Pecihitam.org – Bulan Dzulhijjah termasuk salah satu bulan paling penuh berkah, karena di bulan terakhir penanggalan Hijriyyah ini, umat muslim diberikan kesempatan untuk menjalankan berbagai ibadah besar yaitu ibadah haji dan merayakan Hari Raya Idul Adha.
Jika sebelum Idul Fitri kita diwajibkan puasa Ramadhan, maka sebelum Idul Adha kita juga disunnahkan untuk beribadah puasa. Puasa itu dinamakan puasa Tarwiyah dan puasa Arafah.
Hari Tarwiyah adalah hari ke-8 bulan Dzulhijjah. Disebut tarwiyah sebab pada waktu itu air sangat melimpah. Sedangkan hari ke-9 Dzulhijjah dinamakan hari Arafah, sebab pada hari itu diwajibkan bagi jamaah haji untuk wukuf di Arafah.
Jika dilanjutkan, hari ke-10 Dzulhijjah dinamakan Hari Nahr atau Hari Qurban, hari ke-11 disebut Hari Maqarr (menetap di Mina), hari ke-12 Nafar Awal, dan hari ke-13 Nafar Tsani. (Hasyiyah al-Bujairami ala al-Manhaj, VI, 137)
Daftar Pembahasan:
Hukum Puasa Tarwiyah
Puasa Tarwiyah dianjurkan bagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji maupun yang tidak sedang berhaji, bahkan disunnahkan pula beserta tujuh hari sebelumnya, yaitu tanggal 1-7 Dzulhijjah. Sedangkan untuk puasa Arafah hanya disunnahkan bagi yang tidak berhaji.
Anjuran ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.
Meski dikatakan kualitas hadits ini dhoif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkannya. Karena pendapat hadits yang dloif boleh digunakan sebatas untuk diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud juga tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Selain itu dikatakan pula bahwa hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa, sehingga dianjurkan untuk menjalankan ibadah puasa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari).
Bacaan Niat Puasa Tarwiyah
نويت صوم التروية سنة لله تعالى
Nawaitu shauma al tarwiyata sunnatan lillahi ta’ala
Artinya: “Saya niat berpuasa sunnah tarwiyah karena Allah ta’ala.”
Niat puasa sunnah Tarwiyah ini sebaiknya dibaca ketika malam hari agar tidak lupa. Meski demikian bagi yang terlupa bisa membaca niat terssebut pada siang harinya selama ia belum melakukan perkara yang membatalkan puasa sejak terbit fajar. Selain itu juga kewajiban niat di malam hari hanya berlaku untuk puasa Ramadhan.
Asal Usul Hari Tarwiyah
Dilihat dari etimologi, kata ‘Tarwiyah’ berasal dari perkataan ‘Rawa-yarwi’ yang berarti menceritakan, meriwayatkan, mengisahkan, mengeluarkan, memancarkan, melewatkan, mengantarkan, mengairi dan memberi minum.
Imam al-Babirti dalam kitab Al-Inayah Syarh Al-Hidayah menjelaskan, disebut hari Tarwiyah karena pada hari tersebut jamaah haji melihat air, yang sebelumnya tidak mereka temui.
Ada juga yang berpendapat, disebut dengan Tarwiyah, karena jamaah haji pada masa lalu, meminum air ketika mabit di Mina untuk mempersiapkan diri mereka menaiki Jabal Arafah. Pada masa itu, sedikit sekali persediaan air, dan sulit menemukan sumber air. Maka, jamaah haji menyegarkan diri (irtiwa’), dan meminum air untuk kebutuhan dan bekal mereka menuju Arafah.
Pendapat lainnya, Ibnu Qudamah dalam kitabnya “Al-Mughni”, beliau memaparkan dan menjelaskan mengapa hari ke 8 Zulhijah itu dinamakan dengan hari Tarwiyyah. (kitab Al-Mughni 3/249).
Dalam pandangan beliau setidaknya ada dua indikator (alasan) kenapa hari itu dinamakan Hari Tarwiyah.
Pertama, mereka yang beribadah haji pada hari ke 8 Dzulhijah, setelah berihram, mereka menuju Mina untuk bermalam dan keesokan harinya mereka akan menuju Arafah. Pada saat di Mina itu para jamaah haji mempersiapkan air sebagai bekal untuk dibawa berwukuf di Arafah.
Menyiapkan air ini diistilahkan dan mempunyai asal kata yang sama dengan ‘Yatarawwauna’ dari peristiwa inilah hari ke 8 itu dinamakan Hari Tarwiyah.
Kedua, dinamakan “Tarwiyah” (hari berfikir) karena dalam riwayatnya di malam hari Tarwiyah itu Nabi Ibrahim as mendapatkan mimpi yang pertama kali dari Allah untuk menyembelih puteranya Nabi Ismail as.
Saat itu Nabi Ibrahim As. berfikir dan “bertanya-tanya” kepada dirinya apakah perintah itu datangnya dari Allah atau dari syaitan. “Berfikir dan bertanya-tanya” itu juga diistilahkan dengan kata “Yurawwi” dan itu sebab dinamakan hari itu sebagai Hari Tarwiyah.
Dan ketika mimpi itu datang untuk kedua kalinya di malam hari Arafah, Nabi Ibrahim a.s. akhirnya meyakini bahwa itu perintah dari Allah Swt bukan bisikan dari syaitan.
“Arafa” dalam bahasa Arab bermaksud adanya pengetahuan atau mengetahui. Maka sebab itulah hari ke 9 Dzulhijah dinamakan “Hari Arafah” yang bermakna hari tahu atau mengerti perintah dari-Nya.
Dari kisah yang bersejarah tersebut yang bertepatan pada hari Tarwiyah inilah Nabi Ibrahim bermimpi mendapat perintah untuk menyembelih anak kesayangannya dari Siti Hajar, Ismail a.s. Perintah ini tertuang dalam surah As Saffat ayat 102-107 dengan bunyinya :
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”(QS. Ash-Shafat: 102-107)
Setelah terbangun dari mimpi, pada malam itu dan pagi harinya, Nabi Ibrahim dengan sangat gelisah terus menerus merenung dan berpikir, apakah mimpinya ini berasal dari Allah SWT ataukah dari syaitan.
Karena masih merasa ragu tentang kebenaran mimpinya, maka Nabi Ibrahim tidak segera melaksanakan perintah tersebut di siang hari. Ia masih terus merenung berpikir.
Hingga pada malam kesembilan, Nabi Ibrahim kembali bermimpi dengan perintah yang sama, menyembelih Ismail. Mimpi yang sama untuk kedua kalinya ini membuat Ibrahim yakin bahwa mimpinya itu merupakan perintah Allah SWT. Karenanya hari kesembilan disebut hari Arafah (mengetahui).
Pada malam kesepuluh, Ibrahim bermimpi lagi untuk ketiga kalinya dengan mimpi yang sama persis. Maka di keesokan hari, tepatnya pada 10 Dzulhijah, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah tersebut. Karenanya hari kesepuuh ini dinamakan hari Nahar, yang artinya menyembelih.
Wallahua’lam bisshawab.