Ragam Makna Jihad dalam Literatur Islam

ragam makna jihad dalam literatur islam

Pecihitam.org – Salah satu kata yang seringkali diucapkan oleh umat Islam belakangan ini adalah kata “jihad”. Namun sayangnya, banyak di antara mereka salah paham dalam memaknai konsep jihad. Tulisan pendek ini akan sedikit mengurai tentang makna jihad dalam historiografi Islam, baik dalam konteks Alquran, maupun konteks sosio-historis yang mengitari perkembangan Islam di kawasan Arab. Dan, sebuah upaya untuk memaknai kata jihad yang lebih relevan dan sesuai dengan kehidupan umat Islam saat ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana sebenarnya makna hakiki yang terkandung dalam kata jihad itu sendiri? Pertanyaan sederhana ini penting dijawab, sekurang-kurangnya untuk meluruskan berbagai kesalahpahaman yang selama ini terjadi di antara umat Islam.

Kata jihad sendiri sangat sering diulang-ulang di dalam Alquran dengan jumlah yang banyak sekali. Dan, kalau kita menelusuri di dalam kamus-kamus bahasa Arab, kita akan tahu bahwa kata jihad ini berasal dari kata “al-juhd”, yang secara etomologi memiliki arti bersungguh-sungguh.

Para ulama lalu membagi makna jihad dalam pengertian bersungguh-sungguh ini ke dalam tiga jenis. Pertama, jika kesungguhan itu bersifat spiritual, yakni sungguh-sungguh ingin memperoleh keridhaan Allah, maka itu disebut dengan mujahadah. Kedua, apabila kesungguhan itu berkaitan dengan penggunaan akal dan eksplorasi pikiran, maka para ulama menyebutnya dengan ijtihad. Ketiga, kata jihad ini juga sering dihubungkan dengan makna kesungguhan dalam segi fisik untuk membela agama Allah dan untuk melakukan pertahanan diri.

Baca Juga:  Menelisik Kontroversi Pemberitaan Tentang Muslim Uighur di Tiongkok

Terkait dengan makna jihad yang ketiga, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah betul jihad itu memang berkaitan dengan pertahanan secara fisik? Misalnya seperti peperangan. Kalau kita merujuk pada ayat-ayat Alquran, kita akan segera menemui makna yang cukup luas dari kata jihad ini.

Dalam historiografi Alquran, kategori ayat-ayat tentang jihad sangat mudah dijumpai dalam periode Makah pra-hijrah. Misalnya sebuah ayat yang menyatakan, “Wajahidhum bihi Jihadan Kabiro” berjihadlah kamu (dengan Alquran) dengan jihad yang besar. Para ulama menafsirkan kata jihad dalam ayat ini sebagai bentuk kesungguhan menyampaikan ajaran Alquran, karena menyampaikan ajaran-ajaran kebenaran yang dibawa oleh Alquran juga menjadi bagian dari pengertian jihad.

Kita tahu bahwa dalam periode Makkah, tidak pernah terjadi yang namanya jihad dalam bentuk peperangan secara fisik. Alih-alih akan terjadi peperangan fisik, justru umat Islam diperintahkan untuk bersabar, seperti ayat “Isbir ala ma yaquluna wahjurhum hajran jamila” bersabarlah wahai umat Islam terhadap apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik Makkah itu, kalau kamu tidak bisa bersabar maka berhijrahlah (berpindah) kamu dengan hijrah yang baik.

Lalu pertanyaannya, sejak kapan makna jihad beralih makna menjadi peperangan secara fisik? Dalam catatan yang tertulis di buku-buku sejarah, kata jihad memang mengalami semacam penyempitan makna di periode Madinah. Karena di dalam periode Madinah ini ada ayat-ayat yang turun kepada Nabi untuk menegaskan bolehnya melakukan perlawanan dan bolehnya melakukan pertahanan diri ketika diserah oleh orang-orang musyrik.

Baca Juga:  Islam dan Negara Bangsa dalam Perspektif Kiai Said Aqil Siradj

Dalam Alquran disebutkan, “Udhina lilladzina yuqotaluna biannahum dzilimu” diperbolehkan bagi orang-orang yang dizalimi untuk melakukan perlawanan. Dengan demikian, melalui ayat ini kita menjadi tahu bahwa jihad di dalam periode Madinah mengalami pergeseran makna menjadi peperangan secara fisik.

Tapi perlu diketahui, seluruh peperangan yang dilakukan oleh Nabi adalah dalam rangka untuk pertahanan diri dan bukan pro-aktif melakukan penyerangan keluar, apalagi menyerang orang-orang yang tidak bersalah. Penjelasan ini juga dibuktikan oleh sabda Nabi, ketika penduduk Yasrif ingin memerangi orang-orang non-Muslim yang ada di Mina, kemudian orang-orang Yasrif meminta kepada Nabi untuk dibolehkan memeranginya, maka Nabi berkata agar tidak dilakukan penyerangan terharap orang-orang yang ada di Mina itu. Kata Nabi, “Lam nu’mar bidzalika” aku tidak diperintahkan untuk melakukan penyerangan.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara kita memahami kata jihad dalam konteks kekinian? Sebenarnya, ada banyak sekali para pemikir yang menyatakan bahwa jihad hari ini harus dikembangkan maknanya ke dalam pengertian yang lebih luas.

Misalnya, Syekh Dimyati dalam kitab “I’anah ath-Tholibin” menyatakan, pengertian jihad haruslah digerakkan dari peningkatan taraf hidup umat Islam ke dalam taraf hidup masyarakat, seperti menyediakan sandang, pangan dan papan untuk orang yang tidak berpunya. Kata Syekh Dimyati, menyediakan sandang, pangan, dan papan tidak hanya terbatas kepada umat Islam saja, tetapi juga kepada orang-orang kafir dzimi.

Baca Juga:  Ijtihad Kolektif dan Individual, Dua Cara Mengambil Kesepakatan Hukum dalam Al Quran

Begitu juga dengan pendapat Jamal al-Banani dalam bukunya berjudul “al-Jihad”, ia menjelaskan bahwa jihad dalam konteks hari ini tidak semata-mata untuk mati di jalan Allah, tapi justru untuk hidup di jalan Allah. Inilah kira-kira pengertian yang lebih relevan dan kontekstual untuk kondisi-kondisi sekarang yang sangat penting diketahui oleh umat Islam, bahkan juga oleh umat dari agama lain.

Sebab, berbagai kesalahpahaman seringkali terlambat untuk diluruskan ketika ada sebagian kelompok tertentu dalam Islam yang sudah terlanjur melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama jihad, meneror orang-orang yang tidak bersalah, dan merasa telah berjuang di jalan Allah melalui jalan peperangan. Mereka semua pada Hakikatnya sedang berjuang atas nama setan yang Allah sendiri sangat murka terhadap orang-orang yang sembarangan memerangi orang lain tanpa alasan yang jelas, lebih-lebih kepada orang-orang yang tidak bersalah.

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *