PeciHitam.org – Kata syahwat (al-syahawat) berarti hawa nafsu.Secara bahasa, syahwat artinya menyukai dan menyenangkan (shahiya, shaha-yasha atau shahwatan). Sedangkan secara istilah, syahwat adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang dikehendakinya (nuzu’an nafs ila ma turiduhu). Dalam al-Quran, kata syahwat terkadang dimaksudkan untuk obyek yang diinginkan. Di ayat lain syahwat dimaksudkan untuk menyebutkan potensi keinginan manusia.
Syahwat merupakan fitrah manusia yang mempunyai peran besar dalam menggerakkan tingkah laku manusia. Bila seorang sedang lapar atau haus maka tingkah lakunya selalu mengarah kepada tempat di mana dapat diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan seksual.
Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh syahwat apa yang sedang dominan dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan lain-lainnya. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan melakukan apa saja tanpa kendali. Syahwat yang dimanjakan akan mendorong orang pada pola hidup hedonis.
Dalam Islam, syahwat harus dijinakkan dan dikendalikan. Metode pengendalikan syahwat dilakukan secara sistemik dalam ajaran yang terkemas dalam syariah dan akhlak. Syahwat yang dikendalikan akal sehat dan hati yang bersih akan berfungsi sebagai penggerak tingkah laku atau motif dan menyuburkan motivasi kepada keutamaan hidup.
Kecuali itu, syahwat memiliki tabiat menuntut pemuasan seketika tanpa mempedulikan dampak bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Begitu kuatnya dorongan, maka al-Quran mengibaratkan kedudukan syahwat bagi orang yang tidak mampu mengendalikannya seperti tuhan yang harus disembah. Pengabdi syahwat akan menuruti apapun perilaku yang harus dikerjakan, betapa pun itu menjijikkan.
Kalimat syahwat disebut al-Quran dalam bentuk mufrad sebanyak dua kali, di antaranya adalah QS. al-Naml, yaitu:
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”.
Muhammad Ali al-Ṣabuni, dalam kitab Ṣafwat al-Tafasīr, menjelaskan ayat di atas berulang-ulang sebagai cacian terhadap kaum Luṭ, “Wahai kaum Luṭ yang sangat bodoh mengapa kamu lebih memiliki syahwat kepada laki-laki dan meninggalkan perempuan.”
Sedangkan yang berhubungan dengan syahwat seksual, disebutkan sebanyak tiga kali dalam bentuk jamak. Salah satunya disebutkan dalam QS. al-Nisā’ ayat 27, Allah berfirman:
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”
Ayat di atas mengungkapkan bahwa syahwat berhubungan dengan pikiran-pikiran tertent, yakni mengikuti pikiran orang karena menuruti hawa nafsu.
Ali al-Ṣabuni menafsirkan kalimat syahwat pada ayat di atas bahwa manusia senang kepada kemunkaran; mereka mengikuti setan sehingga mereka berpaling dari kebenaran kepada kebatilan, sehingga mereka menjadi fasik dan ingkar.
Padahal Allah menginginkan kemudahan bagi manusia, maka diturunkanlah syari’at yang mudah dan Allah tahu bahwa manusia sangat lemah untuk melawan hawa nafsu dan tidak sabar untuk mengikuti keinginan syahwat.
Syahwat juga diartikan sebagai potensi keinginan manusia, yakni pada dasarnya manusia menyukai terhadap wanita (seksual), anak-anak (kebanggaan), harta kekayaan atau benda berharga (kebanggaan, kenyamanan, kesenangan), binatang ternak (kesenangan, kemanfaatan) dan sawah ladang (kesenangan, kemanfaatan) jadi kecenderungan manusia terhadap seksual, harta benda dan kenyamanan dalam pandangan Al-Quran adalah manusiawi.
Dalam hal syahwat, baik yang menyangkut seksual maupun harta, semua manusia memiliki potensi untuk berperilaku menyimpang meski kadarnya berbeda. Memang iman dapat menjadi benteng dari godaan syahwat, tetapi benteng juga dapat roboh.
Serangan bertubi-tubi dan dorongan syahwat dapat merobohkan benteng keimanan seseorang. Memang, kecenderungan positif manusia lebih besar, tetapi daya tarik syahwat kadang lebih kuat dibanding ajakan kebaikan. Maka tidak heran jika Rasulullah menyatakan bahwa perang yang paling berat adalah perang melawan syahwat (hawa nafsu).