Sunan Muria, Serupa dengan Sang Ayah yang Berdakwah dengan Pendekatan Budaya

Sunan Muria, Serupa dengan Sang Ayah yang Berdakwah dengan Pendekatan Budaya

Pecihitam.org – Sumber-sumber informasi tertulis yang menjelaskan tentang kisah-kisah Raden Umar Said atau yang lebih dikenal oleh seantero muslim di Indonesia sebagai Sunan Muria sangatlah sedikit. Kisah-kisah tentang Raden Umar Said ini hidup di dalam ingatan penduduk sekitar tempatnya dengan ditutur-tuturkan bergenerasi-generasi hingga saat ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Wali yang dimakamkan di pucuk Gunung Muria –yang berjarak 18 kilo meter dari kota Kudus sisi utara- ini asal-usul pendidikan dan dakwahnya dikaitkan dengan ayahnya, yakni Sunan Kalijaga.

Walaupun sebenarnya tentang siapa sebenarnya ayah Sunan Muria ini masih ada perdebatan dan dapat dituliskan secara terpisah. Toh demikian, penjelasan bahwa Sunan Kalijaga adalah ayah dari Raden Umar Said ini adalah penjelasan terkuat.

Menurut budayawan Nahdlatul Ulama (NU), Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo (2017) bahwa Sunan Muria mendapatkan pengajaran Islam dari sang ayahnya sendiri, yakni Sunan Kalijaga. Dalam penjelasannya, kemungkinan besar bahwa perannya lebih kepada melanjutkan keilmuan ayahnya dan sekaligus melanjutkan dakwahnya.

Dikabarkan bahwa Sunan Muria juga mengikuti pertapaan yang dulu pernah dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Dulu kabarnya Sunan Kalijaga pernah bertapa di pinggiran sungai selama bertahun-tahun hingga tubuhnya ditumbuhi semak belukar. Cara bertapa yang sama kemudian diikuti oleh beliau. Bertapa demikian itu disebut sebagai Tapa Ngeli.

Tapa Ngeli ini berasal dari bahwa Jawa yang jika diartikan adalah bertapa dengan cara menghanyutkan tubuh kedalam aliran sungai. Cara bertapa demikian ini menurut Agus Sunyoto (2017) mengingatkan apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebagai kisah Dewa Ruci yang sudah dimodifikasi dengan penjalasan sufistik dalam Islam.

Baca Juga:  Sejarah Lengkap Sunan Kudus, dari Silsilah Hingga Kesuksesan Dakwahnya

Kisah tentang Dewa Ruci mulanya adalah kisah dari naskah kuno Nawa Ruci karangan dari Empu Syiwamurti. Di dalamnya menceritakan perjalanan seorang bernama Bima (yang kuat) yang memeiliki nama lain sebagai Werkudhara (serigala).

Tokoh Bima diceritakan menyelam dan masuk ke Lawana-udhadi (samuderanya samudra) yang memiliki kedalaman tanpa batas. Kemudian, setelah Bima menyelam kedalam Lawana-udadhi tersebut bertemu dengan Sang Hyang Murti Nawa Ruci. Pada pertemuan tersebut Bima diberikan wejangan-wejangan tentang kebenaran. Kebenaran tersebut disebut sebagai puncak dari spiritualitas.

Kisah-kisah yang semula bernuansa Hinduisme tersebut kemudian dimodifikasi oleh Sunan Kalijaga. Oleh Sunan Kalijaga misalnya nama lain Bima, yakni Werkudhara merupakan representasi dari nafsu hayawaniyah manusia. Jadi pada fase awal manusia sebelum mendekat dengan sang pencipta masih diliputi oleh nafsu kebinatangan.

Baca Juga:  Karomah Mbah Sholeh, Tukang Sapu Masjid yang Punya Sembilan Makam

Kemudian, samudera  Lawana-udadhi oleh Sunan Kalijaga dimaknai sebagai bahrul wujud. Jika diartikan bermakna samudera wujud Allah Swt. Jadi ketika manusia yang masih diselimuti sifat kebinatangan dan masuk ke samudera keilahian ia akan mendapatkan spiritualitas puncak atau kebenaran sebagaimana Bima bertemu Sang Hyang Murti Nawa Ruci.

Kisah-kisah modifikasi ala Sunan Kalijaga tersebut disenangi oleh penduduk di wilayahnya dan memudahkan mereka dalam memeluk Islam. Pengetahuan tentang Dewa Rucinya Sunan Kalijaga tersebut kemudian dipelajari oleh sang anak, yakni Sunan Muria. Lantas kemudian setelah ayahnya wafat, beliau-lah yang melanjutkan tradisi berdakwah dengan pendekatan kebudayaan tersebut.

Konteks sosial dan budaya saat itu sangat mendukung dakwah model Sunan Kalijaga yang dilanjutkan Sunan Muria ini. Sebab, pada era itu Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan besar hingga mempengaruhi kemerosotan kebudayaannya juga.

Pada saat itu pemahaman penduduk atas Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa Kawi. Pemahaman penduduk yang terbatas tentang kebudayaan Jawa Kuno tersebut menjadikan krisis kebudayaan. Pada saat itu yang melakukan pembaharuan kebudayaan adalah para Wali Songo.

Baca Juga:  Biografi Syaikh Zakariya Al Anshari Ulama Kenamaan Mazhab Syafii

Jika para pujangga zaman Majapahit dengan kapasitas bahasa Kawi masih kuat mereka bersyair dengan model kepenulisan kidung dan kakawin. Kemudian para Wali Songo termasuk Sunan Kalijaga yang dilanjutkan oleh Sunan Muria merubahnya menjadi bentuk macapat atau tembang gedhe. Model yang digunakan para wali ini juga lebih mudah dipahami oleh masyarakat karena lebih bentuknya lebih sederhana.

Demikianlah kisah tentang dakwah Sunan Muria yang menggunakan jalur kebudayaan. Beliau melanjutkan perjuangan ayahnya melakukan dakwah dengan cara pertunjukan wayang dengan cerita Dewa Ruci yang sudah dimodifikasi dengan kisah yang bernuansa sufisme Islam. Cara demikian itu sangat disukai oleh penduduk dan banyak yang masuk Islam. Wallahua’lam.