Rahasia Empat Huruf di Balik Kata “Tashawwuf”

rahasia empat huruf dalam tashawwuf

Pecihitam.org – Argumentasi lain dari kesuksesan Walisongo membumikan Islam di pulau Jawa khususnya adalah sebab jalan sufistik. Walisongo merupakan orang-orang sufi. Pada saat itu tatanan sosial masyarakat Jawa terfragmen dalam hirearki kasta. Di mana kasta tertinggi adalah kaum Brahmana.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Secara sederhana, Brahmana ialah spiritualis yang benar-benar laku hidupnya jauh dari hasrat duniawi. Orang-orang Jawa saat itu sangat menghormati kaum Brahmana. Walisongo sebagai sufi bisa diterima penduduk lokal tempo itu sebab laku hidupnya mencerminkan kasta tertinggi itu, Brahmana.

Kaum sufi merupakan sebutan bagi mereka yang mempelajari dan mempraktikkan ajaran tasawuf. Selain sufi, istilah lain yang berkenaan dengan para pelaku tasawuf ialah “al-murid” dan “al-salik”. Orientasi dari pelaku tasawuf tiada lain pembersihan hati agar lebih dekat dengan Yang Maha Suci Allah Ta’ala.

Ahli tasawuf adalah mereka yang ahli zuhud, mereka yang senantiasa menyucikan batinnya dengan cahaya ma’rifat dan tauhid: “tashfiyyatu bathinihim bi nur al-ma’rifah wa al-tawhid”.

Dimaklumi kalangan muslim Sunni, jalan untuk menempuh keintiman (al-qurbah) dengan Allah Ta’ala ialah apa yang disebut dengan tarekat (al-thariqah).

Banyak sekali tarekat mu’tabar di kalangan muslim Sunni, di antaranya al-Qadiriyah, al-Tijaniyah, al-Syadziliyah, al-Naqsabandiyah, dan lain sebagainya.

Tasawuf secara harafiah tersusun dari empat huruf yakni (1) ta, (2) shad, (3) wawu, dan (4) fa’. Keempat huruf itu kemudian merangkai kata bahasa Arab “tashawwuf”.

Baca Juga:  Ibnu Athaillah: Bertaubatlah Setiap Waktu

Sufi kesohor dari Persia, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (w. 1166 M) dalam kitabnya “Sirr al-Asrar wa Madhharu al-Anwar: fi Ma Yahtaju Ilayhi al-Abrar” mengungkap makna tersembunyi dari keempat huruf tersebut.

Huruf ta’. Menurut Syaikh, huruf “ta” ini bermakna taubat (al-tawbat). Dalam khazanah tasawuf, taubat merupakan maqam atau pintu gerbang menuju padang pasir sufisme. Dalam hal ini taubat terbagi menjadi dua, yakni taubat dhahir dan taubat batin.

Taubat dhahir adalah pertaubatan secara jasadi yang digambarkan dengan memfokuskan semua anggota tubuh untuk meninggalkan laku buruk dan dosa kepada ketaatan. Baik secara lisan maupun perbuatan: “qawlan wa fi’lan”.

Taubat batin adalah meninggalkan segala dosa-dosa batiniah (al-mukhalafah al-bathinah) kepada ketaatan, yakni kesesuaian hati dengan laku ibadah (al-muwafaqah). Caranya adalah dengan penyucian hati (tashfiyyah al-qalbi).

Ketika seorang pejalan sufi telah berhasil melakukan dua pertaubatan ini, maka ia layak disebut sebagai orang yang bertaubat (al-taib).

Huruf shad. Huruf “shad” ini memiliki makna kesucian (al-shafa’). Sama halnya dengan taubat, kesucian terbagi dua yakni suci hati (shafa’u al-qalbi) dan suci sirr (shafa’u al-sirri).

Baca Juga:  Tujuan Tasawuf Psikoterapi, Reparasi Mental Manusia Melalui Ritual Ibadah

Suci hati maksudnya adalah pejalan sufi ia harus berusaha menyucikan hatinya dari kotoran yang sifatnya manusiawi. Kotoran itu dalam terma Syaikh disebut “al-‘alaqat”, yakni kotoran yang menggantung di dalam hati. Kotoran itu disebabkan makan dan minum berlebih walaupun yang dimakan dan diminum itu sesuatu yang halal.

Selain karena makan dan minum berlebih, “al-‘alaqat” disebabkan oleh banyak omong (katsratu al-kalam), banyak tidur (katsratu al-naum), dan banyak melakukan aktivitas duniawi seperti terlalu suntuk mencari uang, terlalu berlebih dalam berhubungan intim dengan pasangan (al-jima’), dan berlebihan mencintai anak dan keluarga hingga melalaikan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Suci sirr (shafa’u al-sirri) adalah dengan menjauhi ketergantungan hati terhadap segala selain Allah (ma siwa Allah). Penyucian “sirr” ini dilakukan dengan asyik-masyuk, menyuntukkan hati berdzikir melafalkan kalimat tauhid atau “asma’ al-tawhid”.

Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, jika seseorang telah melampaui kedua bentuk penyucian (al-tashfiyyyah) ini, maka ia berada di maqam “shad”.

Huruf wawu. Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, huruf “wawu” ini bermakna “al-wilayah”, yang artinya derajat kewalian. Derajat ini merupakan buah dari pada penyucian, baik hati maupun “sirr” seperti dalam pembahasan huruf “shad” di muka.

Ciri dari pejalan sufi yang telah menggapai derajat kewalian ini adalah ia berakhlak dengan akhlak-Nya Allah Ta’ala.

Baca Juga:  Nafas, Khawatir, Syariat dan Hakikat: Pahami Hal Ini Jika Ingin Mendapat Kesempurnaan dalam Ibadah

Sebagaimana arti wali adalah kekasih, pejalan sufi pada derajat ini adalah mereka yang dicintai Allah Ta’ala. Mereka mendengar dengan pendengaran-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berkata dengan lisan-Nya.

Huruf fa’. Huruf terakhir dalam kata “tashawwuf” ini bermakna “al-fana”, yakni ketiadaan eksistensi diri. Sufi dalam derajat ini adalah ia sudah tidak merasa memiliki kehendak (al-iradah) dan tidak memiliki kuasa (al-qudrah), sebab eksistensi diri telah pupus dan sirna. Dalam istilah sufistik Jawa dikenal dengan “manunggal ing kawula Gusti”.

Pada derajat ini seoang sufi telah sirna dalam dirinya sifat-sifat kemanusiaan yang didorong oleh syahwat rendah (al-shifat al-basyariyah). Ketika seorang sufi telah mencapai maqam fana’, maka ia benar-benar seorang sufi yang intim dengan Allah al-Haqq, selamanya: “ma’al haqqi abadan”.

Wallahul muwaffiq.

Mutho AW

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *