Sampah dan Banjir, serta Keimanan yang Loyo

Sampah dan Banjir, serta Keimanan yang Loyo

Pecihitam.org – Sampah dan banjir seakan berkawan akrab. Di mana ada banjir di situ ada sampah. Ketika sampah berjubal dan memadati sungai dan got, banjir setia hadir di kala hujan lebat. Memang, tak melulu musabab banjir adalah laku kita yang sembarang menyampah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun, siapa menolak bahwa perilaku menyampah di sembarang tempat bakal memicu banjir?

Penduduk Indonesia mayoritas pemeluk Islam. Hasil riset Globalreligiousfutures mengungkap jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah 239,89 juta jiwa. 87,17% dari total penduduk adalah beragama Islam: 209,12 juta jiwa.

Diprediksi, pada 2020 ini jumlah penduduk muslim di Indonesia bakal meningkat menjadi 263,92 juta jiwa.

Logikanya, jika sampah bisa memicu banjir, maka perilaku kita membuang sampah sembarangan adalah akar sebabnya. Celakanya, jika mengacu hasil riset di atas, boleh dikatakan mayoritas penduduk yang menyumbang lebih banyak sampah di Indonesia tiada lain umat Islam.

Ya, umat Islam, yakni kita yang paling lantang bersuara di ruang publik atas nama mayoritas.

Suara mayoritas ini (muslim) kadang menganggu, setidaknya bagi saya pribadi. Atas nama mayoritas, mungkin, sebagian umat Islam merasa perlu mengislamkan Indonesia secara formil. Misalnya, ada sekelompok umat Islam yang getol kampanye NKRI Bersyariah, dan atau Negara Islam (khilafah islamiyah ala Hizbut Tahrir).

Baca Juga:  Hari Santri Nasional: Pertanda Zaman Nahdlatul Santri "Religius-Nasionalis"

Kelompok pertama, salah satu impiannya ialah memperjuangkan diberlakukannya kebijakan publik yang islami. Perda syariah, contohnya. Kelompok kedua, bercita-cita membangun kekhilafahan Islam dengan nostalgik kejayaan khilafah islamiyah dengan narasi pemerintah kerap melakukan upaya deislamisasi.

Tak ayal, suara itu lantang sekali pada momen-momen politik. Seringkali wacana politik yang digaungkan bernada konfrontatif. Misal, membenturkan Islam dan negara (pemerintah). Menyebarkan issue negara zalim, pemerintah thagut, anti Islam, dan lain sebagainya.

Bagi saya, kesemuanya adalah pepesan kosong. Tidak subtantif. Apa-apa yang digemakan lebih sekadar membicarakan “kulit” bukan “isi”.

Sebetulnya, negara ini benar-benar sudah sangat Islami. Menjamin segenap laku ibadah umat Islam. Memberikan rasa aman terhadap segala perilaku ibadah kaum muslimin. Namun, pertanyaannya, apakah kita selaku umat Islam telah secara sadar mengamalkan Islam itu sendiri?

Contoh paling konkret dan sederhana adalah soal kebersihan. Apakah kita umat Islam telah benar-benar mengamalkannya?

Baca Juga:  Mengkritisi Slogan Kembali ke Al Qur'an dan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Tak perlu diterakan di sini jumlah hadis Nabi Saw ihwal pentingnya menjaga kebersihan. Atau, jumlah kalam ulama tentang itu. Saya yakin semua telah paham bahwa menjaga kebersihan itu ialah bagian dari kesempuarnaan iman seseorang.

Mengamalkan satu hadis Nabi Saw ini saja kita kelabakan. Padahal, ini lebih substantif ketimbang kampanye politis NKRI Bersyariah dan Khilafah ala Hizbut Tahrir.

Dalam kitab-kitab fikih di pesantren pun, bahasan mengenai kebersihan itu didedah pada bab-bab awal. Soal najis, berwudu, mandi, kebersihan badan, kebersihan busana salat, kebersihan tempat salat, dan lain-lain dibahas mula-mula. Ini artinya betapa Islam sangat konsen kebersihan.

Anda bisa cek berapa puluh ton sampah pada banjir di Jakarta awal tahun ini. Mengapa? Padahal, semasa momen politik Pilgub 2017 kemarin suara Islam bahkan “takbir” di Jakarta demikian menggema. Kemenangan Anis Baswedan boleh dikata kemenangan suara Islam terhadap “penista agama”.

Apakah suara “takbir” itu sebatas di lidah belaka? Tidakkah lantangnya gema “Allahu akbar” itu tertaman mulia di hati tiap muslim Jakarta? Sehingga, tiap muslim yang amat semangat bertakbir di jalanan itu betul-betul mengagungkan Allah Ta’ala yang, implikasinya ialah kepatuhan pada agama.

Baca Juga:  Memahami Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Filsafat Islam

Minimalnya, gema takbir petanda kemenangan umat Islam Jakarta dalam momen politik kemarin adalah tanda bagi “wajah” Jakarta yang lebih bersih. Gaung takbir itu menggerakkan hati untuk betul-betul tidak sembarang membuang sampah.

Sehingga, walau misalnya banjir di Jakarta tidak bisa dihindari sebab banyak faktor, tapi minimalnya banjir itu tidak membawa puluhan ton sampah.

Walhasil, kita umat Islam kerap bersuara lantang di ruang publik “seolah” benar-benar membela Islam. Namun, mengapa kok menjaga kebersihan saja tidak bisa? Apakah keimanan kita sungguh loyo?

Wallahul Muwaffiq.

Mutho AW