Pecihitam.org, SORONG – Hari sudah mulai meremang, sinar matahari semakin meredup, waktu sudah menunjukkan pukul 17.15 WITA, seorang pria muda tinggi tubuh 179 cm berbadan kurus berjalan melewati semak-semak di bawah rimbun pohon-pohon besar menuju salah satu masjid di Distrik Agats, Sorong, Papua Barat.
Pria itu bernama Agus Setyabudi usia 33 tahun, perjaka tangguh dari Desa Ngadem, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Ustadz Agus, begitu ia biasa disapa, awal mula berangkat ke Papua atas inisiasi Persaudaraan Profesional Muslim (PPM) Aswaja dan Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang bekerjasama dengan Lembaga Amil, Zakat, Infaq, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dalam program Santri Goes To Papua pada tahun 2015.
“Saya berangkat ke Papua difasilitasi PPM Aswaja, LTN PBNU, dan LAZISNU pada tahun 2015 lalu,” ujarnya kepada NU Online, Selasa (15/10/2019). Dikutip Nu Online
Semula ia ditempatkan di Kabupaten Asmat, setelah setahun berjalan, Agus ditugaskan di kompleks pemukiman suku Kokoda, Kurwato, Sorong, Papua Barat.
Berbekal ilmu yang ia dapatkan selama di Pesantren Roudlotuh Tholibin, Leteh, Rembang di bawah asuhan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Agus mempunyai bekal ilmu yang cukup walaupun secara bergaul secara sosial kemasyarakatan tentu ia perlu belajar lagi karena menyesuaikan perbedaan-perbedaan budaya antara Jawa, tempat ia lahir dan bertumbuh kembang dengan budaya Papua.
Tidak lama tinggal di Sorong, karena Agus melihat geliat semangat anak-anak asli Papua mempelajari agama Islam, ia bersama warga muslim setempat bergotong royong mendirikan madrasah dengan nama ‘Madrasah Diniyah Al-Ibriz Iru Nigeiyah’ Sorong, Papua Barat.
Madrasah dibangun bukan dengan bangunan mewah, tapi dengan berbahan kayu-kayu yang ia dapatkan dari alam sekitar.
Nama Al-Ibriz diambil oleh Agus sebagai media tabarruk (ngalap berkah) pada nama tafsir yang ditulis oleh KH Bisri Mustofa yang tidak lain adalah pendiri pesantren yang pernah ia tinggali saat masih remaja.
Pada kali pertama berdiri, siswa madrasah sejumlah 10 orang, 5 siswa, 5 siswi. Sekarang, madrasah Al-Ibriziyah sudah mempunyai siswa 15 dan siswi 6 yang semuanya dari warga asli Papua kecuali hanya 4 anak pendatang.
Setelah tiga tahun berdiri, madrasah ini berhasil mengirimkan alumninya yang bernama Irwan dan Azam melanjutkan studinya di Pesantren Roudlotuth Tholibin, sama dengan pesantren yang dibuat nyantri oleh Agus dahulu kala. Suka-duka dalam medan dakwah selalu ada, tidak terkecuali Agus.
“Yang namanya di wilayah baru, perjuangan mendirikan madrasah di Papua banyak kendala yang dihadapi. Akan tetapi atas bantuan masyarakat muslim setempat, saya bisa mendirikan madrasah diniyah meski sangat sederhana,” paparnya.
Agus mempunyai harapan baik melalui LAZISNU maupun dari masyarakat atau pemilik pesantren untuk memberikan beasiswa berupa mondok di pesantren gratis khusus masyarakat Papua.
“Semoga LAZISNU bersama organisasi perangkat NU lainnya dapat mengirimkan anak-anak pesantren lebih banyak lagi untuk berdakwah di Papua,” pungkasnya.
Ia memperkirakan, apabila setiap pesantren menggratiskan dua orang saja, maka jika ada 50 pesantren yang bersedia, sudah ada 100 orang generasi dai yang bakal berdakwah di Papua sesuai ajaran ahlussunnah wal-jamaah an-nahdliyah.