya, setelah shalat tarawih, dan sebelum tidur.

Syafiq menyarankan bagi ibu yang memompa ASI ibu untuk tetap harus dilakukan rutin biasanya dua sampai tiga jam sekali. “Kalau tidak dipompa, ASI yang diproduksi menumpuk di payudara ibu dan dapat menimbulkan masalah nantinya,” pungkasnya.

Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan mengenai Puasa Bagi Ibu Menyusui, dan semoga bermanfaat. Saran kami bagi Ibu yang sedang menyusui untuk selalu memperhatikan kesehatannya, begitu juga kesehatan sang buah hati. Dan jika merasa masih kuat berpuasa tetapi kemudian ada masalah kesehatan segeralah berkonsultasi kepada dokter.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *