Sekilas Sejarah Sarung Sebagai Representasi Islam di Nusantara

sejarah sarung

Pecihitam.org – Sarung, siapa yang tidak tahu sarung, sebuah kain yang membentuk kurung dan biasanya diapakai oleh laki-laki ketika akan sholat, banyak juga yang menggunakan sarung dalam sehari-hari. Namun apakah ada yang tahu sejarah sarung seperti apa? Berikut sekilas ulasannya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sarung diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke 14 yang di bawa oleh pedagang Arab dan India. Adapun berdasarkan catatan sejarah sarung berasal dari Negara Yaman yang disana dikenal dengan sebutan Futah.

Seiring berjalannya waktu, di Indonesia sarung kemudian identik dengan busana muslim yang bernilai kesopanan dan digunakan dalam sehari-hari. Namun setelah Belanda menjajah Indonesia, munculah gaya busana baru mengikuti gaya busana orang eropa yaitu celana panjang untuk pria, dan rok ataupun gaun untuk wanita, dan kemudian mulai menyeluruh di Nusantara.

Yang pertama kali mengikuti gaya busana orang Belanda ialah orang-orang Jawa yang mengenyam pendidikan baray, seperti siswa STOVIA, sekolah pelatihan guru, maupun sekelompok priyayi yang menjadi pegawai negeri kala itu. Trend busana ala belanda ini menyebar dengan cepat, sejak saat itu pria Indonesia atau pribumi biasa mengenakan celana panjang dengan topi.

Baca Juga:  Sejarah Lahirnya GP Ansor (Gerakan Pemuda Ansor)

Namun berdasarkan tulisan Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, sampai sekitar tahun 1902 masyarakat Jawa masih mengenakan sarung dan jas model jawa. Mereka juga tidak memakai sepatu kulit namun mengenakan sepatu yang berbahan kain.

Generasi tua tidak menyukai perubahan gaya berbusana seperti itu. Karena mereka beranggapan bahwa Jawa dan sarung merupaan dua hal yang telah lama jadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Sikap penolakan ini ternyata memang ditunjukkan oleh salah satu ulama pejuang Nu dan merupakan tokoh penting yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah.

Bentuk konsisten beliau terlihat ketika diundang oleh presiden Soekarno untuk menghadiri upacara kepresidenan. Meskipun protokol kepresidenan meminta beliau untuk memakai jas, celana dan juga memakai dasi, namun yang beliau kenakan ialah jas dengan bawahan sarung.

Menurut Zainuddin Hm seorang penulis yang menuliskan buku berjudul “Asal Usul benda di Sekitar Kita” bahwa sarung telah menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi khususnya di Indonesia.

Baca Juga:  Ini Riwayat Singkat Ibnu Taimiyah, Ulama Rujukan Salafi Wahabi

Hingga kini sarung memiliki warna dan motif yang beragam, serta bahan yang beragam juga. Disisi lain celana panjang jas serta kemeja dianggap sebagai simbol modern, yang kemudian di klaim bahwa pakaian tersebut memudahkan dan efisien ketika bekerja.

Celana panjang dan jas dinyatakan sebagai pakaian yang dapat memberi penghasilan sehingga musah masuk diperdagangan. Kenapa? Karena menurut para pedagang pakaian trend modern tersebut memudahkan dalam berbisnis sehingga dapat menjadi jembatan dengan pedagang dari Tiongkok maupun Eropa. Kemudian pakaian sarung dianggap ketinggalan zaman.

Namun bagi umat Islam sarung dianggap sebagai simbol dan biasanya dipakai ketika beribadah. Terkadang sarung juga dpat dijadikan selimut. Pernah ketika terjadi kerusuhan di Sampit tahun 2001, sarung juga menjadi salah satu barang yang disumbangkan untuk para pengungsi.

Begitupun ketika Idul fitri sarung dijadikan pakaian yang banyak diminati, hingga terkadang sarung dijadikan THR lebaran. Hal ini menjadikan peningkatan penjualan sarung. Sehingga sarung yang dulunya dianggap ketinggalan zaman kini mulai diminati dan kemudian diangkat oleh designer Indonesia lewat kreasinya sebagai Indentitas Nusantara.

Baca Juga:  Perebutan Kekuasaan dan Periodesasi Dinasti Abbasiyah

Sarung juga menjadi salah satu ciri santri, dimana para santri putra maupun putri pesantren salaf biasanya mewajibkan santrinya untuk memakai sarung terutama santri putranya, dan model sarung tidaklah ketingalan zaman bahkan mengikuti perkembangan zaman.

Hingga salah satu seniman Indonesia yaitu Sujiwo Tejo mendesign corak sarung yang limited edition, dimana tiap satu corak sarung hanya dibuat 99 item saja, dan uniknya tiap model memiliki nama masing-masing. Itulah sekilas sejarah perkembangan sarung yang kini akhirnya identik dengan wajah santri atau kaum sarungan di Nusantara.

*Diolah dari berbagai sumber

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik