Sosok Khomeini dan Revolusi Islam Iran 1979 dalam Pandangan Gus Dur

ayatollah khomeini revolution

Pecihitam.org – Pada tahun 1979, dunia digemparkan oleh terjadinya Revolusi Islam Iran. Peristiwa politik besar dalam dunia Islam itu digerakkan oleh seorang ulama’ yang tidak lagi muda,ia berusia 82 tahun. Sosok ulama’ kharismatik yang tak lagi muda itu bernama Ayatolah Khomeini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ia melalui pengasingannya di Paris menggerakkan berbagai lapisan masyarakat di Iran untuk melawan rezim monarki Shah Reza Pahlevi. Masyarakat Iran menginginkan perubahan karena melihat kekuasaan Shah yang semakin korup dan berkawan dengan negeri Paman Sam (Amerika Serikat) yang oleh mereka disebut sebagai imperialis.

Sewaktu momentum revolusi itu Gus Dur pernah mengulasnya di Majalah Tempo dalam sebuah esai berjudul Khomeini dan Beberapa Pertanyaan yang terbit pada 4 Agustus 1979. Gus Dur dalam tulisan itu mengulas tentang sosok Khomeini dan perkembangan revolusinya.

Bagi Gus Dur, sosok Khomeini ini penuh tanda tanya. Sosok ulama’ kharismatik yang sudah tua itu menampilkan gambaran yang penuh ambiguitas. Ambiguitas itu terletak pada dua wajah kebijakan yang dilakukannya penuh dengan pertentangan.

Baca Juga:  Pelecehan Seksual Bukan Terjadi Akibat Korban Memakai Baju Seksi

Khomeini, di satu sisi ia menggerakkan sebuah perubahan besar dengan menurunkan kekuasaan yang dzalim kepada rakyatnya. Namun, di sisi yang lain Khomeini justru jatuh kepada persoalan-persoalan kecil yang justru mendegradasi nilai-nilai perjuangan universalnya.

Hal ini misalnya ketika Khomeini mengatakan bahwa musik itu haram. Selain itu, Khomeini juga membatasi ruang gerak kaum perempuan di ruang publik. Sikap dan kebijakan demikian itu membuat Gus Dur heran dan penuh pertanyaan. Bagaimana bisa seorang pembebas ketertindasan rakyat malah bersikap yang sangat kolot terhadap modernitas yang sedang berkembang.

Gus Dur juga menyebutkan perihal penilaian masyarakat Barat terhadap revolusi yang Khomeini pelopori. Dunia Barat melihat Khomeini penuh dengan kontradiksi-kontradiksi.

Di satu sisi, perjuangan revolusi sosialnya sangatlah dihormati oleh dunia Barat yang juga sering mengalami revolusi untuk merubah tatanan yang menindas. Seperti misalnya: Revolusi Perancis yang mengusung ide kesetaraan dan persaudaraan.

Namun, di sisi yang lain, bagi masyarakat Barat, sosok Khomeini juga dinilai sebagai penguasa baru yang ingin mendirikan kerajaan Tuhan di Iran.

Baca Juga:  Beethoven Symphony 9 dan Cita Rasa Musik Gus Dur

Dalam pemahaman umum di Barat, setelah revolusi terjadi, maka kekuasaan beralih dari penindasan menuju demokrasi. Namun kasus Khomeini di Iran tidak. Setelah kekuasaan monarki Shah Reza Pahlevi ditumbangkan, namun sistem baru yang didirikan adalah negara Islam ala Syiah.

Berbagai ambivalensi dan kontradiksi pada sosok Khomeini itu menurut Gus Dur mirip dengan ambiguitas sosok Mao Zedong, seorang bapak revolusi komunis di Tiongkok.

Ketua Mao, sapaan akrabnya, terlihat ambigu karena di satu sisi ia membebaskan Tiongkok dari penindasan. Namun, di sisi yang lain ia bertindak otoriter dalam kekuasaannya.

Mao Zedong melalui program Lompatan Jauh Kedepan saat revolusi di Tiongkok yang awalnya ingin menggenjot produksi dalam negeri secara besar-besaran. Namun, hasilnya malah menimbulkan meninggalnya jutaan penduduk karena kelalaiannya.

Khomeini dan Mao Zedong meskipun satunya adalah ulama’ dan satunya filusuf yang ateistik, namun keduanya disamakan dalam hal perjuangan politiknya hingga melahirkan sebuah revolusi sosial yang menumbangkan rezim politik sebelumnya yang menindas.

Baca Juga:  Mengulas Tradisi Merokok dan Ngopi Ala Ulama Sufi di Nusantara

Namun, lantas mengapa keduanya dapat terjerumus kedalam ambiguitas yang menodai sisi universal revolusinya? Sebab keduanya mengabaikan pentingnya demokrasi dalam mengelola kekuasaan dalam negara.

Khomeini malah menjadi penguasa yang otoriter dengan legitimasi ajaran agama. Kemudian, Mao Zedong menjadi penguasa yang otoriter dengan legitimasi perjuangan kaum tertindas.

Di sisi inilah pentingnya wejangan Gus Dur perihal betapa pentingnya sebuah demokrasi. Sebuah perjuangan untuk melakukan perubahan politik secara besar-besaran juga harus dibekali keinginan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis. Agar pemerintahan itu tidak mengulangi penindasan yang dilakukan penguasa sebelumnya. Wallahua’lam.