Shalat Kafarat Dapat Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan? Berikut Pendapat Para Ulama

Shalat Kafarat Dapat Mengganti Shalat Yang Ditinggalkan Berikut Pendapat Para Ulama

PeciHitam.org – Seperti halnya yang sudah dibahas tahun-tahun sebelumnya, muncul persoalan terkait tradisi yang dilakukan di pada hari Jumat terakhir dibulan Ramadhan, seusai shalat Jumat, terdapat tradisi melaksanakan shalat kafarat atau disebut shalat al-bara’ah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Shalat kafarat dilakukan dengan sejumlah rakaat shalat fardlu. Lima kali waktu shalat; Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh dengan total 17 rakaat. Sebagian pihak setuju atas tradisi tersebut, sementara sebagian yang lain melarangnya.

Shalat kafarat diniatkan untuk mengqadha atau mengganti shalat fardlu yang diragukan ditinggalkan atau yang tidak sah. Ada keterangan bahwa shalat kafarat ini dapat menggantikan shalat yang ditinggalkan semasa hidupnya sampai 70 tahun dan dapat melengkapi kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan shalat yang dilakukan disebabkan waswas atau lainnya.

Bagaimana hukum Islam memandang pelaksanaan shalat kafarat tersebut?
Terdapat diskusi panjang mengenai status hukum shalat sunnah kafarat ini. Mufti Hadlramaut Yaman, Syekh Fadl bin Abdurrahman mengumpulkan perbedaan pandangan para ulama jadi satu dalam kitabnya, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum melakukan shalat kafarat, antara yang memperbolehkan dan mengharamkannya.
Pandangan yang membolehkan di antaranya karena pertimbangan sebagai berikut ini:

Pertama, berlandaskan pada pendapat al-Qadli Husain yang membolehkan mengqadha‘ atau mengganti shalat fardlu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat tersebut sebagaimana keterangan berikut ini:

فرع ) قال القاضي لو قضى فائتة على الشك فالمرجو من الله تعالى أن يجبر بها خللا في الفرائض أو يحسبها له نفلا وسمعت بعض أصحاب بني عاصم يقول : إنه قضى صلوات عمره كلها مرة ، وقد استأنف قضاءها ثانيا ا هـ قال الغزي وهي فائدة جليلة عزيزة عديمة النقل ا هـ إيعاب

“Cabang permasalahan: al-Qadli Husain berbicara, bila seseorang mengqadha’ shalat fardlu yang ditinggalkannya secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kekurangan dalam shalat fardlu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunnah. Saya mendengar bahwa sebagian ashabnya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha’ seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faidah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz.2, hal. 27)

Baca Juga:  Hukum Donor Darah dalam Islam Sesuai Fatwa Ulama al-Azhar

Dalam redaksi yang lain disampaikan:

إن الشك في عبادة بدنية أو مالية يجوز تعليق نية قضائها إن كان عليه وإلا فتطوع

“Keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunnah.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, hal. 4)

Kedua, tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia lakukan, terlebih shalat yang dulu-dulu.

Ketiga, larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat tersebut cukup untuk mengganti shalat yang telah ditinggalkan selama setahun, ketika kekhawatiran tersebut sudah hilang, maka hukum haram hilang.

Keempat, mengikuti amaliyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya.

Shalat tersebut rutin dilaksanakan dan dihimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman shalat kafarat ini menjadi tradisi yang dilakukan secara berjamaah.

Mengikuti amaliyah para wali dan ulama ‘ârifin (ahli ma’rifat) tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi hujjah untuk membolehkan shalat kafarat ini. Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin, sebagaimana dikutip dalam Kasyf al-Khafa’ berpendapat:

Baca Juga:  Mimpi Basah Saat Puasa, Apakah Membatalkan Puasa yang Sedang Dijalankan?

ومن القوم إذا لم يجدوا لذلك العمل دليلا من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم الثابتة في كتب الشريعة يتوجهون بقلوبهم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فإذا حضروا بين يديه سألوه عن ذلك وعملوا بما قاله لهم ولكن مثل هذا خاض بأكابر الرجال

“Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunnah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syari’ah, mereka menghadap hatinya kepada Rasulullah, bila sudah berhadapan dengan Rasulullah, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Rasulullah, yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi.”

فإن قيل فهل لصاحب هذا المقال أن يأمر الناس بما أمره رسول الله صلى الله عليه وسلم بفعله وقوله؟ الجواب لا ينبغي له ذلك لأنه أمر زائد على السنة الصحيحة الثابتة من طريق النقل ومن أمر الناس بشيء زائد على ما ثبت من طريق النقل فقد كلف الناس شططا اللهم إلا أن يشاء أحد ذلك فلا حرج عليه كما هو شأن مقلدي المذاهب المستنبطة من الكتاب والسنة والله أعلم

“Bila ditanya, apakah sufi yang mendapat amaliyah dari Nabi boleh memerintahkan orang lain sebagaimana Nabi memerintahkan kepadanya? Jawabannya, tidak sebaiknya hal tersebut dilakukan, sebab merupakan perkara tambahan atas sunnah shahih, barang siapa memerintahkan manusia perkara yang melebihi sunnah Nabi yang dikeluarkan berdasarkan riwayat yang sahih, maka ia telah memberi beban kerancuan kepada mereka. Kecuali bila ada orang yang dengan sukarela mengikuti, maka tidak ada masalah, sebagaimana keadaan para pengikut madzhab-madzhab yang bersumber dari al-Quran dan hadits.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, halaman 43)

Baca Juga:  Zakat Penghasilan; Pengertian, Qiyas hingga Syarat dan Nisabnya

Pandangan yang mengharamkan setidaknya karena berbagai pertimbangan seperti berikut:

Pertama, tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab syari’ah, sehingga melakukannya tergolong isyra’u ma lam yusyra’ (mensyari‘atkan ibadah yang tidak disyari’atkan) atau ta’athi bi ‘ibadatin fasidah (melakukan ibadah yang rusak).

Kedua, pengkhususan shalat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadhan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syari’at Islam.
Ketiga, terdapat keterangan sharih dari pakar fikih otoritatif mazhab Syafi’iyah.

Keempat, hadits tentang shalat kafarat tidak dapat dibuat dasar (dalil), karena tidak ditemuinya sanad yang jelas.

Semoga bisa saling menghargai atas perbedaan diatas tersebut, karena keduanya sama-sama memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Hal yang perlu ditegaskan adalah, keyakinan bahwa shalat kafarat diyakini sebagai pengganti shalat fardlu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak bisa dibenarkan, sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau dikarenakan lupa, adalah mengqadhanya satu persatu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini. Shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi saja. Wallahu a‘lam

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *