Surah Al-Ahqaf Ayat 17-20; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Ahqaf Ayat 17-20

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 17-20 ini, menerangkan ancaman Allah kepada orang yang ketika diajak oleh kedua orang tuanya untuk beriman kepada Allah dan hari akhirat. Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir pada saat mereka dihadapkan ke neraka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang- orang kafir keadaan mereka ketika dibawa ke dalam neraka.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ahqaf Ayat 17-20

Surah Al-Ahqaf Ayat 17
وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٰلِدَيۡهِ أُفٍّ لَّكُمَآ أَتَعِدَانِنِىٓ أَنۡ أُخۡرَجَ وَقَدۡ خَلَتِ ٱلۡقُرُونُ مِن قَبۡلِى وَهُمَا يَسۡتَغِيثَانِ ٱللَّهَ وَيۡلَكَ ءَامِنۡ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَآ إِلَّآ أَسَٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ

Terjemahan: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan: “Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar”. Lalu dia berkata: “Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٰلِدَيۡهِ (Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya) menurut suatu qiraat dibaca Idgham dimaksud adalah jenisnya أُفٍّ (“Cis) dapat dibaca Uffin atau Uffan, merupakan Mashdar yang artinya, busuk dan buruk لَّكُمَآ (bagi kamu keduanya) yakni aku marah kepada kamu berdua أَتَعِدَانِنِىٓ (apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku) menurut qiraat lain dibaca Ata’idannii, dengan diidgamkan أَنۡ أُخۡرَجَ (bahwa aku akan dibangkitkan) dari kubur وَقَدۡ خَلَتِ ٱلۡقُرُونُ (padahal sungguh telah berlalu beberapa umat) yakni generasi-generasi مِن قَبۡلِى (sebelumku”) dan ternyata mereka tidak dikeluarkan dari kuburnya,

وَهُمَا يَسۡتَغِيثَانِ ٱللَّهَ (lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah) meminta pertolongan supaya anaknya sadar dan bertobat, seraya mengatakan, bahwa apabila kamu tidak mau bertobat, وَيۡلَكَ (“Celakalah kamu) binasalah kamu ءَامِنۡ (berimanlah) kepada adanya hari berbangkit.

إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَآ (Sesungguhnya janji Allah adalah benar.” Lalu dia berkata: “Ini tidak lain) maksudnya ucapan yang menyatakan adanya hari berbangkit ini إِلَّآ أَسَٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ (hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka”) artinya, kedustaan-kedustaan mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: Setelah menyebutkan keadaan orang-orang yang selalu mendoakan kedua orang tuanya dan berbuat baik kepada mereka, serta pahala yang mereka peroleh dari sisi-Nya berupa kebahagiaan dan keselamatan, maka Allah melanjutkan dengan pemberitahuan tentang keadaan orang-orang yang sengsara yang durhaka kepada kedua orang tua. Dia berfirman:

وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٰلِدَيۡهِ أُفٍّ لَّكُمَآ (“dan orang-orang yang berkata kepada kedua orang tuanya [ibu dan bapaknya], ‘cis bagi kamu berdua.’”) Ini bersifat umum bagi siapa saja yang berkata seperti itu. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun bagi siapa saja yang berkata seperti itu.

Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar. Namun pendapat ini sangat lemah karena ‘Abdurrahman bin Abi Bakar masuk Islam setelah itu dengan sangat baik, bahkan ia termasuk orang pilihan pada zamannya.

Dengan demikian ayat tersebut berlaku umum bagi setiap orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya dan mendustakan kebenaran, yaitu dengan berkata kepada kedua orang tuanya: “Cis, bagi kalian berdua.” Yakni, bersikap durhaka terhadap keduanya.

Imam an-Nasa-I meriwayatkan, ‘Ali bin al-Hasan memberitahu kami dari Muhammad bin Ziyad, ia berkata: “Setelah Mu’awiyah berbaiat untuk anaknya, Marwan berkata: ‘Ini tradisi Abu Bakar dan Umar.’ Tetapi ‘Abdurrahman bin Abi Bakar berkata: ‘Tradisi Heraclius dan Kaisar.’ Maka Marwan berkata: ‘Orang inilah yang Allah Ta’ala menurunkan ayat,

وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٰلِدَيۡهِ أُفٍّ لَّكُمَآ (“dan orang-orang yang berkata kepada kedua orang tuanya [ibu dan bapaknya], ‘cis bagi kamu berdua.’”). kemudian hal itu terdengar oleh ‘Aisyah, maka ‘Aisyah berkata: ‘Marwan telah berdusta. Demi Allah, ‘Abdurrahman bukanlah orang yang dimaksud.

Seandainya aku mau menyebutnya sebagai orang yang menjadi sebab turunnya ayat itu, niscaya aku akan menyebutnya demikian, tetapi Rasulullah saw. telah melaknat ayah Marwan dan Marwan ketika masih dalam tulang punggungnya. Maka Marwan mengelabuhi diri dari laknat Allah.”

Firman Allah: أَتَعِدَانِنِىٓ أَنۡ أُخۡرَجَ وَقَدۡ خَلَتِ ٱلۡقُرُونُ مِن قَبۡلِى (“Apakah kalian berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?”) yakni sedang orang-orang sudah banyak yang mati, tetapi tidak satupun dari mereka yang kembali.

وَهُمَا يَسۡتَغِيثَانِ (“Lalu, kedua orang tua itu memohon pertolongan.”) yakni meminta kepada Allah agar Dia memberikan hidayah kepada anaknya. Kedua orang tua itu berkata kepadanya: وَيۡلَكَ ءَامِنۡ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقٌّ (“Celaka kamu, berimanlah. Sesungguhnya janji Allah adalah benar.”) lalu ia berkata: مَا هَٰذَآ إِلَّآ أَسَٰطِيرُ ٱلۡأَوَّلِينَ (“Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka.”)

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan ancaman Allah kepada orang yang ketika diajak oleh kedua orang tuanya untuk beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia berkata, “Ah, apakah yang bapak-ibu katakan ini; aku tidak senang kepada bapak-ibu yang mengatakan bahwa aku akan dibangkitkan dari kubur dalam keadaan hidup, sesudah aku mati dan hancur luluh bersama tanah.

Apakah mungkin daging-daging yang telah hancur luluh bersama tanah dan tulang-belulang yang telah berserakan itu akan dapat kembali dikumpulkan dan menjadi tubuh yang hidup seperti semula? Alangkah aneh dan lucunya kepercayaan itu, wahai kedua orang tuaku. Bukankah telah banyak umat dahulu, sebelum kita, yang telah melakukan semua hal sesuai dengan keinginan mereka?

Ada di antara mereka yang mengikuti ajaran rasul-rasul yang telah diutus kepada mereka, dan banyak pula di antara mereka yang mengingkarinya, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang telah dibangkitkan seperti yang ibu dan ayah katakan itu. Seandainya benar yang dikatakan ayah dan ibu itu, tentu kita akan melihat bukti-buktinya sekarang, dan tentu kita akan bertemu dengan nenek moyang kita yang telah mati dahulu.”

Mendengar jawaban anaknya itu, timbullah rasa sedih dan kasihan dalam hati orang tua itu. Mereka merasa sedih karena sikap anaknya yang seakan-akan tidak menghormatinya lagi. Mereka merasa kasihan karena yakin bahwa anaknya itu kelak akan mendapat azab Allah di akhirat.

Baca Juga:  Surah Al-Ahqaf Ayat 29-32 ; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Sekalipun demikian, mereka tidak putus asa untuk menyeru anaknya itu dan memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah. Mereka berkata, “Percayalah wahai anakku, bahwa Allah pasti menepati janji-Nya, dan hendaklah engkau yakin bahwa engkau benar-benar akan dibangkitkan nanti, karena janji Allah adalah janji yang hak, yang pasti ditepati, semoga Allah memberi kamu petunjuk.”

Allah melarang anak berkata ah kepada ibu dan ayahnya, atau kata-kata lain yang menyakitkan hati orang tuanya, karena keduanya telah berjasa memelihara dan mendidiknya sejak kecil, bahkan sejak dalam kandungan sampai dewasa, sebagaimana firman Allah:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. (Luqman/31: 14)

Jika orang tua mendidik anaknya untuk beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian sang anak menolak dan mengatakan ah, yang demikian merupakan kedurhakaan yang besar dan kesesatan yang nyata. Pada ayat yang lain disebutkan:

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra’/17: 23)

Menanggapi ajakan kedua orang tuanya, anak itu menjawab dengan sikap melecehkan keduanya dengan mengatakan bahwa ajakan orang tuanya untuk mempercayai Allah dan hari akhir itu hanya dongengan orang dahulu kala.

Ia beranggapan kedua orang tuanya telah terpengaruh dongengan bohong sehingga mengakui kebenarannya. Menurutnya, adanya hari kebangkitan adalah suatu kepercayaan yang mustahil akan terjadi.

Tafsir Quraish Shihab: Sedangkan orang yang ketika diperintah oleh kedua orangtuanya untuk meyakini datangnya hari kebangkitan berkata, dengan nada membantah dan marah berkata, “Cis! Apakah kalian memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkan kembali dari kubur, sedangkan umat-umat sebelumku tidak ada satu pun yang dibangkitkan kembali dari kuburnya?”

Lalu kedua oragangtuanya itu memohon pertolongan kepada Allah atas dosa yang dilakukan anaknya seraya menyuruhnya beriman dengan berkata, “Kau akan celaka kalau tidak beriman. Janji Allah akan datangnya hari kebangkitan itu pasti benar.” Tetapi, dengan semakin mendustakan, anak itu pun menjawab, “Apa yang kalian katakan ini tak lain hanyalah legenda orang-orang dahulu.”

Surah Al-Ahqaf Ayat 18
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ فِىٓ أُمَمٍ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ إِنَّهُمۡ كَانُواْ خَٰسِرِينَ

Terjemahan: Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.

Tafsir Jalalain: أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ حَقَّ (Mereka itulah orang-orang yang telah pasti) telah ditentukan عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ (ketetapan atas mereka) yakni ketetapan azab فِىٓ أُمَمٍ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ إِنَّهُمۡ كَانُواْ خَٰسِرِينَ (bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.).

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ حَقَّ عَلَيۡهِمُ ٱلۡقَوۡلُ فِىٓ أُمَمٍ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ إِنَّهُمۡ كَانُواْ خَٰسِرِينَ (“Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan [adzab] atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.”) maksudnya, mereka termasuk dalam golongan yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang kafir yang benar-benar merugikan diri mereka sendiri dan juga keluarga mereka pada hari kiamat.

Firman Allah: أُوْلَٰٓئِكَ (“Mereka itu”) disampaikan setelah; وَٱلَّذِى قَالَ لِوَٰلِدَيۡهِ (“Dan orang-orang yang berkata kepada kedua orang tuanya”) menunjukkan bahwa hal itu bersifat umum, meliputi setiap orang yang berbuat demikian. Al-Hasan dan Qatadah berkata: “Yaitu orang kafir yang berbuat jahat lagi durhaka kepada kedua orang tuanya dan mendustakan hari kebangkitan.”

Tafsir Kemenag: Allah mengancam setiap anak yang bersikap seperti yang diterangkan ayat di atas kepada orang tuanya. Mereka pasti akan ditimpa azab di akhirat nanti, mendapat murka dan kemarahan Allah, dan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala, bersama umat-umat dahulu yang mendurhakai Allah, mendustakan para rasul, dan melecehkan kedua orang tuanya, baik mereka dari golongan jin maupun manusia. Dengan demikian, neraka itu akan dipenuhi dengan mereka semua seperti yang dijanjikan oleh Allah.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa jin itu adalah makhluk Allah yang sama kewajibannya dengan manusia. Di antara mereka, ada yang menganut agama Islam seperti kaum Muslimin, dan ada pula yang kafir. Mereka hidup berketurunan dan mati seperti manusia.

Abu hayyan berkata, “Al-hasan al-Basri berkata dalam suatu halaqah (majlis) pelajaran, “Jin itu tidak mati.” Maka Qatadah membantahnya dengan mengemukakan ayat ini. Lalu al-hasan al-Basri terdiam.

Pada akhir ayat ini diterangkan sebab Allah mengazab mereka, jin dan manusia, adalah karena mereka adalah golongan yang merugi. Mereka merugi karena telah menyia-nyiakan fitrah yang telah diberikan Allah kepada mereka. Sejak dalam kandungan, manusia telah diberi Tuhan suatu naluri, yaitu potensi untuk menjadi orang yang beriman.

Akan tetapi, potensi yang ada pada dirinya itu disia-siakannya, dengan menuruti hawa nafsu dan godaan setan, serta terpengaruh oleh kehidupan dunia dan lingkungan sehingga mereka menjadi orang-orang merugi di dunia apalagi di akhirat.

Berbahagialah orang-orang yang dapat memanfaatkan fitrah yang telah ditanamkan Allah pada dirinya sehingga ia beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan senantiasa mendapat bimbingan, hidayah, dan taufik dalam kehidupannya. Firman Allah swt:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rum/30: 30).

Baca Juga:  Surah Al- Hijr Ayat 4-5; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Quraish Shihab: Mereka yang berkata demikian adalah orang-orang yang pasti akan mendapatkan azab bersama umat- umat yang terdahulu sebelum mereka, baik dari golongan jin maupun manusia, karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar merugi.

Surah Al-Ahqaf Ayat 19
وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ وَلِيُوَفِّيَهُمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Terjemahan: Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.

Tafsir Jalalain: وَلِكُلٍّ (Dan bagi masing-masing mereka) bagi masing-masing dari orang mukmin dan orang kafir دَرَجَٰتٌ (derajat), derajat orang-orang yang beriman memperoleh kedudukan yang tinggi di dalam surga, sedangkan derajat orang-orang kafir memperoleh kedudukan di dasar neraka مِّمَّا عَمِلُواْ (menurut apa yang telah mereka kerjakan) berdasar pada amal ketaatan bagi orang-orang mukmin dan kemaksiatan bagi orang-orang kafir وَلِيُوَفِّيَهُمۡ (dan agar Dia mencukupkan bagi mereka) yakni Allah mencukupkan bagi mereka; menurut suatu qiraat dibaca Walinuwaffiyahum أَعۡمَٰلَهُمۡ (pekerjaan-pekerjaan mereka) maksudnya balasannya وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ (sedangkan mereka tiada dirugikan) barang sedikit pun, misalkan untuk orang-orang mukmin dikurangi dan untuk orang-orang kafir ditambahi.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَلِكُلٍّ دَرَجَٰتٌ مِّمَّا عَمِلُواْ (“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan.”) maksudnya masing-masing memperoleh siksa sesuai dengan amal perbuatannya. وَلِيُوَفِّيَهُمۡ أَعۡمَٰلَهُمۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ (“Dan agar Allah mencukupkan bagi mereka [balasan] pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tidak dirugikan.”) artinya, Allah tidak akan mendhalimi mereka meski hanya sekecil dzarrah sekali pun atau bahkan lebih kecil lagi.

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Tingkatan-tingkatan Neraka itu turun ke bawah, sedangkan tingkatan-tingkatan surge itu naik ke atas.”

Tafsir Kemenag: Allah menerangkan bahwa manusia dan jin mempunyai martabat tertentu di sisi-Nya pada hari Kiamat, sesuai dengan perbuatan dan amal yang telah mereka kerjakan semasa hidup di dunia. Golongan yang beriman dan beramal saleh terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda tingginya, sedangkan golongan yang kafir kepada Allah juga terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda rendahnya.

Perbedaan tinggi atau rendahnya martabat disebabkan karena adanya perbedaan iman dan amal seseorang, di samping ada pula perbedaan kekafiran dan kedurhakaan. Dengan perkataan lain, Allah menentukan martabat yang berbeda itu karena perbedaan amal manusia dan jin itu sendiri.

Ada di antara mereka yang teguh iman dan banyak amalnya, sedangkan yang lain lemah dan sedikit. Demikian pula tentang kekafiran, ada orang yang sangat kafir kepada Allah dan ada yang kurang kekafiran dan keingkarannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.

Allah menyediakan martabat-martabat yang berbeda untuk membuktikan keadilan-Nya kepada makhluk-Nya, dan agar dapat memberi balasan yang sempurna kepada setiap jin dan manusia itu. Perbuatan takwa diberi balasan sesuai dengan tingkat ketakwaannya, dan perbuatan kafir dibalas pula sesuai dengan tingkat kekafirannya.

Tafsir Quraish Shihab: Masing-masing orang, Muslim dan kafir, akan mendapat kedudukan yang sesuai dengan apa yang ia lakukan. Itu semua agar Allah menunjukkan keadilan-Nya kepada mereka dan memenuhi balasan amal perbuatan mereka, tanpa dicurangi sedikit pun, karena mereka berhak menerima balasan yang telah ditentukan untuknya.

Surah Al-Ahqaf Ayat 20
وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ

Terjemahan: Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik”.

Tafsir Jalalain: وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ (Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka) neraka diperlihatkan-Nya kepada mereka, kemudian dikatakan kepada mereka, أَذۡهَبۡتُمۡ (“Kalian telah menghabiskan) dapat dibaca Adzhabtum, A-adzhabtum atau Adzhabtum طَيِّبَٰتِكُمۡ (rezeki kalian yang baik) dengan cara menghambur-hamburkannya demi kelezatan kalian فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم (dalam kehidupan dunia kalian saja dan kalian telah bersenang-senang) bersuka-ria بِهَا فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ (dengannya, maka pada hari ini kalian dibalasi dengan azab yang menghinakan) atau azab yang mengerikan بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ (karena kalian telah menyombongkan diri yaitu bersikap takabur فِى ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ (di muka bumi tanpa hak dan karena kalian telah fasik”) atau berbuat kefasikan padanya, maka karena itu kalian diazab.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَيَوۡمَ يُعۡرَضُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ عَلَى ٱلنَّارِ أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا (“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka [kepada mereka dikatakan]: kamu telah menghabiskan rizkymu yang baik dalam kehidupan duniawimu saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya.”) yakni hal itu dikatakan kepada mereka sebagai celaan dan teguran bagi mereka.

Dan Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab telah menahan dan menjaga diri dari berbagai makanan dan minuman yang menyenangkan, beliau berkata: “Sesungguhnya aku sangat takut [menjadi orang] serperti orang-orang yang difirmankan Allah: أَذۡهَبۡتُمۡ طَيِّبَٰتِكُمۡ فِى حَيَاتِكُمُ ٱلدُّنۡيَا وَٱسۡتَمۡتَعۡتُم بِهَا (“kamu telah menghabiskan rizkymu yang baik dalam kehidupan duniawimu saja dan kamu telah bersenang-senang dengannya.”)

Firman Allah: فَٱلۡيَوۡمَ تُجۡزَوۡنَ عَذَابَ ٱلۡهُونِ بِمَا كُنتُمۡ تَسۡتَكۡبِرُونَ فِى ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَبِمَا كُنتُمۡ تَفۡسُقُونَ (“Maka pada hari ini kamu dibalas dengan adzab yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dank arena kamu telah fasik.”) yakni mereka akan diberi balasan sesuai dengan perbuatan mereka.

Sebagaimana mereka telah bersenang-senang, menyombongkan diri tidak mau menerima kebenaran, serta selalu berbuat kefasikan dan kemaksiatan, maka Allah memberikan balasan kepada mereka dengan adzab al-Huun, yaitu siksaan yang merendahkan dan menghinakan, penderitaan yang menyakitkan, derita yang tiada putus-putusnya serta tempat tinggal dalam neraka yang paling bawah dan mengerikan. Semoga Allah menyelamatkan kita dari semua itu.

Baca Juga:  Surah Al-Ahqaf Ayat 15-16; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Setelah menerangkan bahwa setiap jin dan manusia akan memperoleh balasan yang adil dari-Nya, Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir pada saat mereka dihadapkan ke neraka.

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang- orang kafir keadaan mereka ketika dibawa ke dalam neraka. Kepada mereka dikatakan bahwa segala macam kebahagiaan dan kenikmatan yang diperuntukkan bagi mereka telah lengkap dan sempurna mereka terima semasa hidup di dunia.

Tidak ada satu pun bagian yang akan mereka nikmati lagi di akhirat. Yang tinggal hanyalah kehinaan, kerendahan, azab pedih yang akan mereka alami sebagai pembalasan atas kesombongan, kefasikan, kezaliman, kemaksiatan, dan kekafiran yang mereka lakukan selama hidup di dunia.

Ayat ini memperingatkan manusia agar meninggalkan hidup mewah yang berlebih-lebihan, meninggalkan perbuatan mubazir, maksiat, dan menganjurkan agar kaum Muslimin hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan menggunakan sesuatu sesuai dengan keperluan dan keadaan, dan disesuaikan dengan tujuan hidup seorang muslim.

Seandainya ada kelebihan harta, hendaklah diberikan kepada orang-orang miskin, orang-orang terlantar, dan anak yatim yang tidak ada yang bertanggung jawab atasnya, dan gunakanlah harta itu untuk keperluan meninggikan kalimat Allah.

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lain-lain dari Ibnu ‘Umar bahwa ‘Umar melihat uang dirham di tangan Jabir bin ‘Abdullah, maka beliau berkata, “Uang dirham apakah itu?” Jabir menjawab, “Aku bermaksud membeli sepotong daging yang sudah lama diidamkan oleh keluargaku.”

‘Umar berkata, “Apakah setiap kamu menginginkan sesuatu, lalu kamu beli? Bagaimana pendapatmu tentang ayat ini? Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniamu saja, dan kamu telah bersenang-senang dengannya?”

Dari riwayat di atas dapat kita tarik pelajaran bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menasihati Jabir bin ‘Abdullah dengan ayat ini agar tidak terlalu menuruti keinginannya dan mengingatkan bahwa kesenangan dan kebahagiaan di dunia ini hanya bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan yang abadi ada di akhirat. Oleh karena itu, kita harus menggunakan segala rezeki yang telah dianugerahkan Allah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ketentuan yang digariskan agama.

Tentang hidup sederhana ini tergambar dalam kehidupan keluarga Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam hadis:

Diriwayatkan dari sauban, ia berkata, “Rasulullah saw apabila akan bepergian, keluarga terakhir yang dikunjunginya adalah Fatimah. Dan keluarganya yang lebih dahulu didatanginya apabila ia kembali dari perjalanan ialah Fatimah. Beliau kembali dari Gazah (peperangan), lalu beliau datang ke rumah Fatimah, dan beliau mengusap pintu rumah dan melihat gelang perak di tangan Hasan dan Husein, beliau kembali dan tidak masuk.

Tatkala Fatimah melihat yang demikian, ia berpendapat bahwa Rasulullah saw tidak masuk ke rumahnya itu karena beliau melihat barang-barang itu. Maka Fatimah menyobek-nyobek kain pintu itu dan mencabut gelang-gelang dari tangan kedua anaknya dan memotong-motongnya, lalu kedua anaknya menangis, maka ia membagi-bagikannya kepada kedua anak itu.

Maka keduanya pergi menemui Rasulullah saw dalam keadaan menangis, lalu Rasulullah saw mengambil barang-barang itu dari keduanya seraya berkata, ‘Hai sauban, pergilah membawa barang-barang itu kepada Bani Fulan dan belikanlah untuk Fatimah kalung dari kulit lokan dan dua gelang dari gading, maka sesungguhnya mereka adalah keluargaku, dan aku tidak ingin mereka menghabiskan rezeki mereka yang baik sewaktu hidup di dunia ini.” (Riwayat Ahmad dan al-Baihaqi)

Hadis ini maksudnya bukan melarang kaum Muslimin memakai perhiasan, suka kepada keindahan, menikmati rezeki yang telah dianugerahkan Allah, melainkan untuk menganjurkan agar orang hidup sesuai dengan kemampuan diri sendiri, tidak berlebih-lebihan, selalu menenggang rasa dalam hidup bertetangga dan dalam berteman.

Jangan sampai harta yang dimiliki dengan halal itu menjadi sumber iri hati dan rasa dengki tetangga dan sahabat. Jangan pula hidup boros, dan berbelanja melebihi kemampuan. Ingatlah selalu bahwa banyak orang-orang lain yang memerlukan bantuan, masih banyak biaya yang diperlukan untuk meninggikan kalimat Allah.

Rasulullah saw selalu merasa cukup bila memperoleh sesuatu dan bersabar bila sedang tak punya; makan kue jika ada kesanggupan membelinya, minum madu bila kebetulan ada, makan daging bila mungkin mendapatkannya. Hal yang demikian itu menjadi pegangan dan kebiasaan hidup beliau. Beliau selalu bersyukur kepada Allah setiap menerima nikmat-Nya.

Yang dilarang ialah memakai perhiasan secara berlebih-lebihan, bersenang-senang tanpa mengingat adanya kehidupan abadi di akhirat nanti. Memakai perhiasan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak menimbulkan iri hati orang lain itu dibolehkan. Allah berfirman:

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik- baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui. (al-A’raf/7: 32)

Tafsir Quraish Shihab: Pada hari ketika orang-orang kafir dihadapakan ke neraka lalu dikatakan kepada mereka, “Kalian telah menghabiskan dan menikmati rezeki yang baik dalam kehidupan dunia. Pada hari ini kalian akan dibalas dengan azab yang menghinakan, karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan tidak taat kepada Allah.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ahqaf Ayat 17-20 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S