Sumber Hukum Madzhab Hanbali Yang Harus Kita Ketahui

Sumber Hukum Madzhab Hanbali Yang Harus Kita Ketahui

PeciHitam.org – Ahmad bin Hanbal adalah salah satu dari imam empat mazhab yang dikenal dengan Madzhab Hanbali. Lahir pada bulan Rabiul Awal 164 H dengan nama lengkap Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Syaiban ibn Dzuhl.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Beliau merupakan imam para ahli hadits dan penulis kitab Al-Musnad. Kedua orang tua Ahmad bin Hambal pindah dari Marw (tempat tinggal ayahnya) menuju Baghdad saat sang ibunda tengah mengandungnya. Sang ibunda kemudian mendidik kedua telinganya, lalu memasangkan dua buah mutiara. Sang ayah meninggal dunia tiga tahun setelah kelahiran Ahmad. Sang ibunda merawat Ahmad kecil seorang diri.

Perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dalam mencari hadits dimulai Baghdad mulai tahun 179 H hingga 186 H. Kemudian setelah itu mengadakan banyak perjalanan mencari Hadits di luar Baghdad. Imam yang pertama kali didatangi Ahmad bin Hanbal dalam rangka mencari Hadits dan atsar adalah Hasyim bin Basyri Ibnu Abi Khazim al-Wasithi (w.183 H). Ahmad menulis darinya sebanyak tiga ribu Hadits tentang haji, beberapa tafsir al-Quran, qadha (peradilan), dan bab-bab Hadits lainnya.

Baca Juga:  Saat Ulama Salafi Wahabi Berdusta Atas Nama Imam Abu Hanifah

Gurunya yang pertama Imam Hanbal ialah Abi Yusuf Yakub bin Ibrahim Al-Qadhi, seorang rekan Abu Hanifah. Beliau mempelajari ilmu fiqih dan hadits, Abu Yusuf adalah seorang yang dianggap gurunya yang pertama. Sebagian dari ahli sejarah mengatakan bahwa pengaruh gurunya (Abu Yusuf) tidak begitu kuat mempengaruhinya sehingga dapat dikatakan beliau adalah gurunya yang pertama.

Mereka berpendapat gurunya yang pertama ialah Husyam bin Basir bin Abi Khasim Al-Wasiti, karena beliau adalah guru yang banyak memepengaruhi Imam Hanbal. Imam Hanbal mengikutinya lebih dari empat tahun, beliau mempelajari hadits-hadits darinya serta beliau menulis lebih tiga ribu hadits.

Imam Syafi’i adalah salah seorang guru Imam Ibnu Hanbal. Bahkan Imam Syafi’i dianggap sebagai guru yang kedua sesudah Husyaim. Imam Hanbal bertemu dengan Imam Syafi’i semasa di Hijaz, sewaktu beliau menunaikan fardhu haji. Imam Syafi’i mengajar di Masjid Al-Haram, Imam Hanbal mempelajari darinya, lalu bertemu lagi di Baghdad. Imam Syafi’i menasehati agar beliau ikut ke Mesir, lalu Imam Hanbal hendak mengikutinya tapi niatnya tidak tercapai.

Beliau telah belajar dengan Imam Syafi’i tentang hukum-hukum, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: Tidak diragukan lagi bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah seorang murid dari Imam Syafi’i. Beliau juga pernah belajar dengan Imam Malik bin Anas, tetapi pada waktu permulaan menuntut ilmu Imam Malik bin Anas meninggal, kemudian digantikan kepada Sufyan bin Uyainah yang tinggal di Mekah.

Baca Juga:  Perbedaan Salaf, Salafi, dan Salafiyah Yang Wajib Anda Tahu

Imam Ahmad bin Hanbal sebagai pendiri madzhab hanbali adalah seorang yang sangat kuat penerimaanya terhadap hadits-hadits Rasulullah. As-Sunnah adalah penerang bagi Al-Quran dan penafsiran bagi hukum-hukumnya. Maka tidak menjadi aneh apabila beliau menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber hukum yang utama. Begitu juga beliau dalam menetepan suatu hukum dalam urutanya dengan berlandaskan pada dasar-dasar antara lain:

  1. Nash Al-Quran dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memeperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
  2. Fatwa sahaby, yakni ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau juga mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan ijmak.
  3. Pendapat sebagian sahabat , yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Quran dan Sunnah. Terkadang beliau tidak mau memberi fatwa, apabila tidak memperoleh pentarjih bagi suatu pendapat itu.
  4. Hadits Mursal dan Hadits dhaif, hadits mursal dan hadits dhaif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan suatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
  5. Qiyas, baru beliau dipakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan di atas.
Baca Juga:  Ibnu Taimiyah Dianggap Sesat Karena Membolehkan Merayakan Maulid
Mohammad Mufid Muwaffaq