Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie: Keturunan Rasulullah, Pendiri Kota Pontianak

Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, Keturunan Rasulullah, Pendiri Kota

Pecihitam.org – Kota Pontianak yang juga dikenal dengan Kota Khatulistiwa karena dilintasi garis khatulistiwa merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang dikelilingi Sungai Kapuas ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan Pendiri dan Sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729 / 1730 M.

Beliau adalah seorang habib atau keturunan Rasulullah keturunan Rasulullah, putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab. Nasabnya bersambung hingga Imam Ali Ar-Ridha.

Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah, Utin Chandramidi, dan kedua pada tahun 1768 dengan Ratu Syahranum (Ratoe Sjerip) dari Kesultanan Banjar (putri dari Sultan Saad/Sultan Tamjidillah I), sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran Nur Alam).

Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru.

Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dzuhur mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana.

Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai.

Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan salat zuhur itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor. Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, di mana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan.

Baca Juga:  KH. Wahid Hasyim, Ulama, Politisi dan Aktivis yang Berwawasan Luas

Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak atau Kuntilanak. Dari sinilah, kemudian timbul penamaan kita ini dengan Pontianak. Kata Pontianak berasal dari Puan (perempuan); Mati dan Anak, artinya hantu dari seorang perempuan yang mati ketika mengandung anak.

Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu dengan menyalahkan meriam karbit dari pohon yanh besar. Maka festival meriam karbit, terutama di bulan Ramadhan menjadi salah satu wisata Kota Pontianak yang dihadiri bahkan oleh turis mancanegara.

Setelah hantu-hantu itu terusir, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas.
Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Kadariah.

Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya’ban 1192 Hijriah,bertepatan dengan hari Senin dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie.

Syarif Abdurrahman Alkadrie merupakan seorang pengembara sejati. Konsep hijrah Rosulullah SAW diterapkan oleh beliau, terbukti ketika beliau remaja berumur 16 tahun dibawa oleh ayahnya hijrah dari Matan ke Mempawah, menginjak usia ke 18 beliau dinikahkan oleh ayahnya dengan Utin Cendramidi putri dari Upu Daeng Menambon.

Baca Juga:  Runutan Sanad Keilmuan Imam Al-Ghazali dan Kisah Perjuangannya dalam Menuntut Ilmu

Tatkala umurnya 22 tahun, Syarif Abdurrahman Alkadrie pergi ke Pulau Tambelan selanjutnya ke Siantan dan terus ke pusat pemerintahan Riau di Pulau Penyengat. Beliau tinggal di sana selama kira-kira dua bulan.

Kemudian melanjutkan pengembaraan  ke Palembang dan tinggal di daerah yang terkenal dengan Empek-empeknya itu  selama sebelas bulan. Ketika ingin kembali ke Mempawah para bangsa Arab yang berada di Palembang menghadiahkan dua ribu ringgit dan Sultan Palembang menghadiahkan sebuah perahu selaf dan seratus pikul Timah.

Tidak lama menetap di Mempawah selama dua bulan beliau belayar ke tanah Banjar dan tinggal di sana selama empat bulan. Kemudian melanjutkan perjalanan ke salah satu darerah di Kalimantan Timur (Pasir).

Setelah menetap selama tiga bulan beliau kembali ke Banjar. Setelah dua bulan di Banjar, Syarif Abdurrahman Al Qodri dilantik oleh Penembuhan Batu menjadi Pangeran dan bergelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Allam.

Setelah pelantikan tersebut, beliau dinikahkan dengan puteri Sultan Sepuh, saudara pada Penembahan Batu yang bernama Ratu Syahbanun.

Setalah dua tahun menyandang gelar Pengeran beliau kembali ke Mempawah Kalimantan Barat. Setahun kemudian kembali ke Kota Berlian Banjar. Selama empat tahun di Banjar beliau dikaruniai dua orang anak, Anak lelaki beliau bernama Syarif Alwi bergelar Pangeran Kecil, dan anak perempuannya yang bertitel Syarifah Puteri bernama Syarifah Salmah.

Tertanggal  11 Rabiulakhir 1185 H yang bertepatan pada 24 Jun 1771 M beliau Pangeran Nur Allam berlayar menuju kampung halaman beliau di Mempawah dan mendapati sang ayah Al Habib Husain Al Qodri telah menutup mata selamanya.

Baca Juga:  Ismail al Jazari, Imuwan Muslim Ahli Robotika Abad Pertengahan

Beliau Pangeran Syarif Abdurrahman Al Qodri menetap selama tiga bulan dan berdiskusi bersama adik-adiknya Syarif Ahmad, Syarif Abu Bakar, Syarif Alwi bin Habib Husein al-Qadri ikut serta jugaseorang kerabat mereka, Syarif Ahmad Ba’abud. Keputusan diskusi atau musyawaroh yang mereka adakan adalah beliau Al Habib Abdurrahman bin Husain Al Qodri akan keluar dari mempawah dan mencari tempat yang patut baginya.

Syarif Abdurrahman Alkadrie wafat pada tahun 1807 dengan meninggalkan 66 putra-putri. Kelak dari keturunannya terdapat beberapa nama yang punya kontribusi besar pada bangsa Indonesia.

Yang paling terkenal dan dikenang dalam sejarah adalah Sultan VII, yakni Sultan Hamid II yang merupakan perancangan lambang negara, Burung Garuda Pancasila.

Dibawah kepemimpinan Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, kerajaan Pontianak berkembang sebagai kota pelabuhan dan perdagangan yang cukup disegani.

Faisol Abdurrahman