Seorang Da’i Bisa Jadi Ahli Fitnah yang Menyesatkan Jika Tak Pahami Hal Ini

Seorang Da'i Bisa Jadi Ahli Fitnah yang Menyesatkan Jika Tak Pahami Hal Ini

Pecihitam.org – Banyaknya model pemikiran baru dalam berislam, terutama yang hanya mengedepankan semangat beragama tanpa dibarengi pendalaman keilmuan yang memadai, terbukti membuat masalah baru dalam interaksi antar umat islam sendiri dan antar umat beragama. Jika hal ini dibiarkan akan sangat berbahaya dan mengancam persatuan dan serta keutuhan NKRI.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

“Semua ini disebabkan oleh kemalasan para dai dan kaum muslimin untuk membuka kembali surat dan warisan keilmuan yang sangat kaya raya yang dimiliki umat islam,” kata Pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat Muhammad Nur Hayid.

Menurut Hayid, ada situasi yang sangat memprihatinkan dalam berislam belakangan ini terutama pasca tahun 90 an. Ada banyak sekali dai-dai yang pemahaman keilmuannya hanya mengandalkan bacaan Alquran dan terjemahan ayatnya, serta bacaan hadits dan terjemahan haditsnya.

“Mereka tidak mau atau tidak ngerti tatacara memahami sumber dasar hukum islam itu secara baik dan benar, sehingga dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya cenderung kaku, kasar dan menyalahkan orang lain atau bahkan mengkafirkan, bukan Mengajak atau merangkul kaum muslimin untuk semakin kuat dan bersatu,” terang KH. Muhammad Nur Hayid atau yang akrab dipanggil Gus Hayid. saat ceramah agama dalam acara peringatan maulid Nabi Muhammad SAW Tahun 2017 di KBRI Amman Jordania, Jumat (24/11) dalam siaran persnya.

Baca Juga:  Khalid Basalamah Salah Memahami Tabarruk, Ini Kritik dari Santri

Untuk itulah, lanjut Kiai Muda dari Lumajang Jatim ini, diperlukan penguatan kembali pendalaman pemahaman kepada para dai-dai umat Islam, yang selama ini mengisi ruang publik keagamaan. Baik di majlis taklim, mimbar khutbah jumat atau tabligh akbar.

Mereka perlu dibekali keilmuan pendukung utama dalam memahami Alquran dan hadits seperti ulumul qur’an, ulumul hadits, ushul fiqh, tarikh atau sejarah dan hasil ijtihad para ulama atau fiqh itu sendiri, khususnya bab khilafiyyahnya.

“Tanpa penguatan dai-dai kita, khusunya kepada mereka yang sudah memiliki komunitas dakwah sendiri, dengan keilmuan turats islamiyyah yang kuat, maka jangan berharap suasana dakwah wasatiyah atau dakwah yang mengajarkan Islam rahmatan lil Alamin akan terwujud. Ilmu yang saya sebutkan itu minimal yang harus dikuasai yang mudah diakses karena sudah ada terjemahannya. Masih banyak yang lain, apalagi mau mengakses sumber aslinya, ya harus menguasai nahwu, shorf, mantiq balaghoh dan masih banyak yang lainya ,” kata Pengurus Komisi Dakwah MUI Pusat ini.

Jika memang tidak memiliki kapasitas dan keilmuan seperti yang tersebut di atas, lanjut Gus Hayid, sebaiknya para dai atau pemimpin umat jangan aneh-aneh dan sok-sok-an membuat pemahaman sendiri, membuat hukum sendiri dan menafsirkan Alquran sendiri, serta mensyarahi hadits sendiri. Kata dia, bertawadlu’lah dengan bersabar membaca karya-karya para ulama yang ahli di bidangnya untuk membantu memahami alquran dan hadits secara benar dan tidak melenceng agar usaha berdakwah tidak tersesat dan menyesatkan.

Baca Juga:  Perempuan PMII dan Tantangan Gerakan Revolusi 4.0

“Memahami Alquran dan Hadits Nabi tak cukup hanya dengan membaca terjemahan keduanya. Kalau mampunya masih hanya membaca terjemahan. Jangan berani-berani berfatwa apalagi menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Pasti sesat orang yang demikian itu.”

Kalau sudah berani berdakwah dan menjawab masalah umat, kata Hayid, seorang dai harus minimal selesai dan paham baca tafsir jalalayn, tafsir ibnu katsir, kitab fathul bari fi syarhi sohihil bukhori, baca kitab karyanya imam nawawi yang mensyarahi sohih muslim, membaca siroh nabawiyyah yang utuh, jangan sekilas doang dan mempelajari ushul fiqh serta kitab fiqh ala madhahibul ar’baah, khususnya bab khilafiyyahnya.

Masih banyak yang lain kalau mau, semua tafsir dengan berbagai coraknya, semua kitab hadits dari kutubut tis’ah dengan syarahnya sekalian dan kitab-kitab pendukung lainnya. “Itu bacaan minimal biar seorang dai tidak cupet dan merasa paling hebat sehingga dengan mudah menyalahkan orang lain gara-gara tata cara beribadahnya dianggap berbeda,” kata Hayid. Padahal, lanjutnya, ternyata yang berbeda itu soal furuiyyah, bukan masalah ushuliyyah.

Baca Juga:  Corak Aswaja dalam Bidang Politik, Santri Millenial Harus Paham!

Dakwah yang sejatinya mulia dan agung, kata Hayid, bisa jadi berbalik fungsi jika tidak disampaikan dengan benar, dan tidak ditopang oleh kapasitas keilmuan yang memadai.

Menjadi dai tak cukup hanya bermodalkan bisa orasi menarik, bisa ceramah dengan lucu dan memukau, serta memiliki suara merdu.

“Menjadi dai harus memperhatikan koridor yang saya jelaskan di atas. Kalau tidak, sangat mungkin niat awalnya menjadi dai itu baik, tapi sejatinya telah terjerumus menjadi ahli fitnah, tukang fitnah, penyebar kesesatan dan menjadi provokator.” (ISNU)

Sumber: Republika[dot]co[dot]id

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *