PeciHitam.org – Puasa Dzulhijjah, Kapan Saja Waktunya? – Dzulhijjah merupakan bulan kedua belas dalam kalender Hijriah, dan merupakan salah satu dari bulan-bulan yang dimuliakan (al-asyhur al-hurum), bulan apa saja?
Yaitu Bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dinamakan Asyhur Hurum, karena di permulaan Islam kaum muslimin tidak diperbolehkan melakukan pertempuran dalam bulan-bulan tersebut. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 217
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ ۖ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…”
Namun akhirnya larangan berperang di empat bulan yang dimuliakan ini dihapus berdasarkan firman Allah dalam Q.S. At-Taubat ayat 36.
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“…dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ قَالَ «الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Rasulullah bersabda: Sesungguhnya masa berputar seperti hari saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah 12 bulan, diantaranya ada 4 bulan yang mulia. Yang tiga secara beriringan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, dan Rajab yang terletak antara Jumada dan Sya’ban” (HR al-Bukhari 5550 dan Muslim 4477)
Syekh Abdul Qadir al-Jilany dalam al-Ghuniyah bi Thalibi Thariqil Haqq menukil hadits dari Sa’id Al-Khudry, Rasulullah bersabda:
سَيِّدُ الشُّهُوْرِ شَهْرُ رَمَضَانَ وَأَعْظَمُهَا حُرْمَةً ذُو الْحِجَّة
“Penghulu bulan-bulan adalah bulan Ramadhan, sedangkan yang paling utama kemuliannya adalah Dzulhijjah.”
Dari Jabir, tentang kumuliaan 10 hari awal Dzulhijjah Rasulullah juga bersabda:
أَفْضَلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا أَيَّامُ عَشْرِ ذِى الْحِجَّةِ
“Hari-hari di dunia yang paling utama adalah hari-hari sepuluh awal bulan dzulhijjah.”
Dzulhijjah bisa bermakna ‘bulan untuk haji’, karena mayoritas amalan ibadah haji dikerjakan pada bulan ini. Misalnya, wuquf di ‘Arafah, Mabit di Muzdalifah maupun Mina, melempar Jumrah, dan lain-lain.
Dzulhijjah merupakan bulan yang berisi beberapa ibadah yang tidak ada di bulan lainnya, seperti ibadah haji, qurban, shalat idhul adha. Dalam bulan ini kita diingatkan beberapa peristiwa besar, yaitu pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, dan putranya, Nabi Ismail ‘alayhis salam, peristiwa haji wada’, dan khotbah yang disampaikan Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alayh wasallam.
Dzulhijjah disebut sebagai salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Di dalamnya terdapat kewajiban haji bagi yang mampu melaksanakannya. Sementara orang yang tidak mampu dianjurkan memperbanyak amalan sunah lainnya seperti sedekah, shalat, dan puasa.
Karenanya, kesempatan beribadah tidak hanya diberikan kepada jama’ah haji. Siapapun mendapat kesempatan banyak beramal meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Anjuran memperbanyak amal saleh itu termaktub dalam beberapa hadits. Misalnya hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan At-Tirmidzi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر
Artinya, “Rasulullah SAW berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini,” (HR At-Tirmidzi).
Hadits diatas menunjukkan beramal dalam bentuk apapun di sepuluh hari pertama Dzulhijjah sangat dianjurkan. Namun kebanyakan ulama menggunakan hadits tersebut sebagai dalil anjuran untuk berpuasa sembilan hari pada awal Dzulhijjah.
Hal ini dapat dilihat dalam pembuatan judul bab hadits tersebut. Ibnu Majah memberi titel bab hadis di atas dengan “shiyamul ‘asyr (puasa sepuluh hari) atau (Puasa Dzulhijjah)”.
Dalam kajian hadits, pemberian judul bab tersebut sekaligus menunjukan pemahaman seorang rawi terhadap hadis yang diriwayatkan. Artinya, secara tidak langsung Ibnu Majah selaku perawi menjadikan hadits itu sebagai dalil kesunnahan untuk berpuasa. Karenanya, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:
واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل
Artinya, “Hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal saleh.”
Kendati disebutkan puasa sepuluh hari dalam hadits di atas, ini bukan berati pada tanggal 10 Dzulhijjah juga dianjurkan puasa. Malah puasa pada tanggal itu dilarang karena bertepatan dengan ‘Idul Adha. Terkait maksud dari “ayyamul ‘asyr” ini, An-Nawawi sebagaimana dikutip Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan:
والمراد بالعشر ها هنا الأيام التسعة من أول ذي الحجة
Artinya, “Yang dimaksud sepuluh hari di sini ialah sembilan hari, terhitung dari tanggal satu Dzulhijjah.”
Berdasarkan pendapat An-Nawawi ini, siapapun disunahkan untuk beramal sebanyak-banyaknya di bulan Dzulhijjah khususnya puasa sembilan hari di awal bulan.
Dalam hadits lain, saking penasarannya sahabat tentang keutamaan beramal sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, mereka bertanya kepada Rasul SAW, “Apakah jihad juga tidak sebanding dengan beramal pada sepuluh hari tersebut?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali ia mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah (mati syahid),” (HR Ibnu Majah).
Dengan demikian, Rasul mensejajarkan pahala beramal di sepuluh hari Dzulhijjah dan mati syahid. Karena konteks negara kita bukan perperangan, dalam kondisi aman dan damai, tentu memperbanyak amal di bulan Dzulhijjah, terutama puasa, lebih diprioritaskan. Wallahu a’lam.
Begitulah artikel mengenai Puasa Dzulhijjah, semoga dapat memberikan suatu pengetahuan bagi pembaca semuanya.