Pecihitam.org – Kehidupan dalam pernikahan sering diistilahkan dengan mengarungi bahtera rumah tangga. Karena memang kehidupan berkeluarga akan dihadapkan dengan banyak masalah tak ubahnya kita mengarungi samudera. Badai dan gelombang bisa melanda. Masalah kecil-besar, remeh atau prinsip akan ditemui dalam membina keluarga. Namun, sebisa mungkin jauhilah perceraian.
Memang perceraian adalah manusiawi dan sudah terjadi pada zaman Rasulullah dan shahabat. Tapi perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah meskipun halal.
Kenapa? Karena dengan perceraian akan tidak sedikit efek negatif yang timbul kemudian. Misalnya keretakan hubungan keluarga mantan suami dan istri atau yang paling penting berkaitan dengan kasih sayang dan mental anak.
Sehingga orang-orang tua kita sering menyampaikan petuah. “Bukan tentang kamu dan istrimu, tapi demi anak-anakmu”.
Maksud petuah ini, sekalipun antara suami dan istri ada masalah, sebisa mungkin jauhilah perceraian. Demi kasih sayang dan masa depan anak-anak yang mungkin akan terganggu mentalnya, maka sebesar apapun masalah, dewasalah. Pikirkan masa depan anak.
Darinya, kita dapat mengungkap sebagian hikmah bahwa nikah adalah perkara halal yang paling dibenci Allah. Itu!
Tak dipungkiri memang, ada sebagian golongan yang sangat ingkar terhadap bunyi teks hadits tentang pernyataan di atas bahwa perceraian hukumnya halal tapi dibenci oleh Allah. Hadits tersebut adalah
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian (thalaq).”
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dan Ibnu Majah bersumber dari Abdullah bin ‘Umar. Hadits riwayat dari Ibnu ‘Umar tersebut banyak yang menilainya dha‘if, di antaranya adalah Ibnul Jauzi dalam al-‘Ilal, Abu Hatim dan ad- Daraquthni [mursal].
Namun, ada juga yang mengatakan shahih, seperti Imam Al-Hakim dan As-Suyuthi meski penilaian keduanya tidak disetujui oleh al-Munawi. (Faidh al-Qadir Juz I halaman 107-108, Al-Manhal Al-Lathif halaman 71).
Al-Ajluni dalam Kasyf al-Khafa’ Juz I halaman 24 mengatakn hadits tersebut mempunyai syahid (penguat) dari hadits lain riwayat Ad-Daraqathni yang bersumber dari Mu‘adz bin Jabal secara marfu’.
Al-Ajluni juga menuturkan bahwa Imam Al-Hakim mengeluarkan hadits tentang thalaq yang dinilai shahih oleh beliau, yaitu:
مَا أَحَلَّ اللهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلاَقِ
“Tidaklah Allah menghalalkan sesuatu yang lebih Ia benci melebihi perceraian.”
Al-Munawi mengatakan: hadits ini shahih atau hasan dan diriwayatkan oleh Imam al-Hakim (lihat Faidh al-Qadir Juz V halaman 501).
Memang Imam al-Hakim adalah salah satu ulama hadits yang dikenal mudah menilai shahih satu hadits, sehingga banyak ulama yang melarang menggunakan hasil tashhih hadits beliau kecuali sesorang yang ahli betul atau kritikus di bidang hadits.
Akan tetapi dukungan dari al-Munawi mengenai hadits di atas sudah lebih dari cukup dalam menentukan status hadits yang kerap di permasalahkan tersebut.
Setelah mengetahui hadits-hadits tersebut berkisar antara hasan li ghairihi dan shahih, maka penilaian salah satu pendukung kaum Wahhabiyyah, yaitu Sami Muhammad, menantu ulama Wahhabiyyah, Ibnu Utsaimin, bahwa makna hadits tersebut tidak benar, adalah kesalahan fatal.
Maksud dari hadits di atas adalah Allah membenci talak di pandang dari sisi bahwa talak dapat memutus tali hubungan (perkawinan) yang menjadikan terhambatnya kuantitas umat.
Bukankah setan sangat menyukai perceraian? Dan ini menunjukkan bahwa Allah membenci apa yang disenangi setan. (Lebih jelasnya bisa dibaca Faidh al-Qadir Juz I halaman 107).
Akhirnya, dengan memperhatikan diskusi para ulama tentang hadits di atas dan mempertimbangkan tali silaturahmi serta kecukupan kasih sayang anak, sebisa mungkin jauhilah perceraian. Bukan tentang kita, tapi demi masa depan anak-anak kita.