Realitas Cinta Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik

Realitas Cinta Manusia dalam Sudut Pandang Sufistik

Pecihitam.org – Berbicara mengenai cinta, apakah manusia memiliki ketulusan dalam hal percintaan? Ataukah hanya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan saja hanya saja melalui jalan yang lebih halus yakni perihal cinta. Apakah cinta dan nafsu hampir sama atau hanya mendekati saja?.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ya memang banyak sekali pertanyaan yang muncul saat membahas mengenai cinta, telebih cinta atas sesama manusia. Saya mengerti, bahwa setiap manusia memiliki cinta dalam hatinya namun besarnya berbeda-beda. Mungkin ada yang pernah mendengar tentang cinta tak bersyarat? Cinta tak terhingga? Cinta buta?. Ya benar, cinta memang menimbulkan ketidakterbatasan.

Jadi jika ada dua insan sedang memadu kasih dan saling mencintai, maka batasan yang mereka anggap dan akui sebelumnya berubah menjadi tidak terbatas. Hal itu juga yang membuat banyak kisah cinta berujung memilukan, karena terkadang batasan itu masih perlu tapi didobrak begitu saja.

Nah itu loh yang disebut dengan cinta dan nafsu, keduanya memang bisa seimbang dalam diri setiap insan. Maksudnya seimbang adalah saat kita yakin ini cinta seharusnya kita bisa mempertimbangkan juga dimana letak nafsunya. Begitu juga saat kita yakin ini hanyalah nafsu, harusnya kita bisa menempatkan dimana letak cinta itu.

Kebanyakan orang berpikir bahwa cinta hanya sebatas ucapan ataupun tindakan, padahal ada yang lebih dari keduanya. Bahwa cinta memang butuh dua faktor tersebut yakni lisan dan action, namun keduanya harus didasari oleh satu faktor yang membuat semuanya menjadi lebih kuat.

Baca Juga:  Wahabi, Salah Satu Firqoh Islam Yang Sangat Lihai Berkamuflase

Apa coba?? Ya.. satu hal itu adalah “Keyakinan (Trust)”. Semua orang bisa saja berucap ataupun bertindak di depan orang yang dicintainya, tapi tidak semua orang mampu yakin terhadap orang yang dicintainya. Banyak gak sih orang yang habis disakitin masih aja bertahan? Atau orang yang udah berganti-ganti pasangan tapi kembali lagi pada orang yang sama?

Ya.. itu bisa masuk dalam kategori keyakinan loh.. mungkin kamu sedang mengalami dilema, namun jika kesekian kalinya kamu kembali kepadanya atau kesekian kalinya kamu disakitin tapi masih mau bersamanya maka yes… that is your Trust for your love story.

Keyakinan bukan sekedar kesetiaan atau kepercayaan yang ala kadarnya, tapi pembuktian yang berkepanjangan baik dalam hal komitmen maupun kesabaran menghadapi berbagai halangan dan rintangan.

Apa sih yang bikin orang mudah melepas pasangannya? Apa ada cinta sejati di dunia ini? Coba deh jawab menurut pengalaman kalian. Kalau menurutku sih, pengalaman kan guru yang cukup baik.

So, saat seseorang berani memilih pasangan untuk dicintainya harusnya dia siap menerima segala resiko apapun yang akan dihadapi kedepannya.

Bagaimanapun saat seseorang telah terpilih menjadi pasangan, bukan berarti bisa disimpulkan langsung bahwa dia sudah baik atau sempurna justru yang terpilih harusnya selalu berusaha memperbaiki diri (mawas diri). Inget yah, di dunia kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan sebagai manusia hanya mampu mencoba bertajalli (bercermin).

Baca Juga:  Mengucapkan Salam, Wujud Kecintaan Kita Kepada Sesama

Kalian pernah nanya gak sih sama diri kalian masing-masing tentang apa yang sebenarnya kalian miliki di dunia ini? Apakah ada yang selamanya bakal kita miliki? Kenapa banyak orang merasa kehilangan padahal apa yang sebenarnya mereka miliki?

Sebagai manusia kita jarang melihat apa yang sebenarnya telah kita miliki atau tidak kita miliki, terkadang manusia disibukkan dengan urusan orang lain atau hanya fokus pada kekurangan pasangan.

Hal itu membuat terjadinya banyak pertengkaran bahkan perpecahan, bahkan dalam ikatan sebuah keluarga sekalipun. Kepemilikan memang sangat dibutuhkan tapi yang terpenting bukan sekedar merasa memiliki apa yang ada tapi bertanggung jawab atas segala resiko dari apa yang kita miliki.

Sebab tidak semua orang mampu menerima berbagai sebab dan akibat dari apa yang dimilikinya. So, pada paham kan sekarang kalau kita itu manusia diciptakan dengan segala kesempurnaan tapi tidak semestinya menyalahgunakan kesempurnaan itu untuk sekedar menyakiti ciptaan-Nya.

Berbeda dengan kisah cinta yang dimiliki oleh para kaum sufi atau ahli tasawuf yang mengedepankan nilai ibadah dibanding aspek keduniawian. Semua manusia berhak mendapatkan kesempurnaan dalam kisah cintanya bahkan jika diabadikan dalam bingkai Ketuhanan.

Layaknya seorang sufi, mereka mengutamakan kedamaian hati bersama dengan Tuhannya untuk mencapai kesempurnaan. Mungkin kalian pernah mendengar proses bercinta dengan Allah seperti melalui jalan syariat, tarekat, hakikat, dan ma’rifat.

Baca Juga:  Indonesia dan Peristiwa Berdarah Sebelum Khilafah Imam Mahdi

Kesemuanya membutuhkan proses yang cukup panjang. Bahkan ada seorang sufi sekaligus filsuf bernama Rabiah Al-Adawiyah yang justru menginginkan bercinta seutuhnya kepada Tuhan.

Baginya manusia selalu dipenuhi dengan hawa nafsu, sedangkan dirinya begitu mencintai Tuhannya bahkan tidak mempedulikan dirinya sendiri. Mabuknya cinta Rabiah kepada Tuhan membuatnya selalu mementingkan kekasihnya dibanding dirinya.

Hidup di zaman Post-modern seperti sekarang cukup sulit untuk mengidentifikasi kriteria khusus untuk mencari pasangan idaman apakah cukup dengan yang kaya, ganteng, cantik, berpendidikan saja? Atau banyak lagi kriteria yang mau kalian masukkan untuk menjadi pasangan idaman?

Ya, manusia terkadang lupa bahwasannya hal besar ditentukan oleh hal kecil yang terkadang ditiadakan. Jika seseorang telah mampu menelaah hal sekecil apapun dengan bijaksana, maka dia akan lebih mampu memaksimalkan hidupnya untuk lebih berguna baik dalam lingkungan sosial, agama maupun berbangsa dan bernegara.

Tidak akan ada pengecualin selagi itu menjadi kesempurnaan dalam pribadinya. Setiap insan wajib melakukan yang terbaik selama hidupnya, meskipun eksistensinya tidak dipandang di lingkungannya tapi keyakinan terhadap Tuhan mampu meneguhkan kepribadiannya.

Indriani Pratami
Latest posts by Indriani Pratami (see all)