Sang Sufi Legendaris Jalaluddin Rumi dan Jejak Hidupnya

jalaluddin rumi

Yang tercinta akan selalu terlihat indah bagi yang mencintainya. Tapi peryataan itu tidak bisa dibalikkan: tidak setiap keindahan akan selau dicintai” ( Jalaluddin Rumi)

Pecihitam.org – Sangat kedengaran indah dan tentu amat bermakna, dan kalimat syahdu itu tentu berasal dari sang sufi Jalaluddin Rumi pada buku Fihi Ma Fihi (Manifestasi Cinta dan kebijaksaan Rumi). Dialah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi kemudian al-Qonawi. Ia lahir di Balakh tahun 604 H., dan dijuluki sebagai Rumi karena nisbat kepada tanah Romawi karena di sana ia menghabiskan sisa hidupnya, Ayahnya yang bernama Muhammad adalah seorang ahli fikih yang ber-madzhab Hanafi. Karena kepemimpinan ayahnya terhadap para ulama’, maka ia dikenal pula dengan julukan pemimpin para bocah (Sultahnul Walad).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ayahnya meninggalkan Balakh dengan keluarganya pada tahun 609 H., dan Rumi masih berumur 5 tahun pada waktu itu. Keluarga tersebut melakukan perpindahan dari satu kota menuju kota yang lain. Ketika berada di Naisambun, keluarga tersebut bertemu dengan Fariduddin Attar. Konon mengatakan bahwa Attar mengambil Rumi dengan kedua tangannya, dan tampak pada dirinya bahwa Rumi akan menjadi seorang sufi besar. Kemudian keluarga tersebut pergi menuju Baghdad, dan kemudian Makkah.

Setelah itu, melakukan perpindahan lagi menuju Multihiyah, dan berdomisili di sana selama empat tahun. Namun kemudian, keluarga  tersebut meninggalkan Multihiyah menuju Laranda (sekarang adalah Qorman) dan menetap di sana selama 7 tahun.

Baca Juga:  Memahami Apa Itu Syariat, Thariqah, Haqiqah dan Ma'rifah

Tidak sampai disana, beliau kembali meninggalkan Laranda menuju Qonawi yang merupakan ibu kota Sultan Alauddm as-Saljuqi yang merupakan orang dari Salajiqoh asia kecil. Di kota tersebutlah orang tua Jalaluddin Rumi meninggal dunia tahun 628 H. Kemudian Jalaludin menerima keilmuan dari ayahnya, dan dari salah satu teman ayahnya yang bernama Burhanudin Turmudzi.

Diriwayatkan tentang Jalaludin bahwa ia pergi ke Syam karena nasehat gurunya tersebut, ia tinggal di sana selang beberapa tahun. Dan di Damaskus terdapat seorang sufi besar yang bernama Ibn Arabi. Rumi menjadi seorang pengajar di kota Qonawi setelah gurunya yang bernama Burhanuddin.

Pada fase kehidupannya tersebut, ia menjadi seorang penasehat dan ahli fikih. Ia sama sekali tidak menyibukkan diri untuk merangkai sebuah syair, sebagaimana ia tidak mengikuti tarekat kesufian. Oleh karena itu, pertemuannya dengan Samsudin at-Tabrisi yang merupakan seorang penyair sufi yang meninggal dunia tahun 652 H., merupakan penyebab terjadinya perubahan dalam hidupnya. Sebab setelah itu, Rumi menjalani kehidupan secara berzuhud, bertasawuf, tak lagi mengajar, dan mulai merangkai sebuah syair.

Baca Juga:  KH Muhammad Ramli; Ulama Sulsel, Penyejuk Dahaga Pendidikan

Ia senantiasa bersama dengan Tabrizi seperti halnya seorang guru dan murid. Rumi telah menulis sebuah diwan (Kajian Sastra) yang di dalamnya merupakan pengabadian nama gurunya dengan judul Diwan Syamsudin Tabrizi. Dan pada akhirnya Rumi meninggal dunia tahun 672 H., di Qonawi. Rumi dianggap sebagai pemilik tarekat kesufian yang dikenal dengan sebutan Jalaliyah (Rihlah Ibn Bathulah, Kairo, 1958 M., h, 187)  atau Maulawiyah yang senantiasa lestari hingga sekarang di Turki dari Syiria.

Selain itu dikenal pula Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.

Yang menjadi pengetahuan baru bagi kita ialah mengenai ciri khas yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.

Baca Juga:  Ini Warisan-Warisan Syekh Wahbah Zuhaili

Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai marifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.

Salah satu karyanya yang paling terkenal ialah; “Jangan tanyakan apa Agamaku. Aku bukan Yahudi, bukan Zoroaster bukan pula Islam. Karena aku tahu , begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna hidup di hatiku.”

Sumber Referensi: Tasawuf Islam (Telaah Historis dan perkembangannya) oleh Abu Wafa’ Al Ghanimi Al Taftazani dan Fihi Ma Fihi (Manifestasi cinta dan kebiksanaan Rumi) Oleh Jalaluddin Rumi.

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *