Dualisme dan Dikotomi, Menilik Sejarah Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia

sejarah pendidikan islam di indonesia

Pecihitam.org – Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dari politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung.

Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950(tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional.

Yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum), pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama.

Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikanIslam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah.

Baca Juga:  Islam di Pesantren, Tak Seperti Islam di Dunia Maya

Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama. Sebab sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung.

Disamping itu administrasi berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain.

Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut.

Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah.

Tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.

Baca Juga:  Islam Nusantara: Berislam dan Melestarikan Budaya

Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah,  juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru.

Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam.

Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama[40] yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975.

Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.

Baca Juga:  Inilah Tujuh Dugaan Penganiayaan Kiai Menurut Prof Mahfud MD

Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah.

SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah. Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama.

Sumber:

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: PT RajaGradindo Persada, 2009)

Husni Rahim, Madrasah dalam Politk Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005)