Sucikah Benda Najis yang Terbasuh oleh Air Hujan? Berikut Penjelasannya

benda najis terbasuh air hujan

Pecihitam.org – Terkadang kita mendapati benda yang terkena najis. Misalnya saja lantai, pakaian dan kendaraan. Namun kita tidak segera menghilangkan najis tersebut dengan mencucinya, entah karena malas atau hal lain.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Saat kita berniat menghilangkan najis tersebut, ternyata wujudnya telah tiada. Kita berpikir, hujan dan anginlah yang membuatnya hilang. Lalu, sucikah hukum benda tersebut setelah najis itu hilang terbasuh oleh air hujan?

Normalnya, kita menghilangkan najis dilakukan secara sengaja dengan menyiramkan/mengguyurkan air terhadap benda yang terkenainya. Kita tahu bahwa hal tersebut dilakukan berdasarkan adanya perbuatan manusia. Tamyiz nan mukallaf. Secara normatif memang dilakukan dengan menyengaja.

Lantas apakah dengan tidak menyengaja mensucikannya, benda tersebut masih dihukumi najis? Ataukah sudah dianggap suci karena telah hilang oleh air hujan?

Imam Nawawi dalam al-Majmu Syarh Muhadzdzab juz 2 halaman 602 mengungkapkan bahwa yang demikian sudah dihukumi suci.

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Menyusui Anak dan Konsekwensi Bagi Ibu yang Lalai Menyusui Anaknya

ﻻ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻲ ﻏﺴﻞ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻓﻌﻞ ﻣﻜﻠﻒ ﻭﻻ ﻏﻴﺮﻩ ﺑﻞ ﻳﻚﻓﻲ ﻭﺭﻭﺩ اﻟﻤﺎء ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻌﻴﻦ ﺳﻮاء ﺣﺼﻞ ﺫﻟﻚ ﺑﻏﺴﻞ ﻣﻜﻠﻒ ﺃﻭ ﻣﺠﻨﻮﻥ ﺃﻭ ﺻﺒﻰ ﺃﻭ ﻟﻘﺎء اﻟﺮﻳﺢ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ ﺃﻭ ﺑﻨﺰﻭﻝ اﻟﻤﻄﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻭ ﻣﺮﻭﺭ اﻟﺴﻴﻞ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﻧﺺ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ اﻷﻡ ﻭاﺗﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ

Artinya: “Dalam mencuci/membasuh/mensucikan benda yang terkena najis tidak disyaratkan adanya perbuatan mukallaf (orang yang berakal dan telah baligh) atau selainnya, melainkan cukup dengan datangnya air terhadap najis yang terdapat pada benda tersebut dan menghilangkannya (menghikangkan warna, rasa dan aroma najis). Oleh karena itu, hilangnya najis dianggap cukup, baik dengan dibasuh secara sengaja oleh mukallaf, orang gila, anak kecil maupun oleh hembusan angin, terjatuhinya air hujan, tersapu arus (sungai, banjir dan sebagainya) dan selainnya. Hal ini sebagaimana nash Imam Syafii dalam kitab al-Umm dan disepakati para ulama”.

Namun benarkah ada pendapat yang mengatakan bahwa mensucikan najis harus dilakukan oleh mukallaf dan disertai niat?

Baca Juga:  Ini Tiga Dimensi Mudlorot Hoax, Nomor 3 Sering Diremehkan

Benar, ada pendapat yang mengatakan demikian, hanya saja itu pendapat yang keliru.

ﻟﻜﻦ ﻳﺠﺊ ﻓﻴﻪ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺴﺎﺑﻖ ﻓﻲ اﺷﺘﺮاﻁ اﻟﻨﻴﺔ ﻓﻲ ﺇﺯاﻟﺔ اﻟﻨﺠﺎﺳﺔ ﻟﻜﻨﻪ ﻭﺟﻪ ﺑﺎﻃﻞ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﻟﻹﺟﻤﺎﻉ ﻛﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻗﺎﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭاﻷﺻﺤﺎﺏ

Artinya: “Namun ada satu pendapat ulama madzhab seperti yang telah disampaikan di muka yang mengatakan bahwa mensucikan benda yang terkena najis disyaratkan menggunakan niat (niat menghilangkan najis), tetapi pendapat tersebut keliru karena menyelisihi kesepakatan para ulama, sebagaimana yang telah dibahas di muka. Demikianlah ungkapan Imam Syafii dan Ashab”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mensucikan benda yang terkena najis tidak harus dilakukan oleh mukallaf dan disertai niat. Melainkan hanya dengan hilangnya ‘ain najis dari benda tersebut baik karena disengaja (disucikan oleh mukallaf dengan air) maupun tidak disengaja (najis hilang karena terjatuhi air hujan, terhembus angin, tersapu air sungai, banjir dan sebagainya.

Baca Juga:  Kejatuhan Kotoran Cicak atau Burung saat Shalat, Batal atau Tidak?

Jika ‘ain najis sudah hilang, maka hilanglah hukum najis pada benda tersebut, meskipun tidak menyengaja menghilangkannya. Demikian hukum benda terkena najis yang hilang terbasuh dengan air hujan, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.

Azis Arifin