Sejarah Tarekat, dari Jalan Spritual Menuju Organisasi Tasawuf

Sejarah Tarekat, dari Jalan Spritual Menuju Organisasi Tasawuf

Pecihitam.org- Sejarah perkembangan Tarekat dimulai Pada abad ke-3 dan ke-4 H, periode sufi awal, tasawuf masih merupakan fenomena individual yang menekankan hidup asketis untuk sepenuhnya meneladani perikehidupan spiritual Nabi Muhammad saw.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selanjutnya, menginjak abad ke-5 dan ke-6 H, para elit sufi concern untuk melembagakan ajaran-ajaran spiritual mereka dalam sebuah sistem mistik praktikal agar mudah dipelajari dan dipraktikkan oleh para pengikut mereka.

Sistem mistik tersebut pada prinsipnya berisi ajaran tentang maqamat, sebuah tahapan-tahapan yang secara gradual diikuti dan diamalkan para sufi untuk sampai ke tingkat ma„rifat, dan ahwal, yaitu kondisi psiko-spiritual yang memungkinkan seseorang (salik) dapat merasakan kenikmatan spiritualsebagai manifestasi dari pengenalan hakiki terhadap Allah swt.

Kondisi demikian, pada akhirnya (abad ke-6 dan ke-7 H.), melembaga sebagai sebuah kelompok atau organisasi atau ordo sufi yang terdiri dari syekh, murid, dan doktrin atau ajaran sufi yang selanjutnya dikenal dengan ta’ifah sufiyyah, dan lebih teknis lagi sebagai tarekat.

Dengan demikian, tarekat dapat disebut sebagai sebuah madhab sufistik yang mencerminkan suatu produk pemikiran dan doktrin mistik teknikal untuk menyediakan metode spiritual tertentu bagi mereka yang menghendaki jalan mistik menuju ma’rifat billah.

Baca Juga:  Ajaran Tasawuf Sebagai Dasar dalam Memajukan Perdaban Islam di Indonesia

Sebagaimana dalam bidang fiqih-syariah, bahwasanya dalam bidang tarekatsufistikjuga terdapat semacam madhhab/aliran. Ada dua aliran/madhhab utama yang darinyabercabang-cabang menjadi beberapa puluh madhhab tarekat Islam.

Dua mazhab dimaksud adalah: 1) madhhab Khurrasan (Iran-Persi) yang diwakili oleh tarekat Bustamiyyah; 2) madhhab Iraq/ Mesopotamia yang diwakili oleh aliran tarekat Junaidiyyah. (Lihat Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat).

Tarekat merupakan fenomena ganda, di mana pada satu sisi, menjadi sebuah disiplin mistik yang secara normatif doktrinal meliputi sistem wirid, zikir, do‟a, etika tawassul, ziarah, dan sejenisnya sebagai jalan spiritual sufi.

Sementara pada sisi yang lain merupakan sistem interaksi sosial sufi yang terintegrasi dalam sebuah tata hidup sufistik untuk menciptakan lingkungan psiko-sosial sufi sebagai kondisi yang menekankan kesalihan individual dan komunal yang tujuannya adalah tercapainya kebahagiaan hakiki, dunia akhirat.

Baca Juga:  Wajibkah Umat Islam Bertasawuf? Ini Penjelasannya

Kedua sisi tarekat tersebut (normatif doktrinal dan institusional) tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Doktrin tarekat, terutama aspek teosofiknya, dapat direformasi dan reformulasi terkait dengan upaya kontekstualisasi agar tarekat mampu memberi seperangkat kurikulum spiritual bagi para murid.

Sementara itu, institusi tarekat, sebagai wahana sosialisasi dan aktualisasi doktrin sufi, dapat dimodifikasi dan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern menjadi sebuah ikatan sosial organis sufistik yang memungkinkan kelangsungan dan perkembangannya ke depan.

Dari sisi organisasi, tarekat yang semula merupakan ikatan sederhana dan bersahaja antara guru dan murid, berpotensi untuk berkembang baik struktural maupun fungsional.

Ikatan ini menguat dan melembaga, terutama, setelah mendapatkan justifikasi spiritualpaedagogis, bahwa menempuh (suluk) jalan spiritual yang sekali tempo naik-terjal (suluk al murtafa„at), dan pada tempo lain menurun (suluk al munhadarat) adalah sungguh sangat sukar.

Sehingga kehadiran seorang guiden yang akan membimbingnya ketika mendapatkan cobaan dan gangguan-gangguan di tengah jalan adalah mutlak, tidak boleh tidak.

Oleh sebab ini, ‘Abd al Wahhab asy Sya’rani, sosok elit sufi berpengalaman, sampai menegaskan bahwa, siapa yang menempuh perjalanan spiritual/tarekat tanpa adanya seorang guru (Syaikh), maka gurunya adalah syetan. Artinya, dia akan bingung dan sesat dalam perjalanannya. (Abd al-Wahhab alSya’raniy, al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifat Qawa’id al-Sufiyyah)

Baca Juga:  Sejarah Kodifikasi Hadits dan Perkembangannya (Bagian 2)

Secara struktural, misalnya, terdapat suatu ordotarekat yang mengembangkan jaringanjaringan seperti pendidikan, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan bahkan sistem dan struktur politik.

Struktur tarekat tersebut bermanifestasi dalam sebuah asosiasi-asosiasi yang pada akhirnya memperbesar tubuh atau organisasi tarekat yang bersangkutan.

Mochamad Ari Irawan